Bebas?
Di alam semesta ini? Mustahil ada. Hal tersebut tidak berniat untuk diciptakan.
Kebebasan itu dusta. Suatu hal yang tidak pernah ada, namun dibuat seakan ada. Segala
bentuk nyata tentang kebebasan hanya sebuah imaji belaka.
Berbicara
mengenai kebebasan, erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia. Tidak
ada manusia yang tidak menginginkan kebebasan untuk dirinya. Bahkan manusia rela
melakukan banyak hal demi mencapai kebebasan itu. Bagi manusia, kebebasan adalah
kebahagiaan itu sendiri. Dilihat dari kemuskilan dalam mendapatkannya, kebebasan tampil dengan nilai jual yang sangat tinggi. Nilai jual tersebut dipakai oleh
sistem-sistem dalam dunia sebagai daya tarik untuk mengajak manusia memasuki sistem
mereka. Sistem itu pun berhasil menyajikan “kebebasan” yang tidak pernah eksis
menjadi eksis di dalamnya. Akan tetapi, suatu keraguan timbul ketika mengetahui
bahwa ternyata kebebasan yang diciptakan oleh suatu sistem tersebut terikat
oleh aturan-aturan. Kebebasan semacam itu bukan kebebasan yang sesungguhnya. Apabila
kebebasan benar adanya, maka seharusnya manusia tidak perlu memiliki sistem. Bebas
berarti tiada batasan atau tanpa aturan, sedangkan suatu sistem itu sendiri berisi
aturan-aturan.
Hal
yang merisaukan adalah ketika manusia mendefinisikan pengertian kata “bebas”
itu sendiri. Bebas bukan sekadar merdeka dalam salah satu bagian atau beberapa
bagian. Jika bebas memiliki porsi, apakah masih dapat disebut dengan kebebasan.
Bukankah porsi itu ditentukan berdasarkan aturan. Kalau demikian halnya, maka bebas
bukan lagi bebas. Dalam kehidupan, bebas yang dimaksud adalah bebas yang
memiliki ekor, misalnya bebas berbicara asalkan sopan, bebas berperilaku
asalkan baik, atau bebas berkendara asalkan tertib. Sebagai ekor, kata
“asalkan” merupakan batasan bagi kebebasan tersebut. Suatu hal atau keinginan
yang didapatkan dengan syarat tidak dapat dinamakan kebebasan. Jika bebas itu
hanya untuk tindakan-tindakan tertentu saja, maka itu bukan lagi bebas. Bebas itu
bukan untuk diatur. Bebaslah yang menciptakan aturan dan keinginannya sendiri
tanpa terikat oleh aturan di luar dirinya. Bagaimana bisa seseorang membeli
kebebasan dari suatu sistem? Yang dikiranya dapat benar-benar bebas, ternyata masih
memiliki syarat lain.
Makna
“bebas” sangatlah berbeda dari makna “diperbolehkan”. Jika manusia diberikan
kebebasan untuk melakuan hal apa pun asalkan tertib, sudah dipastikan bahwa itu
dusta. Lain halnya jika manusia diperbolehkan melakukan hal apa pun asalkan
tertib. Diperbolehkan merupakan bagian dari sistem, sedangkan kebebasan
bukanlah suatu sistem. Ketika seseorang “diperbolehkan” mengambil makanan
sesukanya dalam suatu tempat makan, bukan berarti orang tersebut “bebas”
mengambil makanan sesukanya. Jika ia benar-benar bebas mengambil makanan apapun
yang diinginkan, mengapa ada beberapa menu makanan yang masih dikenakan biaya
jika mengambilnya. Dan seharusnya tidak perlu ada biaya awal yang dikeluarkan
untuk bebas mengambil makanan-makanan itu. Tidak perlu pula ada waktu yang
membatasi sampai kapan diizinkan mengambil makanan tersebut. Hal yang lebih
menyedihkan adalah ketika kebebasan dipakai oleh orang yang tidak bermoral.
Suatu
hari ada seseorang yang masuk ke rumah makan yang bebas makan apa saja. Ia
meraup hampir seluruh bahan makanan yang tersedia. Setelah itu, ia makan secara
membabi buta. Orang-orang yang melihatnya menjadi jijik dan mual. Melihat
peraturan yang ada, tidak dicantumkan aturan mengenai cara makan bagi para tamu.
Setelah membayar, seharusnya bebas memakan apa pun dengan cara apa pun. Namun,
orang tersebut tetap mendapat peringatan agar tidak meresahkan tamu lain. Peringatan
itu tidak digubris sama sekali oleh orang itu. Dengan rakus, ia tetap fokus
pada makanannya. Seharusnya, hal itu bukan masalah karena orang itu sudah
membeli kebebasannya. Namun, pada akhirnya orang yang makan secara membabi buta
tersebut diusir agar tidak mengganggu para tamu yang lain.
Contoh
lain yang paling umum adalah kebebasan dalam hal berbicara. Seseorang yang
berbicara kotor atau kasar tidak seharusnya dikecam, dimarahi, dipukuli, atau
bahkan sampai dipenjarai. Bukankah sudah jelas bahwa sistem di Indonesia ini telah
menerapkan kebebasan berbicara bagi setiap masyarakat. Bagian mana yang disebut
bebas jika makan atau pun berbicara masih memiliki batasan-batasan tersendiri. Batasan-batasan
yang direpresentasikan dari dua contoh tersebut merupakan hasil dari
pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, ekor-ekor dari kebebasan itu adalah
nilai-nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan
berasal dari kata “manusia” dan memiliki arti “sifat-sifat manusia”. Nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri merupakan aplikasi moral atau akhlak baik dari
sifat-sifat manusia. Suatu sistem dalam masyarakat membentuk nilai-nilai
kemanusiaan untuk menjaga aplikasi kebebasan manusia agar tidak melampaui
batasan. Kerapkali, hal yang dibentuk dalam sistem masyarakat itulah yang membuat
kebebasan menjadi tidak berlaku. Sisi kemanusian telah membatasi kebebasan itu
sendiri. Hal ini menandakan bahwa kebebasan tidak eksis dalam suatu sistem
karena sistem memiliki batasan-batasan kemanusiaan. Pada akhirnya kebebasan
seseorang baru akan tercipta jika sudah mengikuti aturan umun yang ada. Dengan
demikian, suatu sistem telah berhasil membohongi manusia dengan memanipulasi
hal yang sebenarnya bukan kebebasan, tetapi tetap disebut sebagai kebebasan.
Dalam
pandangan demikian, kebebasan dan kemanusiaan menjadi suatu hal yang
kontradiktif. Hal ini wajar terjadi jika memang kemanusiaan dipahami khusus sebagai
tolak ukur tindakan baik. Padahal kemanusiaan itu sendiri seharusnya tidak dimaknai
secara khusus karena kemanusiaan memiliki makna yang umum. Siapa yang dapat
berkata dengan yakin bahwa orang yang telah membunuh sesamanya adalah orang
yang tidak memiliki sifat-sifat manusia. Tentu saja pembunuh tersebut tetaplah
manusia. Hanya saja perilakunya keji. Namun, mengapa seringkali perbuatan keji
yang dilakukan manusia dianggap bukan perbuatan manusia. Memangnya bagaimana
seharusnya manusia bertindak. Hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan
manusia agar dapat disebut memiliki sifat-sifat manusia. Contoh tersebut
membuktikan bahwa jika manusia berbuat salah, maka manusia bukanlah manusia.
Lalu, apa memang demikian?
Pada
sila kedua dalam Pancasila tertulis, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Kemanusiaan tidak ditulis mandiri, melainkan didampingi keterangan sebagai
penjelasan di belakangnya. Hal tersebut menyatakan bahwa kemanusiaan dapat
menjadi tidak adil dan beradab. Jadi, seharusnya tidak benar jika ada kalimat
yang berkata, “Rasa ‘kemanusiaan’ kita senantiasa mencegah kita melakukan
tindakan terkutuk itu”. Kalimat tersebut tentu memiliki makna yang tidak jelas
karena arti kemanusiaan dapat bermakna positif atau negatif. Bukankah lebih
jelas sebagai berikut. “Rasa ‘kemanusiaan kita yang bermoral atau berakhlak
baik’ senantiasa mencegah kita melakukan tindakan terkutuk itu”. Dengan demikian,
maksud sesungguhnya dari kalimat itu dapat tersampaikan. Hal ini menunjukkan
bahwa kata “kemanusiaan” itu sendiri tidak memiliki arti mandiri akan nilai
positif atau negatif. Ekor dari kemanusiaan itulah yang akan menjadi penentu ke
arah mana sifat-sifat manusia itu bernilai—entah positif atau negatif.
Berbeda
halnya jika kemanusiaan itu hanya diartikan dalam perspektif positif. Tentu saja
kebebasan dan kemanusiaan akan menjadi dua hal yang kontradiktif. Dengan kata
lain, kebebasan merupakan musuh bagi kemanusiaan dalam arti positif, namun
sesungguhnya dapat menjadi teman bagi kemanusiaan yang didefinisikan dalam arti
positif atau negatif.
Sejak
awal manusia diciptakan, manusia memang tidak pernah diberi kebebasan sejati.
Manusia telah berada dalam suatu sistem yang harus ditaati dan dipatuhi. Jika
manusia diperbolehkan melakukan hal ini dan itu, maka sebenarnya sistemlah yang
membentuk hal tersebut. Sistem pulalah yang membuat hal-hal yang tidak boleh
dilakukan oleh manusia. Dengan kata lain, bukan lagi keinginan sejati manusia
yang bekerja. Hal tersebut wajar karena manusia sedang berada dalam sistem
Allah. Jika manusia membuat sistemnya sendiri, dialah yang bebas. Namun, ketika
dia berada dalam suatu sistem, mustahil kebebasan itu terwujud. Suatu sistem
diciptakan untuk membuat batasan-batasan tersendiri sehingga kebebasan memiliki
ekornya. Kebebasan itu tidak cocok dengan sistem. Ia akan memorak-perandakan
sistem tersebut. Bebas dan sistem tidak dapat berdampingan satu dengan yang
lain. Oleh karena itu, di mana ada sistem, sudah otomatis nihil kebebasan.
Kebebasan
itu dusta. Suatu hal yang tidak pernah ada, namun dibuat seakan ada. Akan
tetapi, memang jauh lebih baik kebebasan tetap menjadi dusta daripada menjadi
nyata. Andaikan suatu sistem tidak ada, maka alam semesta tidak lagi berkondisi
serupa dewasa ini. Mari kembali fokus pada sila kedua dalam Pancasila.
Bayangkan andaikata kalimat sila kedua dirangkai menjadi, “Kemanusiaan yang
bebas”. Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah sila itu disahkan akan terjadi
kerusuhan masal dalam masyarakat karena manusia telah bebas melakukan segala
sesuatu sesuai keinginannya. Kemanusiaan yang bebas merupakan keadaan terburuk
yang jangan sampai berlaku di alam semesta. Tidak dapat dibayangkan kengerian
yang akan timbul jika bebas itu sungguh ada. Suatu keadaan ketika tiada lagi
aturan dan batasan. Dengan begitu, tiada lagi tempat berlindung bagi yang
lemah. Peristiwa tersebut bak kehidupan di rimba dengan bekal siapa kuat, dia
yang bertahan. Jika dipikirkan lebih dalam, manusia memang tidak akan mampu
menopang kebebasan itu sendiri sebab manusia memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, memang sebaiknya kebebasan disertai ekor dalam penerapannya. Namun,
apakah hal tersebut masih pantas disebut dengan kebebasan? Tidakkah tetep berdusta?
***