Kala mentari masih malu-malu menampakkan sinarnya, sang
mata telah membuka kelopak yang melingkupinya sepanjang malam. Bola mataku
melirik setengah menyipit ke arah jam yang menempel di dinding kamar. Waktu
menunjukkan pukul 04:55 dini hari. Seperti biasanya, hanya aku yang sudah
terjaga. Seisi rumah ini masih terlelap di alam mimpinya. Kubuka selimut dan
mulai beranjak dari ranjang. Dengan yakin, kuusahakan kakiku yang gontai melangkah
tegap menuju jendela kamar. Kemudian aku segera membuka jendela dan mendapati
angin pantai yang sejuk membelai hangat kulitku.
Pagi yang sama. Seperti
biasa, embun pagi yang dingin melekat pada sela wajahku. Pekarangan bunga di
depan rumah, mengusik lembut hidungku dengan harumnya yang semerbak. Kicauan
burung nan merdu berbalasan satu dengan yang lain, menyempurnakan pagi ini. Seakan
semua nyawaku menyatu, membangunkan tubuh ini untuk memulai hari baru. Sudah hampir
satu bulan aku menginap di rumah nenek yang berada di pesisir pantai ini.
Setiap kali aku kemari, pasti nenek selalu menyediakan kamar ini untuk
kutempati. Kamar yang berada di lantai dua ini memiliki jendela yang berhadapan
langsung dengan laut. Nenek memang paling tahu kesukaanku.
Bola mataku mulai menjelajah di sekitar pesisir pantai
dan terhenti seketika.
Seperti biasa. . .
Seperti biasa juga, pagi ini aku kembali melihatnya.
Seperti biasa, gadis itu. . .
Ya, gadis itu selalu ada disana.
Di pinggir pantai.
Gadis itu duduk sambil memandang jauh ke arah laut
yang luas dengan tangan kiri merengkuh kedua tumit dan tangan kanannya yang
bebas, ia letakkan di atas pasir untuk menopang tubuhnya. Membiarkan kedua kaki
dan tangan kanannya yang sedang menggenggam sebuah kalung, tergulung ombak yang
datang dan pergi. Mungkin bagi orang yang baru pertama kali melihatnya akan
menganggapnya aneh karena setiap hari pada pagi buta, ia sudah berada di pinggir
pantai hanya duduk terdiam dan tak menoleh pandang sama sekali. Bahkan tak
berbicara sedikit pun pada orang yang mengajaknya berbicara. Ia juga tak
merespon perkataan orang lain yang sering mengejek dan merendahkannya. Dirinya
bagai patung. Pandangannya tetap lurus ke ujung laut yang tiada batas. Dan
ketika hari mulai terang, ia pun beranjak meninggalkan pantai itu. Awalnya, aku
pun merasa aneh. Tetapi ketika aku tahu. . .
Aku pun tak heran lagi.
***
“Lona, please!
Tutup mata,” pinta Key sekali lagi.
Mata Illona
memutar ke atas seakan menimbang-nimbang permintaan seseorang laki-laki tampan yang
sangat ia sayang itu.
“Hmm, oke!”
jawab Illona akhirnya.
Senyum Key
merekah seketika.
“Tapi. . .”
sambung Illona menghapus senyuman dari wajah tampan Key. Illona berjalan kebelakang,
menapak pasir yang dingin pada pagi-pagi buta itu seraya berkata dengan tegas, “jangan
aneh-aneh!” peringatan dari Illona yang tiba-tiba mengambil pasir dari pinggir
pantai, kemudian melempar pasir tersebut ke arah Key.
Key menepis
dengan tangannya dan tertawa sekilas. “Hei, memangnya aku mau ngapain. Kamu ini
yang aneh. Dasar! Ahahaha. . .” Key tertawa semakin keras. Suasana di pantai saat itu masih sepi. Sekitar jam
empat pagi buta hanya ada mereka bedua di sana. Sepasang kekasih itu dengan
tawanya dapat memecah keheningan di pantai.
Illona
merasa malu karena ia berprasangka kalau Key hendak menciumnya. Tapi, siapa
tahu benar! “Iya, iya. . . Nih, aku tutup mata.”
Illona
menutup matanya. Sudah lewat beberapa detik tidak ada sesuatu yang terjadi.
Namun, tiba-tiba ia merasakan sentuhan di lehernya. Deg!
Dan. . .
“Nah,
selesai!” seru Key membuat Illona membuka matanya.
Illona
meraba lehernya yang tersentuh sesuatu tadi. Sebuah kalung mutiara emas yang berkilau
indah sudah terpasang di lehernya.
“Happy birthday,
my Illona! Selamat ulang tahun yang ke-18!” Lona terkejut dengan ucapan Key. Bahkan
Illona saja melupakan hari ulang tahunnya. Namun, pacarnya, Key ingat akan
ulang tahunnya yang ke-18 ini. Bahkan memberikannya hadiah spesial.
“Aku tahu.
Pasti kamu nggak ingat kalau hari ini ulang tahunmu karena saking sibuknya di
sekolah. Hehe. . .” Akhir-akhir ini Illona memang sibuk mempersiapkan acara
perpisahan di sekolahnya. Karena ia sekertaris panitia perpisahan, alhasil
sangat repotlah dia. “Gimana? Bagus nggak kalungnya. . .?” tanya Key kemudian.
Illona
tanpa berbasa-basi segera memeluk Key dan berkata, “Thank you, Key! Aku seneng
banget. Kamu nggak perlu tanya bagus atau nggak. Kamu kasih apa saja sama aku
itu udah sangat, sangat, sangaaaaaaaaaat. . . spesial buat aku! Makasih ya, Key!”
seruan bahagia dan ucapan terima kasih tak henti-hentinya keluar dari bibir
Illona terhadap pacarnya itu. Illona tahu, Key tidak dengan mudah membeli
kalung mutiara emas ini karena Key itu anak yang mandiri dan tidak suka menyusahkan
orang tua. Apalagi memakai uang orang tuanya untuk acara seperti ini. Bukan Key
banget! Apalagi keadaan keluarganya yang sekarang sedang memburuk. Ia harus
menabung dalam jangka waktu yang cukup lama dari hasil kerjanya untuk membeli
kalung tersebut. Illona juga bukan perempuan yang gelap akan uang. Ia menerima
kalung tersebut karena ia menghargai usaha Key untuk dirinya. Sebelumnya ia
pernah menolak gelang emas pemberian Key karena tidak ingin menyusahkan Key,
tapi itu malah membuat Key sedih dan sangat kecewa.
Sudah genap
empat tahun mereka berpacaran. Pantai ini adalah tempat di mana Illona dan Key
mengawali kisah percintaan mereka. Dan di pantai inilah mereka berdua saling
melepas cerita, memadu kasih, bercanda, dan masih banyak lagi.
Begitu juga
dengan kejadian buruk mereka. . .
Terjadi
pula di pantai ini.
***
Malam itu, langit seakan tidak bersahabat. Derasnya
hujan menyiram bumi. Angin yang bertiup kencang. Deburan ombak semakin besar
menutup batas-batas yang ada di tengah pantai. Lautan ketika itu kian
mengganas. Tak ada seorang pun yang berani keluar ketika hujan saat itu,
kecuali...
Terpaksa!
Illona
dengan tekad keberaniannya menyusuri pantai berbekal jas hujan, senter, dan
payung. Walaupun sebenarnya tetap tidak bisa melindungi dirinya dari kejamnya
malam itu, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin mencari sesuatu dan berharap
menemukannya.
“Haduh,
anginnya kencang sekali! Mana hujan, jadi becek pasirnya. Emang lagi nggak
bersahabat ini cuaca. Huft...!” keluhnya.
Ketika
sampai di pinggir pantai, ia menyalakan senter dan mulai mencari.
“Kalung, di
mana sih kamu? Please, jangan hilang! Kamu itu pemberian Key. Aku nggak mau Key
sedih. Please, ketemu! Please!!!” sembari masih mencari kalung tersebut dengan
senternya.
Angin
semakin besar. Dan seketika pula angin menerbangkan payung Illona hingga tinggallah
Illona dengan rambut yang tergerai basah. Tetapi, ia tidak peduli dan tetap
mencari. Di tengah keputusasaan dalam pencariannya, ia melihat seberkas sinar
menyala sekilas di sekitar pinggiran pantai yang bertaburan ombak itu. Ia
mendekati sinar tersebut. Ia tersenyum senang karena apa yang ia cari, telah ditemukan.
Ia mulai memanjangkan tangannya ingin meraih kalung itu, tapi gulungan ombak
membawa kalung itu menjauh. Illona tetap tidak putus asa dan kemudian ia
mencoba mengambilnya kembali.
Walaupun ia
terus mencoba bahkan sampai berperang melawan ombak dan cuaca yang buruk, tetap
saja kalung itu tidak sampai ke dalam genggamannya.
Ia menghela
napas sedih. “Hhh. . . Aku nggak tahu apa yang harus aku perbuat kalau kamu
hilang.” Illona terus berusaha tak peduli dengan dirinya. Ia merasa bahwa
kalung itu berada dekat, tetapi ketika ia raih tidak didapatkan juga.
Tanpa di
sadarinya, ia telah jauh dari daratan. Dan tubuhnya mulai terkulai lemas. Ia tidak
dapat menahan kuat arus ombak yang terus menyeretnya lebih jauh dari daratan. Seluruh
tubuhnya bermandikan lautan. Terhuyung kesana kemari mengikuti arus deras ombak
di tengah laut.
Seketika
terdengar suara teriakan menyerukan namanya.
“Lonaa!
Looonaaaaa! LOONAAAAAAAAAAA!!!”
Perlahan
suara itu menghilang. Dadanya mulai sesak. Ia melihat dari kejauhan seseorang
berenang menghampirinya. Tapi takdapat ia lihat dengan jelas siapa yang datang.
Tubuhnya tidak dapat ia kendalikan. Ombak pasang yang besar menerjang dirinya.
Menenggelamkannya dalam lautan yang dalam hingga tak sadarkan diri. Dan
semuanya terasa begitu cepat hingga. . .
Satu jam
sebelumnya.
Tok tok tok.
Terdengar
ketukan di sebuah pintu rumah.
Tok tok tok
tok tok.
Dengan
perlahan pintu itu mulai terbuka dan keluarlah wanita setengah baya menyambut
kedatangan tamu di depan rumahnya itu.
“Lonanya
ada, Tante?” tanya Key sopan.
“Lho?! Kok
kamu masih ada di sini?” tanya wanita setengah baya yang adalah mamanya Illona.
“Bukannya Illona sudah pergi dengan kamu dua jam yang lalu?” Ia kaget melihat
Key tepat di hadapannya tanpa Illona.
“Hah,
maksudnya apa, tante?” tanya Key balik tidak mengerti.
“Tadi Illona
pamit. Katanya mau pergi keluar sebentar. Tante kira dia pergi sama kamu. Padahal
sudah malam. Mana hujan-hujan begini. Kemana, ya, dia? Haduh, anak itu!” ujar
wanita itu mulai khawatir.
Key dengan
cepat menenangkan. “Kalau begitu, sekarang saya cari dia, ya, Tante. Lona nggak
akan pergi jauh-jauh. Tante tenang aja. Permisi,”
“Hati-hati,
Key!”
“Lona, kamu
kemana, sih?! Ngapain kamu malam-malam begini keluar. Jangan-jangan kamu
mencari kalung yang hilang itu.”
Kalung
mutiara emas itu jatuh ketika mereka berdua sedang berenang di tepi pantai pada
siang hari. Illona baru menyadarinya ketika sampai di rumah. Kemudian ia segera
memberitahu Key. Walaupun reaksi Key sepertinya biasa saja, tapi Illona tahu
bahwa Key pasti kecewa sekali. Akhirnya Illona bertekad ingin mencari kalung
itu hingga ketemu. Bukan karena mahalnya kalung itu, tetapi karena Key yang
memberikannya dan besarnya usaha Key untuk membeli kalung tersebut.
Key berlari
mencari Illona ke tepi pantai. Derasnya air hujan mengguyur sekujur tubuhnya.
Sudah sekitar satu jam Key mencari Illona, tetapi tidak ditemukannya. Lalu
pandangannya beralih ke ujung lautan yang luas. Tiba-tiba. . .
“Lona?” Key
tak percaya apa yang ia lihat. Dadanya sesak seketika. Pikirannya kosong. Illona sudah berada di tengah lautan, terseret
oleh ombak yang mengerikan. “Lonaaaa!” jeritnya.
Tanpa pikir
panjang, Key segera berenang ke tengah lautan menuju Illona. Ia tak takut
menantang datangnya ombak besar yang melawan. Ia lebih takut bila kehilangan
Illona.
“Loonaaaaaaa!”
teriaknya dengan suara lantang sambil terus berenang.
Belum
sempat sampai ke tengah lautan, ia melihat ombak pasang yang sangat besar
menghantam dan membawa Illona ke dalam lingkup lautan yang luas.
“LOOONAAAAAAAAAAAA!!!”
Ia terus
berenang walaupun ada beberapa anak ombak yang membentang.
Setelah
cukup jauh memerangi lautan, ia menyelam mencari Illona, dan akhirnya ia pun
menemukan kekasih hatinya itu tenggelam dalam kondisi lemah tak berdaya.
“Lona, apa
sih yang kamu lakukan? Bahkan nyawamu masih jauh lebih berharga daripada kalung
itu,” sesal Key dalam hati.
Kemudian ia
meraih tangan kekasihnya itu dan menggenggamnya erat. Tak terasa kakinya tertancap
sesuatu. Membuat darahnya mengucur ke permukaan air. Tapi, ia tidak peduli dan
tetap melanjutkan penyelamatan. Biarpun begitu, kakinya tidak kuat lagi mengayuh
dengan darah yang terus mengalir keluar. Sakit. Perih. Membuat tubuhnya lemah.
Dan disisa
kekuatannya, Key mendorong tubuh Illona ke arah daratan. Membiarkan ombak
membawa tubuh Illona sampai pinggir pantai. Ia kembali menyelam ke dalam lautan
berusaha mengambil sesuatu sehingga dirinya sendiri tidak sempat ia selamatkan.
***
Air matanya
takkuasa jatuh membasahi pipi Illona ketika melihat kalung mutiara emas itu
sudah berada di tangannya. Hatinya masih tidak dapat menerima kenyataan yang
terjadi. Berjuta rasa penyesalan tidak akan mengubah apa-apa. Key tidak akan
kembali. Walaupun begitu, ia tetap menunggu Key.
Setiap hari
yang ia lakukan adalah menunggu malam tanpa berbicara dan hanya duduk di kamar
rumahnya. Kedua orang tuanya sangat sedih melihat Illona seperti itu. Ketika
malam tiba, ia pergi, lalu duduk di pinggiran pantai dengan kalung mutiara emas
digenggamannya. Menunggu kembalinya sang belahan hati yang sebenarnya ia pun tahu
bahwa itu mustahil. Tetapi, ia masih berharap berbicara sekali lagi dengan Key-nya
yang tidak sempat mengucapkan kata perpisahan padanya. Setelah matahari mulai
menampakkan cahayanya, Illona kembali pulang.
***
Kisah pilu yang diceritakan oleh nenek tentang gadis
itu, membuatku lirih. Sudah lewat satu tahun semenjak kejadian itu. Illona
terus menjalani harinya yang kosong.
Hanya butuh kerelaan pada dirinya untuk menyadari
bahwa seseorang yang ia sayang telah pergi untuk selama-lamanya. Maka, ia dapat
terbebas dari hidupnya yang hilang. Namun sampai sekarang ia masih belum rela.
Atau mungkin belum saatnya.
Tok tok tok.
Ketukan pelan dari luar pintu kamarku.
“Alice,” panggil nenek membuyarkan lamunanku.
Kututup jendela dan segera berlari menuju pintu kamar lalu
membukanya. “Pagi, Nek!” sahutku riang sambil memeluk dan mencium pipi nenekku
tersayang. Wajah keriput nenek ketika menyambutku tidak dapat menutupi senyumnya
yang menawan bak bunga mawar. Ketika nenek memeluku, dapat kurasakan bagaimana
nenek juga memeluk ibuku yang sekarang sudah tiada. Aku adalah anak piatu. Ibu
meninggal saat aku masih kecil. Ayah bekerja banting tulang mencari nafkah
sekalian mengurusi aku. Walaupun ibu yang sudah meninggal dan ayah yang jarang
bersamaku, tetapi aku tidak mengeluh. Aku masih dapat melewati semuanya dengan
selalu bersyukur. Dan rupanya hidupku semakin baik sepanjang hari.
Percayalah, hidupmu akan terlihat berbeda jika kamu
selalu mensyukuri apa yang ada pada dirimu. Jangan pernah melihat masa lalu
yang akan membuat hidupmu tidak berkembang. Relakanlah semua yang telah terjadi
dan mulailah dengan langkah yang baru sebab tahukah kamu bahwa sebenarnya masa
depan yang cerah sedang menunggumu.
***
Lautan luas membentang di pelopak mata Illona. Tidak
ada lagi yang ia pandang, selain lautan itu. Digenggamnya erat kalung itu. Hatinya
seakan mati terseret desiran ombak. Jiwanya hancur bagai terkikis karang di
pantai. Dan pikirannya hilang terbawa hembusan angin.
Kini. . .
Yang tinggal dan tidak akan pernah hilang ialah. . .
Kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar