WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Senin, 22 Oktober 2012

Jean

Malaikat itu makin menjauh sehingga kamarku yang tadi terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak dapat melihat apa-apa lagi.
***
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya. Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang bisa dikenakan. Ingin rasanya menangis, tapi takberguna jika keadaannya seperti ini. Sekilas dia melihat beberapa helai kertas koran beterbangan di jalan aspal itu. Tidak ada yang ia pikirkan selain mengambil koran-koran untuk menutupi dirinya yang sebenarnya sudah tidak berguna ditutupi itu. Kemudian dia merangkak mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal dan… BAM!
***
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…” Kemudian menghadap ke depan kembali.
“Sssssttt!!!”
Aku memutar bola mataku ke atas dan kembali menengok ke belakang.
Tangan laki-laki itu membentuk sebuah kode sambil memainkan mulutnya.
“Dua tiga?” tanyaku polos dengan suara yang cukup keras. Keras? Sebenarnya biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya bukan di pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
“Apanya yang dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.” Mendadak aku menjadi gugup.
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!” celetuk Jean. Raut wajah anak-anak lain berubah seketika mendengar paparan dari Jean. Ada yang menahan tawa. Ada yang jutek. Ada yang tidak ambil peduli. Ada yang mengutuki, dan sial, itu pasti Jean! Ada juga yang memelas, kalau ini pasti Ryan, laki-laki yang bertanya padaku tadi.
Wanita berbaya yang masih saja cantik itu meninggalkan kursi eksklusifnya dan menghampiriku. Setelah sampai tepat di sebelahku, ia berkata, “Kamu ikut dengan ibu. Sekarang!”
Aku hanya bisa nyengir kuda dan segera mengikuti wanita yang biasa dipanggil Ibu Mona. Dalam cengiranku, terselip rasa kebencian yang mendalam saat itu. Dua puluh persen untuk Ryan dan delapan puluh persen untuk perempuan tengik itu (jangan bertanya mengapa persen untuk Jean lebih banyak). Yah, dia biasa kupanggil perempuan tengik. Oh, satu lagi. Biasanya malahan teman-temanku yang lain memanggilnya pelacur tengik. Masih mending sebutan dariku, kan?

“Oh, tidak! Itu sama saja, masih ada tengik-tengiknya juga,” protes Helen yang paling tidak suka perbedaan jika memberi sebutan untuk Jean. Menurutnya kata “perempuan” panggilanku, sama saja dengan kata pelacur.
“Ya, apa pun lah. Yang penting pelacur, eh itu cewek…” balas Dian yang biasa dengan kata-kata “apa pun lah”.
“Perempuan,” potong Rainy yang memang sudah biasa membenarkan gaya bicara kami.
“Iya, apa pun lah itu namanya.” Dian masih tidak mau kalah. “Kalau yang menyandang dia, gelarnya pasti buruk. Kalau perempuan jadi perempuan…” membuka telapak tangan kirinya ke arahku, bermaksud menyilakanku untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tengik.”
“Kalau pelacur, jadi pelacur…” sekarang giliran tangan kanannya yang diarahkannya.
Renata agak terkejut karena tangan Dian mengarah padanya. “Eh…“ Namun, tanpa pikir panjang dia berseru, ”tengik!”
Dengan santai, Dian tetap melanjutkan perkataannya. “Dan kalau jadi cewek, cewek apa ya yang agak jelek banyakan gitu,”
“Mana ada agak jelek banyakan. Bagusan dikit, jelekan dikit, atau agak jelek gitu,” koreksi Rainy lagi.
Dian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah terhadap teman sebelah kanannya yang terus protes itu. “Apa pun lah.”
“Jadi-jadian.” Tamara yang sedari tadi hanya diam dan mengantuk, angkat bicara.
Dian melotot dengan membuka mulutnya lebar-lebar dan menganggukkan kepalanya seakan memberika sinyal kepada kita. “Cewek jadi-jadian.”

Ibu Mona membawaku ke ruang panitia, dengan kata lain ruang guru.
Aku tersandung pada lantai yang agak menjorok ke atas. “Eh cewek jadi-jadian! Jadi-jadian,” latahku spontan.
Ibu Mona terkejut mendengar ujaranku. “Apa!?!” katanya sambil melotot.
Aku segera mengoreksi perkataanku barusan. “Bukan ibu!” Karena memikirkan kejadian waktu itu, aku jadi kena sial. Tapi ini bukan satu-satunya hari kesialanku. Sebelumnya malah lebih parah dari ini.
Karena dia, aku hampir dijauhi teman sekelas. Hanya karena aku pernah salah memakai seragam. Jean langsung berkata pada teman-temannya, “Eh, ada anak baru…”
“Kok anak baru?” tanya salah satu teman Jean.
Jean mengangkat alisnya. “Iya, anak baru. Anak baru malu! Habis salah kostum.” Semua yang berada di ruangan kelas itu tertawa.
Mukaku merah padam. Aku malu. Bukan. Aku MEMALUKAN!
“Kok diam? Salah masuk, Mbak. Coba mbak cari kelas yang kostumnya sama saja.”
Bukan suara tawa orang-orang yang merusak hatiku, tapi ucapan-ucapan Jean. Pernah juga aku dan teman-temanku mengikuti lomba lari. Tiba-tiba, Helen tergelincir di tengah jalan.
Bukannya ditolong, Jean justru tertawa dan mengejek Helen. “Hahaha… Dasar, tolol! Lari saja nggak lulus,”
Memang bukan kejadian yang sama. Bukan masalah yang sama. Bukan juga tempat dan jam yang sama, tapi satu hal yang sama… Jean. Setiap ada dia, suasana berubah buncah.

Sesudah try out, kami diberikan kesempatan istirahat setengah jam untuk mempersiapkan try out selanjutnya. Dian, Helen, Rainy, Renata, Tamara, dan aku duduk di kantin sambil bercengkrama mengenai ujian tadi dan belajar ujian selanjutnya.
“Eh! Ada geng aneh,” seru Jean tiba-tiba yang sudah berdiri di samping meja kami dengan angkuhnya.
Kami yang tadinya bercanda girang berubah hening sekejap. Tapi tidak ada satu dari kami yang membalas ucapannya.
“Oh iya, tadi siapa ya yang mau nyoba nyontek ke cowok gue? Gue tahu! Orang itu pasti yang masih punya perasaan ke cowok gue,” tukas Jean memulai lagi.
Wajahku panas. Napasku tidak karuan. Aku benar-benar marah dan ingin sekali menonjoknya sekarang juga. Aku tahu dia melihat kejadian yang Ryan lakukan tadi. Tapi beraninya ia memutarbalikkan fakta. Aku memang pernah suka dengan Ryan karena satu-satunya alasanku adalah dia keren dan cukup terkenal di sekolah. Hanya itu. Tapi ternyata dia brengsek karena baru-baru ini aku tahu dia berpacaran dengan Jena setelah beberapa bulan lalu mendekatiku. Tapi mungkin kalau disuruh memilih antara Ryan dan Jean, pasti aku akan jawab dengan pasti, Ryan! Jangan tanya kenapa.
Dian benci melihatku yang hanya bisa diam tanpa melakukan pembalasan. Ia berdiri sembari berkata, “Heh, cowok loe tuh yang nyontek ke teman gue. Adanya juga suruh tuh cowok loe nyadar! Sudah punya cewek malah tanya sama cewek lain. Kalau gue jadi loe, sih, ih!” ejek Dian tiada ampun.
“Idih, aneh deh loe! Kalaupun memang Ryan beneran tanya, dia juga nggak mungkin tanya gue karena dia tahu gue nggak gampang dibego-begoin.”
“Ih, nggak gampang dibego-begoin?! Hello…” cibir Helen.
“Yang namanya lagi try out, bodoh banget orang yang masih nengok kalau dipanggil. Sudah tahu sekolah kita ketat peraturannya. Nah, si Ryan itu nyari orang yang gampang dibego-begoin.” Jean mengangkat alisnya sembari melirikku. “Kayak teman loe itu.”
Dian menghela napas. “Gue bingung kenapa Ryan suka cewek macam loe, cih!”
“Gue juga bingung kenapa Agatha masih suka sama cowok yang sudah jadi milik orang lain,” cela Jean tidak mau kalah.
Sudah habis kesabaranku untuknya. “Beasiswa loe akan gue ambil.” Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku. Sebelum ini memang ada pemberian beasiswa kepada siswa yang pintar dan kurang mampu. Beasiswa itu hanya diperuntukkan kepada lima siswa. Dan sudah terisi empat siswa lain. Aku dan Jean adalah kandidat pada beasiswa terakhir. Namun, sekolah tidak bisa memberikan beasiswa kepada kedua dari kami karena beasiswanya pun terbatas. Dari awal, Jean adalah siswa yang selalu mendapatkan beasiswa. Dan karena pemikiran panjang yang menganggap Jean jauh lebih mampu daripada aku, maka kepala sekolah menawarkannya untukku tanpa sepengetahuan Jean. Lagipula Jean sudah banyak mendaptkan beasiswa sebelumnya, sedangkan aku belum pernah. Dan kepala sekolah akan memberitahu Jean bahwa beasiswa sudah diberikan kepada orang yang lain, jika aku menerima tawarannya.
Jean menatapku hambar tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
“Gue tahu itu beasiswa loe, tapi gue juga tahu kalau tahun ini bukan loe yang pantas dapat beasiswa itu.” Aku tersenyum penuh kemenangan.
“Oh, ya?” Rainy, temanku, salah seorang siswa yang juga mendapatkan beasiswa terkejut gembira. “Gimana bisa?”
“Iya, hebat loe! Ceita donk, Ta?!?” timpal Renata. Dian dan yang lainnya tersenyum puas.
Namun, aku masih belum puas sampai melihat perubahan pada raut wajah Jean. “Dan beasiswa terakhir ini cukup… cukup ba-nyak.”
Dan benar, raut wajah Jean berubah seketika. Entah tahu apa yang ia pikirkan, tapi aku tahu beasiswa ini penting untuk ketenarannya. Biasanya selalu dia yang mendapat beasiswa sehingga lengkap sudah kesempurnaan dia di mata orang. Cantik, kaya, dan… pintar.
“Nggak penting banget,” kata Jean akhirnya tanpa menggubris lebih lanjut dan melenggang pergi.
Dan setelah kejadian itu, kami tidak pernah menyangka bahwa saat itu adalah saat terakhir kami bertemu dengannya. Tapi, siapa juga yang peduli pada saat itu.
Keesokan harinya, kami tidak melihat Jean di sekolah. Dan tiga hari kemudian, terdengar kabar yang menggemparkan di sekolah bahwa Jean telah meninggal.

Aku yang tidak mengerti akan semua ini hanya diam. Sesosok makhluk bersinar terang yang rupanya tidak kelihatan ini berdiri di hadapanku, di kamarku. Malam itu, tanpa lampu atau cahaya lilin, mataku cukup dibuat silau oleh makhluk tersebut. Bukannya teriak atau pingsan, aku duduk terpaku menatap makhluk yang entah Tuhan atau hantu itu. Namun, jika itu hantu tidak mungkin sinarnya menghangatkan kulitku yang mulai biru karena kedinginan. Tapi sepertinya itu juga bukan Tuhan karena… entahlah. Jadi aku tetapkan untuk memanggilnya malaikat.
Lalu dengan kilat malaikat itu membawaku ke suatu tempat yang tidak kutahu pasti di mana. “Di mana ini?”
Malaikat itu menunjukkanku situasi yang tidak dapat dilihat orang lain. Malaikat itu menyilakanku untuk memasuki beberapa aspek kehidupan… Jean? Itukah Jean? Dia membawaku ke tempat Jean melakukan sesuatu yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Bahkan CCTV pun masih kalah dengan pengelihatanku yang sanggup menilik seluruh aktivitas kehidupannya. Melihat semua itu, membuatku merasakan suatu keanehan di dadaku. Sakit, perih, dan menyesal. Apalagi setelah malaikat itu membawaku pada kronologis kematian Jean.
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya. Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang bisa dikenakan. Aku tahu, pasti ingin rasanya ia menangis saat itu. Tapi baginya takberguna jika keadaannya seperti ini. Kalau aku berada dalam posisinya saat itu, mungkin aku hanya akan menangis dan tidak dapat melakukan apa-apa. Namun, tidak dengan Jean. Aku melihat dengan jelas pada saat itu Jean belum mati, walaupun keadaannya sungguh tragis. Waktu kembali berputar ke belakang dan saat itu adalah malam yang panjang, ketika kejadian bejat itu terjadi. Sepulang sekolah, Jean rupanya tidak langsung kembali ke rumah. Tentu saja, siapa juga yang betah tinggal di rumah dengan ayah yang setiap hari selalu memukulinya. Sedangkan, ibunya pergi selingkuh dengan laki-laki lain entah di mana. Kehidupannya bukan lagi seperti manusia normal. Jika punya pilihan, Jean pasti tidak akan mau dilahirkan ke dunia ini.
Jean adalah anak tunggal yang orang tuanya berpisah sekitar sembilan tahun yang lalu. Ia baru berumur tujuh tahun ketika kejadian itu menimpanya. Hal ini bukan suatu yang biasa baginya. Bahkan setelah sepuluh tahun sesudahnya pun, kejadian itu bagaikan neraka yang tiada habis di hidupnya. Ia tinggal dengan ayahnya. Lalu ke mana ibunya? Ibunya? Bahkan Jean pun benci memikirkannya. Penyebab perpisahan kedua orang tuanya adalah ibu.
Kejadian itu dimulai ketika hamil anak kedua. Ayah Jean sempat ragu akan kehamilan istrinya yang kedua karena merasa tidak pernah melakukan lagi setelah bertahun-tahun. Sudah dapat ditebak, bukan? Ibu Jean selingkuh dengan laki-laki lain dan hamil. Jean kecil tidak begitu mengerti dengan peristiwa ini. Namun dengan berjalannya waktu, Jean yang beranjak dewasa pun mengetahuinya. Pantas saja, ibunya lebih sayang dan perhatian kepada adik yang baru ia tahu adalah adik tirinya. Ia sudah habis akal untuk membenci ibunya. Mau tidak mau, ibu tetaplah ibu. Namun, bukan berarti ibunya adalah penyebab semua kebobrokan hidupnya. Ayah Jean adalah ayah yang hebat dalam karir. Namun, tidak lama. Karirnya pun hancur bersamaan dengan gagalnya ia membangun rumah tangga yang harmonis. Perilakunya menjadi tidak terkontrol. Dahulu, ia adalah ayah yang sabar, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi itu dulu.
 “Jean! Jeaaaan!!!” teriak ayah Jean dari lantai dasar.
Jean yang sedang belajar di lantai dua segera berlari menghampiri ayahnya.
“Lama amat! Ambilkan baju batik biru di atas. Cepat!”
Jean yang bolak-balik turun naik tidak peduli betapa lelahnya ia. Ia hanya berpikir untuk mengambilkan baju ayahnya. Sesudah itu, Jean segera menyodorkan baju yang diminta ayahnya.
“Bego kamu! Bukan ini!” maki ayahnya yang selagi mau memasang ikat pinggang.
Aku melihatnya. Jean dipukuli hingga babak belur. Ayahnya tidak memukul dengan tangan, melainkan dengan sabuk celana. Ia terkena pukulan mulai dari wajah sampai ke kaki. Bahkan wajahnya hampir tak kukenali lagi. Jean berteriak minta ampun, tapi tak digubris ayahnya. Salah apa dia? Hanya karena salah mengambilkan baju, dia menjadi seperti ini. Jean yang menangis meraung-raung tetap tidak mendapat empati dari ayahnya. Perilaku ayahnya yang kejam ini dimulai ketika ia mulai beranjak menapaki SMA. Sudah lama sejak perpisahan itu terjadi, ayahnya tidak bekerja lagi. Dan mereka hidup dengan warisan yang dimiliki kakek dan nenek. Namun, warisan pun bukan surga kekal yang tidak dapat habis. Uang pun semakin menipis karena banyak kebutuhan Jean akan sekolahnya. Ketika Jean mulai memasuki SMA, uang warisan pun sekarat. Oleh sebab itu, ayahnya selalu memarahi Jean karena dengan mudah mengahabiskan uang, tidak mencoba menghemat. Padahal Jean sudah berusaha menghemat sebisanya. Ayahnya lah yang menghabiskan uang dengan tidak bekerja, malah membeli minuman keras dan rokok. Bahkan Jean tidak pernah lagi meminta uang sekolah semenjak SMA karena sudah mendapat beasiswa. Sikap ayahnya memang berubah setelah perpisahan, namun berubah lebih drastis sejak kehabisan uang. Aku sadar bahwa baru saja aku mengambil satu-satunya hal yang menguatkannya untuk melanjutkan sekolah.
Setelah kejadian pemukulan itu, reaksinya berubah biasa saja. Sepertinya dia sudah terbiasa. Seketika di depan cermin ia kembali menangis. Dia memang menangis, tapi setelah itu dia pun kembali memperbaiki wajahnya. Seketika pula ia tidak bergeming. Dia hanya diam tidak melakukan apa-apa. Kemudian dia berniat mengobati bagian tubuhnya yang terluka, namun diurungkan niatnya itu. Bagian tubuhnya tidak perlu ia pedulikan lebih jauh sekarang karena masih bisa ditutupi oleh seragam sekolah. Jean langsung membalut wajahnya dengan kain berisi obat. Tapi itu tetap tidak dapat menutupi luka memar pada wajahnya. Aku penasaran apa yang akan Jean lakukan ketika keesokan harinya ia harus ke sekolah dengan tampang yang tak mungkin seperti itu. Rupanya, ia menutupi wajahnya dengan make up yang tebal. Walau tidak sepenuhnya bekas memar Jean tertutup, namun pada akhirnya alat rias itu membantu juga. Dari keadaan yang sekarang sulit untuk membedakan lebih bahagia dengan siapa jika ditanyakan, ibu atau ayah.
Ternyata kisah hidupnya tidak hanya tragis di rumah. Aku pikir dia adalah orang yang paling beruntung memiliki kecantikan, kekayaan, dan ketenaran di sekolah. Namun, aku salah. Aku tidak tahu apa-apa. Di sekolah pun seluruh teman-temannya berhati munafik. Mereka hanya memanfaatkan kekayaan jean. Aku juga baru tahu kalau Ryan hanya menyukai kecantikan Jean. Ryan tidak mencintai Jean. Itu alasan mengapa Jean sepertinya menjauhi Ryan. Walaupun mereka adalah sepasang kekasih, tapi itu hanya status agar Jean lebih diakui. Dia melakukan itu setidaknya untuk melupakan kisah pahit yang dimilikinya di rumah. Aku terkejut ketika Jean menatap iri ke arahku dan teman-temanku. Selama ini ia hanya ingin mendapatkan teman seperti teman-temanku. Teman yang selalu membela dan membantu setiap masalahnya. Ia iri padaku. Ia sering mengisengi kami karena ia benci melihat keakraban kami. Aku tidak pernah menyangka bahwa Jean memerhatikan kami seperti itu. Ketika Jean melihat ke arah kami, entah mengapa aku bisa membaca matanya. Matanya memancarkan kepedihan atas keinginan yang tidak mungkin ia wujudkan.
Kembali pada kisah awal mula terjadi kematian Jean. Malam itu Jean tidak langsung pulang. Pikirannya sedang kacau balau. Salah satunya adalah karena beasiswa. Ia tahu kalau ia pulang sekarang keadaan di rumah justru memperkeruh hatinya. Ia juga tahu kalau ia tidak pulang sekarang, maka ayahnya akan marah besar. Tapi ia tidak peduli. Ia sudah siap dimarahi dan dipukuli. Tapi tidak sekarang. Ia ingin menyegarkan pikirannya dahulu dengan kesenangan bersama Iin, teman perempuan terdekatnya saat itu. Akhirnya, ia bermain bersama Iin untuk menenangkan diri dan baru pulang agak larut. Di dalam perjalanan, Jean bertemu dengan enam orang laki-laki yang akan membawanya ke tempat sepi nanti. Namun, tidak pernah ia sadari bahwa hal itu akan terjadi. Tentu saja karena salah satu dari antara enam orang itu adalah Ryan. Aku saja yang melihat langsung dengan mataku ini masih tidak percaya akan apa yang terjadi, bagaimana dengan Jean yang adalah pacarnya sendiri. Aku sangat terkejut melihat strategi kebejatan Ryan terhadap Jean. Rupanya Ryan sudah tahu kalau Jean akan melewati jalan itu. Ryan menawarkan Jean untuk mengantar pulang. Dan tentu saja pertemuan mereka itu seakan tidak disengaja.
“Jean, kamu dari mana? Sudah malam begini kok kamu belum pulang? Aku sms nggak dibalas,” tanya ryan sok perhatian.
“Lowbat,” jawab Jean singkat. Jean melirik lima orang di sekitar Ryan. Tidak ada satu pun yang ia kenal, selain Ryan.
Ryan yang sadar langsung memperkenalkan teman-temanya. “Kenalin, ini semua teman-teman aku.”
Jean menyambutnya dengan agak lelah. Pikirannya saat itu hanyalah tidur di atas kasurnya yang empuk. Tidur, tidur, dan tidak ingin ada orang yang membangunkannya. Dan keinginannya akan terkabul sebentar lagi. Dia tidak akan dapat dibangunkan oleh siapa pun.
“Kamu pulang bareng kita saja. Aku antar sampai rumah. Oh iya sayang. Kita lewat sini, ya. Soalnya mobilku ada di belakang taman sana,” pinta Ryan licik. Hal itu tidak diketahui Jean. Jean yang sudah letih, hanya mengiyakan dan mengikuti mereka ke taman yang sepi.
Di sana Ryan dan kelima temannya memulai aksi mereka. Aku berteriak untuk menghentikan Jean, namun takberhasil. Salah satu teman Ryan membungkam mulut Jean dengan sapu tangan berisi obat penenang sehingga membuat Jean lemas. Jean yang tidak sempat meronta dan berteriak membuat keringatku mengucur saking tegangnya. Salah seorang lagi membuka pakaian Jean dan membuangnya ke tempat sampah yang agak jauh dari situ. Aku mencoba mengambil sesuatu, tapi tidak ada yang bisa aku pegang. Semuanya tembus. Dua orang lagi mulai meraba-raba tubuh Jean yang hanya bisa meronta sedikit dan tidak dapat melakukan apa pun. Mataku berkaca-kaca. Sungguh tega Ryan sampai melakukan kekejian itu.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku mencari malaikat itu. “Hei, kita harus menolongnya. Hei! Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku terisak kepada malaikat itu yang sedari tadi tidak jauh di belakangku. Anehnya, dari tadi malaikat itu hanya diam. Aku menjadi semakin panik. Namun aku dapat merasakan kesedihan terpancar dari malaikat itu, walaupun aku tidak dapat melihat raut wajahnya. Para pria bejat itu secara bergantian menodai Jean dengan wajah tanpa dosa. Aku yang bukan Jean saja ingin mati rasanya melihat ini, apalagi Jean. Malam itu adalah malam yang panjang bagi Jean dengan segala keterpurukkannya. “Ah, sial!” makiku dalam hati. Malaikat itu masih saja diam dan tidak melakukan apa-apa.
“Kenapa kamu diam saja? Beri tahu aku bagaimana aku bisa menolongnya, aku mohon!” Aku bermandikan keringat dan air mata memohon pada malaikat itu. Namun, malaikat itu tidak berkata satu patah kata pun sampai menjelang pagi.
Jean berusaha melihat semua di sekelilingnya. Sekilas dia melihat beberapa kertas koran beterbangan di jalan aspal itu. Tidak ada yang ia pikirkankan selain mengambil koran-koran itu dan menutupi dirinya yang sebenarnya sudah tidak guna untuk ditutupi itu. Jalanan aspal itu tergolong jalanan sepi karena bukan jalan yang biasa mobil atau motor melintas. Jalan itu memang biasanya hanya dilewati oleh mobil-mobil besar, seperti truk pengangkut barang. Saat itu memang sama sekali tidak ada truk yang melintas. Tapi sedetik kemudian dari arah belokan di sebelah kanan, muncul truk besar yang melintas dengan kecepatan maksimal. Tapi aku rasa Jean tidak mengetahuinya. Dia berusaha merangkak. Ia tetap mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal. Aku spontan melotot dan berteriak.
“Jean! Awas, Jean! Jangan ke sana, Jean! Jean!!!” Mendadak aku diliputi kepanikan. Tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Aku mencoba memanggil-manggil Jean tapi tidak berhasil. Tentu saja, karena saat ini Jean tidak bisa melihatku. Aku mencucurkan air mata ketika Jean hampir meraih kertas koran dan… BAM!
Aku benar-benar syok. Kengerian itu tidak dapat aku hapuskan dipikiranku saat itu. Mataku takdapat berkedip satu kali pun melihat insiden tabrak lari itu. Tabrak lari? Iya, tarbrak lari. Sudah tidak perlu aku beritahu siapa pelakunya. Aku menangis dalam hati. Menangis tidak berhenti sambil memanggil nama Jean.
Bayangan kecelakaan itu semakin menjauh dari hadapanku. Tidak. Tidak!!! Aku tidak mau meninggalkan Jean dalam keadaan seperti itu! Aku berlari menghampiri Jean, tapi semakin aku berlari, semakin bayangan itu jauh. Aku sadar, selama ini aku merasa paling tahu segalanya. Aku merasa bisa menghakimi orang lain. Namun, sekarang aku tahu semua itu salah.
Dulu… Aku berlari seolah akulah orang yang paling benar. Aku menangis seakan akulah orang yang paling menderita. Aku hanya makhluk egois yang tidak pantas memiliki hak apa pun. Kali ini, bukan aku. Bukan aku! Bukan aku yang menjadi tokoh utama. Bukan juga menjadi antagonisnya. Bukan juga figuran. Bukan. Bukan apa-apa.
Malaikat itu membawaku kembali ke tempat awal kita bertemu, kamarku.
Aku pun memohon kepada malaikat itu. “Berikan aku satu kesempatan untuk menebus itu semua. Maaf, maafkan aku! Huuhuu…” kataku dengan bercucuran air mata. Berapa kali pun aku meminta, malaikat itu tetap tidak bersuara menjawabku.
“Mengapa? Mengapa aku harus mengetahui semua ini kalau tidak ada yang dapat aku lakukan? Apa ini hukuman untukku karena telah membuat Jean menderita? Jawab aku! Aku mohon!” Konstelasi tadi memecahkan kantung air mataku. Aku tidak peduli, aku terus memohon dan minta ampun. Aku ingin melakukan sesuatu terhadap hidup jean. Aku benar-benar ingin membuat Jean nyaman di sekolah. Satu pintaku, membuat Jean bahagia walau hanya sedikit atau sebentar. Setidaknya kalau itu tidak bisa, aku cuma ingin melihat Jean sekali lagi dan meminta maaf kepadanya. Andaikan aku mengetahui kebenaran ini dari awal, aku pastikan tidak mengambil beasiswa yang seharusnya Jean dapatkan. Jika aku tahu semuanya, aku pastikan tidak membela Ryan dalam keadaan apa pun juga. Andaikan ada kesempatan lagi, aku pastikan Jean tidak sendirian. Aku akan memastikan bahwa Jean akan baik-baik saja. Andaikan saja, andaikan…
Aku menangis sejadi-jadinya karena kutahu semua telah usai. Aku jadi mengetahui alasan mengapa kita tidak punya hak untuk menghakimi kesalahan orang. Hal itu karena kita tidak tahu apa-apa mengenai hati seseorang. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi setiap orang karena hanya dia yang mengetahui hati setiap kita. Seperti halnya aku yang menyesal ketika mengetahui segalanya tentang Jean. Ternyata Jean tidak seburuk yang aku kira. Dan semua ini sudah terlambat.
Malaikat itu makin menjauh sehingga tempat yang tadi terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak dapat melihat apa-apa lagi. Tapi sebelum cahayanya semakin pudar, aku melihat wajah yang sepanjang tadi takdapat kulihat. Tidak mungkin! Wajahnya mirip… aku.
***
Hari itu, aku harus bangun pagi dan langsung mempersiapkan diri untuk mengerjakan try out di sekolah. Aku merasa pusing karena mimpiku semalam. Namun, aku sama sekali tidak dapat mengingat mimpiku. Kita mungkin pernah mendapatkan mimpi menyenangkan atau menyedihkan yang seharusnya diingat di pagi hari, tapi kita melupakannya. Dan itu membuat kita jengkel. Aku berusaha mengingatnya karena kupikir itu sesuatu yang penting. Bukankah ini menyebalkan.
“Agatha!” panggil Ryan berbisik. Aku masih memikirkan mimpiku yang masih tidak bisa kuingat.
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…”
Ryan rupanya bertanya soal try out yang ia tidak bisa. Ia menjentikkan dua jarinya kemudian tiga jarinya. Itu seperti kode menyontek tanpa ketahuan. Aku malas menjawab. Lagipula aku bahkan belum membaca nomor yang ia tanyakan tersebut. Kemudian aku menghadap ke depan kembali. Mimpi apa, ya?
“Sssssttt!!!” seru Ryan tidak mau menyerah.
Ryan benar-benar menganggu. Aku memutar bola mataku ke atas dan kembali menengok ke belakang. Tangan laki-laki itu membentuk sebuah kode seperti tadi di tangannya sambil memainkan mulutnya. Aku masih berusaha mengingat kejadian apa dalam mimpiku sehingga aku tidak sadar telah berbicara lumayan keras menanggapi ulah Ryan.
 “Dua tiga?” tanyaku polos dengan suara yang cukup keras. Keras? Aduh, bodohnya aku! Sebenarnya biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya bukan di pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
 “Apanya yang dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. Anehnya, aku merasa pernah mendapatkan kejadian serupa. Ini seperti dejavu. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.” Mendadak aku menjadi sangat gugup. Aku gugup karena aku mulai mengingat serpihan-serpihan mimpiku.
Tidak! Tidak mungkin ini terjadi! Kalau ini terjadi berarti Jean…
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!”
Dalam hidup ini, kita dituntut untuk melakukan yang terbaik sebelum semuanya terlambat. Jika kita gagal, maka yang ada hanya penyesalan. Sebenarnya hal ini sederhana. Kesempatan itu selalu ada. Namun jika kesempatan itu datang lagi kepadamu, apakah kamu sanggup mengubahnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar