“Gimana kalau Rendy? Kakak kelas yang keren itu!”
usul Berta.
“Ah, jangan! Steven aja… Kan dia kaya banget ntu! Dia
juga baik. Kan jarang ada orang kaya yang baik.” tolak Dian dengan gayanya yang
santai tanpa mempertimbangkan usulan Berta.
“Kaya apa? Kaya kebo?” ejek Berta.
“Yeeee, cowok loe ntu kebo!” bantah Dian.
“Heh, jangan main cowok, ya!”
Dian dan Berta berdebat hebat di depanku. Suasana
siang yang terik ditambah mendengarkan perdebatan Dian dan Berta. Lengkap sudah
kemalanganan hari ini.
“Yee, siapa yang main cowok. Loe aja yang sensi! Weeee…”
Dian menjulurkan lidahnya sepanjang mungkin.
Aku lelah mendengar celoteh mereka berdua. Aku yang
belum punya pasangan malah mereka yang ribet. Sebenarnya, maksud mereka baik
ingin membantuku mencarikan pacar. Tapi, mengapa mereka malah membuatku risih
begini?
“Nggak! Gue nggak sensi. Loe aja yang nggak jelas.
Sudahlah! Pokoknya Rendy aja. Dia baik banget orangnya. Dia juga pintar, Na.”
“Heh, heh, heh! Steven lebih baik kok…” serbu Dian
tidak mau kalah.
“Lebih baik loe bilang? Playboy gitu!”
Aku menghela napas. ‘Kenapa mereka malah bertengkar?
Kenapa bukan mereka saja yang sekalian pacarin cowok pilihan mereka itu dan
putusin cowok masing-masing. Pasti akan lebih heboh jadinya. Hahaha…’ pikirku
iseng sambil membayangkan.
“Ih, Belum kenal sih loe!”
“Emang!”
“Tuh kan… Emang ngasal sih! Belum kenal saja sok
tahu… Tanya donk sama gue yang udah kenal,”
“Lah elah! Males deh. Sudahlah Rendy aja. Paling
mantap itu…”
‘Haduuuuh! Rendy, Steven, Rendy, Steven, Rendy,
Steven… Siapa mereka saja, gue nggak tahu!’ keluhku dalam hati.
“Ih, Steven saja.”
“Rendy!”
“Yee, bodo. Anna nggak bakalan dengerin loe. Steven saja,
Na!”
Pandanganku menerawang ke arah lapangan. Puluhan
siswa membanjiri seluruh pinggir lapangan untuk melihat pertandingan futsal
antarkelas. Seorang laki-laki tampan yang digandrungi banyak perempuan itu sedang
menggiring bola dengan santai.
Aku dapat mendengarnya. Jeritan para siswi yang rela
panas-panasan di bawah terik matahari di pinggir lapangan itu, sangat keras
memanggil namanya. “Go, Axel, go! AXEL!!!”
Entah ada apa denganku, tapi aku terus memperhatikan
laki-laki itu.
Deg! Aku tersentak.
Axel melihat ke sini.
Aku memalingkan pandanganku ke tempat lain. Aku
tidak ingin dia tahu kalau dari tadi aku terus memandanginya. Saking lama
memandangnya sampai tidak ada gerakannya yang aku lewatkan.
Mungkin aku hanya “ge-er” bila merasa bahwa Axel
melihatku. Tapi, sudah beberapa kali aku memergoki Axel yang sedang memperhatikan
aku. Tapi, TIDAK! Itu tidak mungkin. Axel itu populer. Banyak perempuan yang
jauh lebih baik dari aku. Yup, sangat banyak! Aku juga pernah mendengar gosip bahwa
Axel sudah memiliki pacar di sekolah lain. Yah, lagipula aku juga tidak mungkin
suka dengannya. Dia itu…
Adik kelasku.
“Malam minggu
gini enaknya jalan-jalan sama pacar, ya?” ucap Berta sambil menutup matanya.
Aku melirik
Berta. “Nggak juga. Kita bertiga kumpul juga seru.”
”Gimana kalau
kita sekarang ngobrol tentang tipe cowok kita?” usul Berta yang cemerlang menurut
Dian. Menurutku? Oh, absolutely NO.
Dian yang biasanya
santai, spontan bersemangat. “Kalau tipe cowok gue sih nggak muluk-muluk. Gue
mau yang tampan, kaya, baik, pintar…” OK! Itu sangat muluk-muluk. “Loe gimana,
Ta?”
“Gue mau yang
cinta sama gue apa adanya.” Preeeeeeeeeeeettt!
“Cieeeee…
Hahaha… Kalau loe, Na?”
“Dengar, ya? Cowok
yang jadi pacar gue, usianya harus di atas gue atau paling minimal sepantaran.
Kalau masalah ganteng, kaya, dan lain-lain nggak perlu.”
Dian dan Berta
saling bertatapan. “Kenapa emangnya? Jadi adik kelas…”
Belum sempat
Dian dan Berta melanjutkan ucapannya, aku sudah memastikan. “No-way.”
“Tapi, kenapa?” tanya
Dian masih penasaran.
“Gue mau cowok
yang lebih dewasa dibandingkan gue.”
“Ooooo…” Berta
mangut-mangut.
“Tapi, nggak
menjamin yang lebih tua lebih dewasa dan yang lebih muda tidak dewasa.” Dian
bersikeras menentang.
“Pokoknya gue nggak
suka sama cowok yang lebih muda dari gue. Titik.”
“Iya benar juga.
Anna itu nggak mugkin pacaran sama adik kelas. Nggak keren kelihatannya. Anna
itu lebih dewasa dibanding kita berdua. Jadi, cowok yang pantas mendampingi dia
juga cowok keren, woow…” Berta membayangkan sambil cengar-cengir sendiri.
Aku
mengangguk-anggukan kepala tanda setuju.
Tapi, lagi-lagi
Dian, “Tapi…”
“Dian, gue nggak
LEVEL sama adik kelas!”
Sejak saat itu, ucapanku seperti seperti palu yang
diketuk tiga kali dalam mengakhiri sidang. Bahkan ini lebih parah dari sidang
bagiku. Terkadang aku bingung harus menyesal atau tidak atas ucapanku waktu
itu.
“Rendy lebih baik!”
“Nggak! Steven yang lebih baik. Nggak pintar milih banget
sih loe!”
“Enak aja! Loe yang sok tahu! Rendy pokoknya…”
Huaaaaa!!! Lagi-lagi mereka berdua… Aku menutup
kedua telingaku dan segera berlalu dari tempat itu.
“Steven!”
“Rendy!”
Sesaat kemudian, Dian dan Berta
celingak-celinguk. “ANNA!!!”
***
Pagi ini, aku melangkahkan kakiku ke ruang musik.
Aku berencana ingin berlatih biola di sana. Saat ingin memasuki ruangan
tersebut, kulihat di ujung koridor dekat jendela ada dua orang yang sedang berbicara
berhadapan. Laki-laki dan perempuan. Aku berhenti sejenak memfokuskan
pengelihatanku terhadap sosok dua orang tersebut. Ternyata dua orang yang aku
lihat adalah Axel bersama dengan seorang perempuan yang sepertinya bukan dari
sekolah ini. Perempuan itu memakai seragam yang berbeda dari sekolahku. Aku
tidak begitu jelas mendengar percakapan mereka. Tapi…
Deg!
Apa jangan-jangan perempuan itu pacar Axel? Jadi, ternyata
benar gosip yang sering aku dengar bahwa Axel sudah memiliki pacar.
Damn!
Mereka berpelukan. Hah, ada apa dengan aku! Kenapa
aku begitu mempedulikan peristiwa ini. Aku tidak seharusnya berada di sini.
Tapi, kakiku tidak dapat bergerak. Kakiku sudah terpaku di tempat ini. Seperti
ada yang mengharuskan aku tahu kejadian ini. Huuh, menyebalkan!
***
Kemarin aku jalan dengan Steven. Kemarinnya lagi
jalan dengan Rendy. Tapi, belum ada yang cocok! Lagi-lagi… Huuaaaa… Aku bisa mati
bosan kalau begini terus. Malam minggu adalah saatnya aku dan teman-temanku
bermain dan bercanda bersama. Tapi, itu ketika kami semua masih jomblo. Setelah
satu persatu dari mereka mempunyai pasangan, hidup malamku mulai berubah.
Setiap malam minggu, aku menyendiri di rumah. Tidak ada teman. Tidak ada pacar.
Tidak ada apa pun. Awalnya memang tidak apa-apa. Tapi semakin lama, aku
terganggu dengan kesendirian itu.
Dian dan Berta adalah teman dekatku yang sangat peduli
denganku. Karena itu, mereka bersedia dengan repotnya mencarikan aku laki-laki
yang baik tanpa aku mintai bantuan. Tapi, aku memang terlalu pemilih. Aku tidak
bisa menerima seorang laki-laki yang datang di kehidupanku begitu saja. Semua
itu perlu proses. Lagipula, rasanya aku sedang tidak membuka hati untuk siapa
pun. Kecuali . . .
Axel?
Hah, kenapa tiba-tiba nama itu yang muncul di
pikiranku? Halah, ada-ada saja!
“Yaaaaaahh… Jadi gimana donk sekarang?” tanya Berta iba
sambil menyuapkan baso terakhir dalam mangkuknya itu ke mulutnya. Aku
mengangkat bahu pura-pura takpeduli seraya menguyah baso di mulutku yang masih
belum lunak. Kantin sekolah yang terkenal dengan baso malangnya, membuat para
pengunjung datang hanya untuk menyantap baso malang tersebut. Padahal di kantin
ini menyediakan beraneka makanan lainnya. Memang tepat dinamakan baso malang karena
setiap orang yang memakannya menjadi malang pilihan. Hanya ingin baso saja. Tapi,
ini mungkin berbeda untuk Dian. Dia tidak menyukai baso
Tapi, ini bukan masalah basonya! Ini dikarenakan bosannya
Dian melihat aku dan Berta memakan baso dengan lahapnya. Dian yang hanya melihat
dengan raut iri tak selera, tiba-tiba saja mengeluarkan pertanyaan yang
membunyikan tanda warning di otakku. “Loe
suka sama adek kelas, Na?” tuduh Dian dengan gayanya yang santai seperti biasa.
Damn!!! Aku tercekat.
“Hah! Ngaco. Nggak lah!“ elakku. Aku menghabiskan
kuah baso dengan perlahan menghindari tersedaknya tenggorokan karena pertanyaan
Dian yang mengejutkan. “Kenapa tiba-tiba loe tanya begitu?”
“Beberapa kali gue lihat loe lagi perhatiin seorang
cowok,” timpal Dian menjurus.
Hah, apa benar Dian sepemerhati itu? Selama ini,
yang aku tahu, Dian adalah tipe orang yang cuek dan santai. Dian memang peduli
denganku, tapi tak kukira sampai sejauh ini. “Lah, siapa?” tanyaku polos. Aku
membuang muka, tidak ingin Dian melihat wajahku yang memerah.
“Axel.” Singkat, padat, dan jelas. Satu nama itu
membuatku mati kutu. Mana mungkin Dian tahu. Tapi, mengapa pertanyaannya
menusuk sekali? Bukan. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan! Apa begitu
kelihatan kalau aku memperhatikan Axel? Hah, masa sih!!!
“Nah, loe diam, kan. Jangan-jangan benar kalau loe…”
“Ngaco!” selaku menyangkal.
“Gue cuma becanda, kok! Habis, kayaknya loe nggak
suka sama kakak kelas atau anak seangkatan. Mungkin perlu gue jodohin sama adik
kelas. Hahahaaaa…” seru Dian yang dengan usil berhasil menggodaku. Tapi, aku menghela
napas lega karena ternyata Dian tidak tahu. Sepertinya Dian cocok jadi peramal.
“Ya udah… Darren aja. Adek kelas gue. Tapi, masih
gantengan Axel, sih.” Berta memulai perjodohannya lagi setelah kuah baso dalam
mangkuknya itu habis tak tersisa.
Dian mulai mengingat-ingat, “Tapi bukannya Anna
pernah bilang sama kita kalau dia nggak mau punya cowok adik kelas?”
Mataku melotot. Aku hapus kalimat yang mengatakan
bahwa Dian cocok menjadi peramal. Kali ini dia lebih cocok menjadi alarm karena
ingatannya yang kuat bisa memberi peringatan pada ucapanku dahulu.
“Iya benar! Katanya kalau adik kelas itu nggak
level. Tapi, nggak apa-apa kalau mau coba Darren. Hihihihihihiiii…” sindir
Berta yang ketawa cekikikan.
“Haha… atau Hendry?” Dian menambahi.
“Darren!!! Dia jago melukis.”
“Lah, terus kenapa kalau dia jago melukis?! Hendry
aja,”
“Darren pokoknya. TITIK.”
Oh, TIDAK!!! Lagi-lagi mereka berdebat. Tapi, aku
merasa beruntung karena mereka tidak lagi membahas mengenai ucapan masa laluku
itu.
Kusuapkan paksa baso terakhir ke dalam mulutku.
Kutegukkan air untuk membantu menelan sisa baso yang memenuhi mulutku. “Hhhh… SELESAI!
Gue duluan ya…” kataku akhirnya yang langsung bergegas pergi meninggalkan Dian
dan Berta yang masih berdebat.
“Lho, Anna?” Dian mulai menyadari.
“Tuh kan, loe sih! Dia nggak suka Hendry,” ucap Berta
asal.
“Yeeeeee, bukan karena itu kali!!”
Mereka bertengkar lagi.
Aku duduk sendiri di kursi balkon sekolah dekat
kolam ikan. Jari telunjukku menyentuh air kolam ikan yang dingin. Dari
kejauhan, aku melihat seseorang sedang memperhatikanku. Siapa? Sepertinya
laki-laki. Axel? Iya, itu Axel!!! Dia memandangku dari jauh lama sekali.
Lagi-lagi aku ge-er. Tapi, dia melihat siapa lagi? Tidak ada orang lain selain
aku yang duduk di balkon ini. Mungkin dia melihat kursi yang sedang kududuki
karena memang bagus dan unik. Warnanya beragam seperti pelangi. Halah, sudahlah!
Aku pergi saja dari sini daripada khayalanku semakin menjadi-jadi. Kemudian aku
berdiri dan segera mengayunkan langkah menjauh dari tempat itu.
“Anna…” panggil seseorang di belakangku.
Suara itu… Tidak asing.
Aku memutar tubuh ke belakang. Tidak salah. Orang
yang sekarang berada tepat di hadapanku dan yang barusan menyebut namaku itu
memang dia… Axel!!!
“Hai,” sapanya. Apa ini! Ada gerangan apa dia datang
menghampiriku? Tidak aku sangka dia berada sedekat ini. Tidak pernah aku sangka.
Aku perhatikan wajah tampannya terlihat gugup dan sepertinya ia tidak berani memandangku
lama.
“Hmm… hmm, mau bicara sebentar. Boleh?” Laki-laki
tinggi yang mengenakan jaket hitam ini dengan gugup mulai meremas tangannya. Aku
masih diam tidak percaya. Tapi, jantung ini tidak dapat berhenti berdetak
kencang.
“Aku suka kamu.”
Tiga kata itu cukup membuat jantungku berhenti
berdetak. Satu detik. Dua detik. Tiga, empat, lima, enam, tujuh, dan… delapan.
“Aku sudah suka lama. Tapi, aku belum siap bilang.”
Apa? Aku mimpi ya? Kenapa ada mimpi seindah ini?
Eits, tunggu dulu! Oh, NO! Dia itu sudah punya pacar. Dia kira aku mudah
dipermainkan. Wajahku berubah marah ketika mengingat pelukan mesra Axel dengan
pacarnya di koridor sekolah waktu lalu. Bukan hanya cemburu. Tapi, aku merasa
dipermainkan. “Gue tahu kok loe udah punya cewek. Oh, atau loe lagi taruhan
sama teman-teman loe? Sayangnya loe gagal!” paparku ketus.
Axel mengerutkan keningnya. Aku segera berbalik
pergi dari sana, tapi Axel dengan sigap menarik tangan kiriku. Aku tidak dapat
melepaskan tanganku karena tangan Axel yang besar menggenggamnya erat.
“Apalagi? Hah!” Aku meronta berusaha melepaskan
genggamannya.
“Aku sudah putus!” ujar Axel cepat.
Aku terenyak.
“Aku baru putus tiga hari yang lalu. Waktu itu, dia
datang ke sekolah karena nggak mau diputusin. Dia minta kerenggangan waktu lagi.
Dia kira aku penagih hutang apa.” Tiga hari yang lalu? Di koridor dekat ruang
musik itu? Jadi, waktu itu…
“Lagipula aku nggak pernah suka dia. Dia yang nembak
aku. Aku nggak terima, tapi dia bilang coba selama dua minggu. Ya, aku coba ikuti.
Dan kemarin sudah tepat dua minggu itu,” jelasnya melanjutkan. “Maaf kalau
lancang, tapi aku… Aku cuma suka kamu dari dulu. Aku udah lama perhatiin kamu,
Anna.”
Deg!!! Bagaimana ini?
“Aku mau kamu jadi cewekku. Gimana?”
Ini benar-benar tak terduga oleh akal sehatku. Jadi,
perkiraanku yang selama ini merasa bahwa dia selalu memperhatikanku itu benar
dan sudah terjawab semua. Sekarang aku akan pulang dengan membawa harapan baru
karena harapan yang selama ini aku tunggu terkabul juga. Tapi, bagaimana
menjelaskan semua ini pada Dian dan Berta? Ah, aku tidak peduli! Yang penting
keadaan sekarang sudah berubah. Masalah menjelaskan bisa kapan saja. Apa ini
akhir dari penantianku selama ini?
Axel.
Karena dia, aku menolak semua laki-laki yang datang
di kehidupanku. Karena dia, aku pernah kehilangan sebelah hati ini. Karena dia,
aku masih terus menunggu dalam penantian. Karena dia, aku tidak dapat membuka
hati untuk orang lain. Karena dia, aku bisa melanggar ucapan bodoh masa laluku.
Dan karena dia, aku dapat merasakan sesuatu yang namanya…
CINTA!
Iya, lagi-lagi karena dia…
Rupanya cinta itu bukan bagaimana tipemu, tapi
bagaimana perasaanmu. Akhirnya aku menemukan pernak-pernik hati yang selama ini
salah kuartikan.
“Kok diam?” Axel menatapku resah. “Apa kamu nggak
su…”
“Eh, bukan gitu!” potongku kilat.
Entah mengapa aku tidak dapat menolak ucapannya. Aku
terhanyut oleh suaranya. Padahal baru pertama aku berbicara berhadapan
dengannya. Tapi, entah mengapa rasanya sudah sedekat ini. Bahkan masih banyak
laki-laki lain yang lebih aku kenal. Tapi, lagi-lagi aku hanya ingin lebih
dekat dengan dia. Apa karena dia…
Adik kelasku yang sebentar lagi akan menjadi…
Axel mengangkat alisnya. “Jadi?”