WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Senin, 22 Oktober 2012

Kalung Dalam Kenangan


Kala mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya, sang mata telah membuka kelopak yang melingkupinya sepanjang malam. Bola mataku melirik setengah menyipit ke arah jam yang menempel di dinding kamar. Waktu menunjukkan pukul 04:55 dini hari. Seperti biasanya, hanya aku yang sudah terjaga. Seisi rumah ini masih terlelap di alam mimpinya. Kubuka selimut dan mulai beranjak dari ranjang. Dengan yakin, kuusahakan kakiku yang gontai melangkah tegap menuju jendela kamar. Kemudian aku segera membuka jendela dan mendapati angin pantai yang sejuk membelai hangat kulitku.
Pagi yang sama. Seperti biasa, embun pagi yang dingin melekat pada sela wajahku. Pekarangan bunga di depan rumah, mengusik lembut hidungku dengan harumnya yang semerbak. Kicauan burung nan merdu berbalasan satu dengan yang lain, menyempurnakan pagi ini. Seakan semua nyawaku menyatu, membangunkan tubuh ini untuk memulai hari baru. Sudah hampir satu bulan aku menginap di rumah nenek yang berada di pesisir pantai ini. Setiap kali aku kemari, pasti nenek selalu menyediakan kamar ini untuk kutempati. Kamar yang berada di lantai dua ini memiliki jendela yang berhadapan langsung dengan laut. Nenek memang paling tahu kesukaanku.
Bola mataku mulai menjelajah di sekitar pesisir pantai dan terhenti seketika.
Seperti biasa. . .
Seperti biasa juga, pagi ini aku kembali melihatnya.
Seperti biasa, gadis itu. . .
Ya, gadis itu selalu ada disana.
Di pinggir pantai.
Gadis itu duduk sambil memandang jauh ke arah laut yang luas dengan tangan kiri merengkuh kedua tumit dan tangan kanannya yang bebas, ia letakkan di atas pasir untuk menopang tubuhnya. Membiarkan kedua kaki dan tangan kanannya yang sedang menggenggam sebuah kalung, tergulung ombak yang datang dan pergi. Mungkin bagi orang yang baru pertama kali melihatnya akan menganggapnya aneh karena setiap hari pada pagi buta, ia sudah berada di pinggir pantai hanya duduk terdiam dan tak menoleh pandang sama sekali. Bahkan tak berbicara sedikit pun pada orang yang mengajaknya berbicara. Ia juga tak merespon perkataan orang lain yang sering mengejek dan merendahkannya. Dirinya bagai patung. Pandangannya tetap lurus ke ujung laut yang tiada batas. Dan ketika hari mulai terang, ia pun beranjak meninggalkan pantai itu. Awalnya, aku pun merasa aneh. Tetapi ketika aku tahu. . .
Aku pun tak heran lagi.
***
“Lona, please! Tutup mata,” pinta Key sekali lagi.
Mata Illona memutar ke atas seakan menimbang-nimbang permintaan seseorang laki-laki tampan yang sangat ia sayang itu.
“Hmm, oke!” jawab Illona akhirnya.
Senyum Key merekah seketika.
“Tapi. . .” sambung Illona menghapus senyuman dari wajah tampan Key. Illona berjalan kebelakang, menapak pasir yang dingin pada pagi-pagi buta itu seraya berkata dengan tegas, “jangan aneh-aneh!” peringatan dari Illona yang tiba-tiba mengambil pasir dari pinggir pantai, kemudian melempar pasir tersebut ke arah Key.
Key menepis dengan tangannya dan tertawa sekilas. “Hei, memangnya aku mau ngapain. Kamu ini yang aneh. Dasar! Ahahaha. . .” Key tertawa semakin keras. Suasana di pantai saat itu masih sepi. Sekitar jam empat pagi buta hanya ada mereka bedua di sana. Sepasang kekasih itu dengan tawanya dapat memecah keheningan di pantai.
Illona merasa malu karena ia berprasangka kalau Key hendak menciumnya. Tapi, siapa tahu benar! “Iya, iya. . . Nih, aku tutup mata.”
Illona menutup matanya. Sudah lewat beberapa detik tidak ada sesuatu yang terjadi. Namun, tiba-tiba ia merasakan sentuhan di lehernya. Deg!
Dan. . .
“Nah, selesai!” seru Key membuat Illona membuka matanya.
Illona meraba lehernya yang tersentuh sesuatu tadi. Sebuah kalung mutiara emas yang berkilau indah sudah terpasang di lehernya.
“Happy birthday, my Illona! Selamat ulang tahun yang ke-18!” Lona terkejut dengan ucapan Key. Bahkan Illona saja melupakan hari ulang tahunnya. Namun, pacarnya, Key ingat akan ulang tahunnya yang ke-18 ini. Bahkan memberikannya hadiah spesial.
“Aku tahu. Pasti kamu nggak ingat kalau hari ini ulang tahunmu karena saking sibuknya di sekolah. Hehe. . .” Akhir-akhir ini Illona memang sibuk mempersiapkan acara perpisahan di sekolahnya. Karena ia sekertaris panitia perpisahan, alhasil sangat repotlah dia. “Gimana? Bagus nggak kalungnya. . .?” tanya Key kemudian.
Illona tanpa berbasa-basi segera memeluk Key dan berkata, “Thank you, Key! Aku seneng banget. Kamu nggak perlu tanya bagus atau nggak. Kamu kasih apa saja sama aku itu udah sangat, sangat, sangaaaaaaaaaat. . . spesial buat aku! Makasih ya, Key!” seruan bahagia dan ucapan terima kasih tak henti-hentinya keluar dari bibir Illona terhadap pacarnya itu. Illona tahu, Key tidak dengan mudah membeli kalung mutiara emas ini karena Key itu anak yang mandiri dan tidak suka menyusahkan orang tua. Apalagi memakai uang orang tuanya untuk acara seperti ini. Bukan Key banget! Apalagi keadaan keluarganya yang sekarang sedang memburuk. Ia harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama dari hasil kerjanya untuk membeli kalung tersebut. Illona juga bukan perempuan yang gelap akan uang. Ia menerima kalung tersebut karena ia menghargai usaha Key untuk dirinya. Sebelumnya ia pernah menolak gelang emas pemberian Key karena tidak ingin menyusahkan Key, tapi itu malah membuat Key sedih dan sangat kecewa.
Sudah genap empat tahun mereka berpacaran. Pantai ini adalah tempat di mana Illona dan Key mengawali kisah percintaan mereka. Dan di pantai inilah mereka berdua saling melepas cerita, memadu kasih, bercanda, dan masih banyak lagi.
Begitu juga dengan kejadian buruk mereka. . .
Terjadi pula di pantai ini.
***
 Malam itu, langit seakan tidak bersahabat. Derasnya hujan menyiram bumi. Angin yang bertiup kencang. Deburan ombak semakin besar menutup batas-batas yang ada di tengah pantai. Lautan ketika itu kian mengganas. Tak ada seorang pun yang berani keluar ketika hujan saat itu, kecuali...
Terpaksa!

Illona dengan tekad keberaniannya menyusuri pantai berbekal jas hujan, senter, dan payung. Walaupun sebenarnya tetap tidak bisa melindungi dirinya dari kejamnya malam itu, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin mencari sesuatu dan berharap menemukannya.
“Haduh, anginnya kencang sekali! Mana hujan, jadi becek pasirnya. Emang lagi nggak bersahabat ini cuaca. Huft...!” keluhnya.
Ketika sampai di pinggir pantai, ia menyalakan senter dan mulai mencari.
“Kalung, di mana sih kamu? Please, jangan hilang! Kamu itu pemberian Key. Aku nggak mau Key sedih. Please, ketemu! Please!!!” sembari masih mencari kalung tersebut dengan senternya.
Angin semakin besar. Dan seketika pula angin menerbangkan payung Illona hingga tinggallah Illona dengan rambut yang tergerai basah. Tetapi, ia tidak peduli dan tetap mencari. Di tengah keputusasaan dalam pencariannya, ia melihat seberkas sinar menyala sekilas di sekitar pinggiran pantai yang bertaburan ombak itu. Ia mendekati sinar tersebut. Ia tersenyum senang karena apa yang ia cari, telah ditemukan. Ia mulai memanjangkan tangannya ingin meraih kalung itu, tapi gulungan ombak membawa kalung itu menjauh. Illona tetap tidak putus asa dan kemudian ia mencoba mengambilnya kembali.
Walaupun ia terus mencoba bahkan sampai berperang melawan ombak dan cuaca yang buruk, tetap saja kalung itu tidak sampai ke dalam genggamannya.
Ia menghela napas sedih. “Hhh. . . Aku nggak tahu apa yang harus aku perbuat kalau kamu hilang.” Illona terus berusaha tak peduli dengan dirinya. Ia merasa bahwa kalung itu berada dekat, tetapi ketika ia raih tidak didapatkan juga.
Tanpa di sadarinya, ia telah jauh dari daratan. Dan tubuhnya mulai terkulai lemas. Ia tidak dapat menahan kuat arus ombak yang terus menyeretnya lebih jauh dari daratan. Seluruh tubuhnya bermandikan lautan. Terhuyung kesana kemari mengikuti arus deras ombak di tengah laut.
Seketika terdengar suara teriakan menyerukan namanya.
“Lonaa! Looonaaaaa! LOONAAAAAAAAAAA!!!”
Perlahan suara itu menghilang. Dadanya mulai sesak. Ia melihat dari kejauhan seseorang berenang menghampirinya. Tapi takdapat ia lihat dengan jelas siapa yang datang. Tubuhnya tidak dapat ia kendalikan. Ombak pasang yang besar menerjang dirinya. Menenggelamkannya dalam lautan yang dalam hingga tak sadarkan diri. Dan semuanya terasa begitu cepat hingga. . .

Satu jam sebelumnya.
Tok tok tok.
Terdengar ketukan di sebuah pintu rumah.
Tok tok tok tok tok.
Dengan perlahan pintu itu mulai terbuka dan keluarlah wanita setengah baya menyambut kedatangan tamu di depan rumahnya itu.
“Lonanya ada, Tante?” tanya Key sopan.
“Lho?! Kok kamu masih ada di sini?” tanya wanita setengah baya yang adalah mamanya Illona. “Bukannya Illona sudah pergi dengan kamu dua jam yang lalu?” Ia kaget melihat Key tepat di hadapannya tanpa Illona.
“Hah, maksudnya apa, tante?” tanya Key balik tidak mengerti.
“Tadi Illona pamit. Katanya mau pergi keluar sebentar. Tante kira dia pergi sama kamu. Padahal sudah malam. Mana hujan-hujan begini. Kemana, ya, dia? Haduh, anak itu!” ujar wanita itu mulai khawatir.
Key dengan cepat menenangkan. “Kalau begitu, sekarang saya cari dia, ya, Tante. Lona nggak akan pergi jauh-jauh. Tante tenang aja. Permisi,”
“Hati-hati, Key!”

“Lona, kamu kemana, sih?! Ngapain kamu malam-malam begini keluar. Jangan-jangan kamu mencari kalung yang hilang itu.”
Kalung mutiara emas itu jatuh ketika mereka berdua sedang berenang di tepi pantai pada siang hari. Illona baru menyadarinya ketika sampai di rumah. Kemudian ia segera memberitahu Key. Walaupun reaksi Key sepertinya biasa saja, tapi Illona tahu bahwa Key pasti kecewa sekali. Akhirnya Illona bertekad ingin mencari kalung itu hingga ketemu. Bukan karena mahalnya kalung itu, tetapi karena Key yang memberikannya dan besarnya usaha Key untuk membeli kalung tersebut.
Key berlari mencari Illona ke tepi pantai. Derasnya air hujan mengguyur sekujur tubuhnya. Sudah sekitar satu jam Key mencari Illona, tetapi tidak ditemukannya. Lalu pandangannya beralih ke ujung lautan yang luas. Tiba-tiba. . .
“Lona?” Key tak percaya apa yang ia lihat. Dadanya sesak seketika. Pikirannya kosong.  Illona sudah berada di tengah lautan, terseret oleh ombak yang mengerikan. “Lonaaaa!” jeritnya.
Tanpa pikir panjang, Key segera berenang ke tengah lautan menuju Illona. Ia tak takut menantang datangnya ombak besar yang melawan. Ia lebih takut bila kehilangan Illona.
“Loonaaaaaaa!” teriaknya dengan suara lantang sambil terus berenang.
Belum sempat sampai ke tengah lautan, ia melihat ombak pasang yang sangat besar menghantam dan membawa Illona ke dalam lingkup lautan yang luas.
“LOOONAAAAAAAAAAAA!!!”
Ia terus berenang walaupun ada beberapa anak ombak yang membentang.
Setelah cukup jauh memerangi lautan, ia menyelam mencari Illona, dan akhirnya ia pun menemukan kekasih hatinya itu tenggelam dalam kondisi lemah tak berdaya.
“Lona, apa sih yang kamu lakukan? Bahkan nyawamu masih jauh lebih berharga daripada kalung itu,” sesal Key dalam hati.
Kemudian ia meraih tangan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tak terasa kakinya tertancap sesuatu. Membuat darahnya mengucur ke permukaan air. Tapi, ia tidak peduli dan tetap melanjutkan penyelamatan. Biarpun begitu, kakinya tidak kuat lagi mengayuh dengan darah yang terus mengalir keluar. Sakit. Perih. Membuat tubuhnya lemah.
Dan disisa kekuatannya, Key mendorong tubuh Illona ke arah daratan. Membiarkan ombak membawa tubuh Illona sampai pinggir pantai. Ia kembali menyelam ke dalam lautan berusaha mengambil sesuatu sehingga dirinya sendiri tidak sempat ia selamatkan.
***
Air matanya takkuasa jatuh membasahi pipi Illona ketika melihat kalung mutiara emas itu sudah berada di tangannya. Hatinya masih tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi. Berjuta rasa penyesalan tidak akan mengubah apa-apa. Key tidak akan kembali. Walaupun begitu, ia tetap menunggu Key.
Setiap hari yang ia lakukan adalah menunggu malam tanpa berbicara dan hanya duduk di kamar rumahnya. Kedua orang tuanya sangat sedih melihat Illona seperti itu. Ketika malam tiba, ia pergi, lalu duduk di pinggiran pantai dengan kalung mutiara emas digenggamannya. Menunggu kembalinya sang belahan hati yang sebenarnya ia pun tahu bahwa itu mustahil. Tetapi, ia masih berharap berbicara sekali lagi dengan Key-nya yang tidak sempat mengucapkan kata perpisahan padanya. Setelah matahari mulai menampakkan cahayanya, Illona kembali pulang.
***
Kisah pilu yang diceritakan oleh nenek tentang gadis itu, membuatku lirih. Sudah lewat satu tahun semenjak kejadian itu. Illona terus menjalani harinya yang kosong.
Hanya butuh kerelaan pada dirinya untuk menyadari bahwa seseorang yang ia sayang telah pergi untuk selama-lamanya. Maka, ia dapat terbebas dari hidupnya yang hilang. Namun sampai sekarang ia masih belum rela. Atau mungkin belum saatnya.
Tok tok tok.
Ketukan pelan dari luar pintu kamarku.
“Alice,” panggil nenek membuyarkan lamunanku.
Kututup jendela dan segera berlari menuju pintu kamar lalu membukanya. “Pagi, Nek!” sahutku riang sambil memeluk dan mencium pipi nenekku tersayang. Wajah keriput nenek ketika menyambutku tidak dapat menutupi senyumnya yang menawan bak bunga mawar. Ketika nenek memeluku, dapat kurasakan bagaimana nenek juga memeluk ibuku yang sekarang sudah tiada. Aku adalah anak piatu. Ibu meninggal saat aku masih kecil. Ayah bekerja banting tulang mencari nafkah sekalian mengurusi aku. Walaupun ibu yang sudah meninggal dan ayah yang jarang bersamaku, tetapi aku tidak mengeluh. Aku masih dapat melewati semuanya dengan selalu bersyukur. Dan rupanya hidupku semakin baik sepanjang hari.
Percayalah, hidupmu akan terlihat berbeda jika kamu selalu mensyukuri apa yang ada pada dirimu. Jangan pernah melihat masa lalu yang akan membuat hidupmu tidak berkembang. Relakanlah semua yang telah terjadi dan mulailah dengan langkah yang baru sebab tahukah kamu bahwa sebenarnya masa depan yang cerah sedang menunggumu.
***
Lautan luas membentang di pelopak mata Illona. Tidak ada lagi yang ia pandang, selain lautan itu. Digenggamnya erat kalung itu. Hatinya seakan mati terseret desiran ombak. Jiwanya hancur bagai terkikis karang di pantai. Dan pikirannya hilang terbawa hembusan angin.
Kini. . .
Yang tinggal dan tidak akan pernah hilang ialah. . .
Kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar