WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Selasa, 24 Agustus 2010

Nothing is Impossible


It’s summer time…!” jerit Dothy riang.
Musim panas telah tiba. Dothy, Mita, Melin, Vera, Edsa, dan Natali berencana ingin berlibur. Ditengah kesibukan mereka merapikan barang-barang untuk berpergian, terdengar berita di TV bahwa gempa bumi dasyat yang belum pernah terjadi akan melanda kota. Dan diberita terdengar juga kabar bahwa gempa bumi tersebut tidak hanya terjadi di tempat mereka tinggal, tetapi hampir di seluruh belahan bumi akan mengalami gempa bumi dalam waktu yang sama. Apakah yg menyebabkan semua ini??
Vera yang tidak sengaja mengetahui penyebab semua kekacauan ini segera memberitahu Dothy.
“Dothy, loe tahu nggak apa yang gue temuin?” tanya Vera dengan napas tersengal-sengal ketika menghampiri Dothy.
“Nggak. Apaan? Loe kenapa lari-lari?” tanya Dothy penasaran.
“Udah pokoknya ikutin gue…” seru Vera yang langsung menarik tangan Dothy.
Kemudian mereka berdua segera pergi ke tempat yang membuat semua kekacauan ini terjadi. Tempatnya jauh di dalam hutan yang lebat.
“Ver, loe sebenernya mau ke mana sih? Ngapain ke hutan gini?” tanya Dothy lagi sedikit bimbang.
“Udah deh… Loe ikutin gue aja. Ntar juga tahu sendiri…”
Setelah perjalanan di hutan yang menyita waktu akhirnya sampai juga ke tempat tujuan. “Nah, itu di sana…”
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijO5lZR7fkOiaFsaSXpyffkblChy1aqYYdvZZAeSpWDP9fANNtIhglQTF1DIIsNuhw09uBN8eXBxOMqdzDQmmEN0C3s4MKgqlUrcP7ugwEMR6VeGX99WlZ6qEESAWAABAd2INX2h8hgjX7/s400/Rumah+besar.jpg
Dothy menarik napas lega karena akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Vera mengajak Dothy memasuki sebuah halaman rumah yang besar. Mereka berdua mengintip ke jendela rumah besar itu. Ternyata gempa bumi ini adalah ulah witchcraft para penyihir yang ingin menguasai dunia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1YNfE34XMNKzcmUnbHkPUVHfOg9tWGfIRMLQhbPOshZ4eOJjPrP0SiJMiwQXBLk0YlVwPFodE7ZjTTqNHsRPFNUmJrkfTXj6S1c5Kmoy0M5eEv_oGTEIA2nlC8QPPnEnYdh3PGdPS677y/s400/witchcraft.jpg
.
“Karena penyihir itu?” Dothy mulai mengerti. Vera menganggukan kepalanya. Dalam kebimbangan, seorang Angel menampakan dirinya di depan Dothy dan Vera.
“Waduh, apaan ntu?!” Vera terkejut. Seberkas sinar memenuhi tubuh Angel itu. “Dot, kita perlu kabur apa nggak usah nih?” ujar Vera sedikit takut.
“Ah, elo, Ver. Loe enak tinggal terbang. Nah, gue ntar jalan kaki lagi kan nggak enak tahu?!” ujar Dothy bercanda.
“Ah, loe masih becanda aja. Serius?!”
Angel itu berkata, “Janganlah takut sebab aku di sini untuk memberi kalian misi untuk menyelamatkan dunia…”
Beberapa saat kemudian, Natali dan Melin segera menyusul Dothy dan Vera.
“Dot, Ver, ngapain sih kalian ke sini? Ke hutan kan serem. Hiii… Apalagi, tadi kita hampir tersesat tahu, waktu ngikutin kalian. Untung aja ketemu, kalau nggak gimana tuh?!” seru Natali ngomel.
“Wah, malaikat…! Nggak salah liat nih?! Kayak lagi mimpi…” ujar Melin terkagum-kagum sekaligus bingung melihat Angel.
Melin dan Natali yang masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat itu langsung menghampiri Dothy dan Vera.
“Gue bener-bener nggak ngerti, sebenernya apa sih yang terjadi? Ini semua nggak mungkin ada,” Melin menatap Angel itu dengan berjuta arti.
“Tidak hanya kalian berempat saja yang bingung. Hampir semua orang di seluruh dunia merasakan hal yang sama. Aku akan menjelaskan bagaimana semua ini bisa terjadi. Mungkin, kalian tidak akan mudah percaya dengan semua yang aku katakan. Tetapi, aku memohon dengan amat sangat untuk kalian mendengarkanku berbicara karena waktuku sangat singkat sekali untuk berada disini,” jelas Angel.
Setelah sepertinya mereka mulai tenang dan mau mendengarkan, Angel memberikan mereka misi. Ternyata para penyihir jahat itu akan membangkitkan kuasa kegelapan yaitu, sesosok raksasa besar dari dalam neraka yang akan segera menghacurkan dunia. Angelmemberikan mereka misi untuk mengambil sebuah labu dalam suatu tempat yang bernamaBlack Hole. Labu itu harus dihancurkan tetapi labu itu memiliki segel yang tidak dapat dibuka secara sembarangan. Tetapi Angel tidak memberitahu bagaimana cara membukanya. Hanya memberitahu kata kuncinya, yaitu “Flower” dan memberikan beberapa nasihat yang tak dapat dimengerti. “Jangan banyak bicara dan jangan sampai 13 kali,” katanya.
Angel juga memberikan sebuah kompas yang akan memandu perjalanan mereka dan sebuah cermin ajaib, Miraculous Mirror, yang dapat melihat seluruh keadaan di jagat raya ini tanpa terkecuali hanya dengan mengucapkan kata “open”. Dothy juga segera menghubungi Mita dan Edsa untuk segera bergabung bersama mereka.
Setelah mereka berenam sudah berkumpul dan berbincang-bincangnyapun telah selesai,Angel tiba-tiba menghilang dan enam sahabat itu sudah berada dalam padang rumput yang sangat luas.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigBD1c9gQZ2omemQscpgiT0K84kq-a6xJ38C7kwuwsk7xP5orggy-E5mOBWysMquGG0ajHhU5wvyXdgfFvYdZy9-DApL-1mCC93rI7Y7NduQX0gfgxKGwQlMAxnMFP_P6T06lymtUhwzbH/s400/Padang+Gurun.jpg
“Wooh!!! Di mana kita???” seru Edsa kaget.
“Di padang gurun,” tebak Vera mantap.
Dalam perjalanan panjang, mereka menemui bunga-bunga gersang dan layu. Karena keadaan bumi yang sedang buruk, menyebabkan bunga-bunga tersebut menjadi layu.
“Eh, kalian inget nggak sebelum Angel itu menghilang, dia ngasih kata kunci sama kita. Tapi belum jelas,” ucap Dothy mengingatkan teman-temannya.
“Iya, gue inget…! Dia bilang kata kuncinya itu flower kan? Tapi maksudnya apaan ya? Apa bunga-bunga itu?” terka Vera menunjuk ke arah bunga-bunga layu yang berada dekat di depan mereka.
“Ya elah, masa bunga abal-abal kayak gitu yang jadi kata kuncinya?! Yang bener aja loe…” cerca Natali memungkiri.
“Nah, makanya itu gue juga bingung. Flower itu kan kata dalam bahasa Inggris, yang artinya kalau dalam bahasa Indonesia itu bunga. Tapi gue bingung, bunga yang mana? Terus mau diapain? Dan gimana caranya bisa buat bumi ini balik hanya dengan kata ‘bunga’…?” analisa Mita.
“Ya elah, semua juga tahu, Mit?! Dari tadi kita bingung juga gara-gara itu,” ujar Edsa geram.
“Capek deh…” seru Dothy, Vera, dan Edsa secara bersamaan.
“Mungkin, kita disuruh siramin itu bunga kali. Siapa tahu bunga layu itu melambangkan keadaan bumi yang sedang tidak baik seperti sekarang ini. Dan kita harus merawatnya,” jelas Melin angkat bicara.
“Ah, sok tahu loe, Mel?!” papar Natali.
“Bisa jadi sih?! Tapi gimana ya?” Dothy menghampiri kumpulan bunga-bunga layu tersebut.
Mita merasa jengkel dengan semua ini. “Arrggh… Gue bener-bener masih bingung kenapa kita ada disini. Ini semua ntu kayak mimpi di siang bolong, tahu nggak? Nggak tahu deh mimpi buruk atau baik?! Yang jelas semua ini nggak meaning…!”
Dalam kebingungan, Dothy melihat cahaya diantara bunga-bunga tersebut. Karena cahayanya begitu kecil, tidak terlihat oleh teman-temannya yang lain. Dothy mendekati cahaya tersebut. Setelah melihat cahaya apa itu, Dothy kaget karena cahaya itu adalah satu-satunya bunga yang tidak ikut layu dan mati karena keadaan bumi ini.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7lAqrXHUl2mdWbpe02QXxo7skyhOEVqH3T6a-7cGy09hDZx5VZW6V_ovJ0Yl7kJV5LmEGs1ivTW2DKrrWwL2a8OqHqlrN_JWbN5ZoC81lGZAh8onUZdGEus4ZSDfn6YN5eXicJX4IdkrE/s400/flower.jpg
“Cantik banget bunganya…” gumam Dothy kagum.
Dan rupanya bunga bercahaya itu dapat berbicara!
“Hai, kamu yang disitu… Sudah lama aku menunggu-nunggu manusia yang datang untuk memetikku. Namaku Flower. Aku tinggal disini bersama teman-teman dan kerabatku yang bodoh ini. Mereka tidak bisa mengontrol keadaan mereka sehingga menjadi layu. Hanya aku yang dapat bertahan sampai saat ini. Maka itu, petiklah aku dan tancapkanlah aku pada labu bau itu sebelum cahayaku pudar,” pinta bunga bercahaya itu.
Dothy yang sedikit kaget plus bingung dengan banyak hal yang tidak dimengerti segera menalarkan semua ini dalam otaknya. Kelima temannya yang melihat dia seperti sudah menemukan sesuatu, segera datang menghampirinya.
“Ok?! Tapi kan labu itu ada di Black Hole. Dan gue nggak tahu tempat itu di mana. Bisa nggak loe kasih tahu gue Black Hole itu berada di mana?” tanya Dothy.
“Hai, kamu yang disitu… Sudah lama aku menunggu-nunggu manusia yang datang untuk memetikku. Namaku Flower. Aku tinggal disini bersama teman-teman dan kerabatku yang bodoh ini. Mereka tidak bisa mengontrol keadaan mereka sehingga menjadi layu. Hanya aku yang dapat bertahan sampai saat ini. Maka itu, petiklah aku dan pukulkan aku ke labu bau itu sebelum cahayaku pudar,” Flower mengucapkan kalimat yang sama.
Dothy memperhatikan ketika bunga itu berbicara dengan kalimat yang sama diulang, cahayanya sedikit memudar. Mungkin itu yang dimaksud Angel untuk tidak banyak bicara.Flower memang seharusnya hanya diperbolehkan berbicara satu kali. Karena apabila ada orang yang mengajaknya berbicara, dia akan berbicara juga dan cahayanya pun akan dapat memudar.
Teman-teman Dothy yang lain kaget melihat ada bunga yang bersinar diantara bunga-bunga layu dan bisa bicara pula. Tapi kok bicaranya diulang-ulang ya?
“Wow, bunganya lucu!!” seru Melin gemas.
“Tapi, kok ini bunga ngomongnya diulang-ulang terus ya?” Mita masih mencari mengapa semua ini dapat terjadi. Dan dalam beberapa saat akhirnya dia menemukan jawabannya.
“Teman-teman, sini deh?! Gue udah tahu gimana kita selesaikan masalah ini.” Mita menjelaskan kepada lima temannya apa maksud dari pengulangan kalimat yang diucapkan bunga itu..
Ternyata pengulangan kalimatnya itu adalah waktu yang terus bergulir. Apabila kalimat itu sudah diucapkan sebanyak 13 kali, cahaya Flower akan benar-benar menghilang. Jadi, semakin dia banyak bicara, semakin pudarlah cahayanya.
“Teman-teman, gue boleh minta sesuatu nggak?” pinta Mita serius.
Melin dan Natali yang melihat keseriusan Mita semakin menjadi bingung. Vera yang masih nggak ngerti tetapi cepat menjawab, “Boleh… Apaan?”
“Gue cuma minta tolong, selama perjalanan jangan ajak bunga itu bicara dulu ya…” Walaupun teman-temannya masih sedikit bingung, tapi sekarang Mita sudah tahu perjalanan mereka hendak kemana. Diapun memetik bunga itu dan menyuruh teman-temannya mengikutinya. Berbekal kompas yang mereka dapat dari Angel, akhirnya tempat yang dituju terlihat juga. Setelah sepertinya sampai pada tempat yang dituju yaitu, Black Hole, enam sahabat tersebut segera masuk mencari labu tersebut.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh22Ia1HHPCPFV3s4nyiC5VubhqKw1hHdO8ByyED2_5UcbdnB4pg4F-FF0AvzzeXfsJmc011XmA3rX0IoQ4JI7mYdT0wqaRU2bXclAGL5OQ-93rKSGxpbiePB8MLes9hckaDOHxJ8laY0vk/s400/Black+Hole.jpg
Black Hole sebenarnya adalah lubang hitam tempat makhluk-makhluk jahat tinggal. Dan labu yang mereka cari itu adalah pemimpin dari semua makhluk yang ada di Black Hole ini. Para penyihir jahat yang ingin menguasai dunia, mendapatkan bantuan dari tempat ini. Makanya, harus segera dihancurkan agar bumi tidak menjadi hancur.
“Kayaknya lebih baik kalau kita balik aja deh?!” usul Edsa setelah melihat sekelilingnya.
“Jangan! Tempatnya lumayan seru?!” tolak Dothy tanpa takut.
“Iya nih… Tempat apaan sih? Serem amat?!” ujar Melin ketakutan.
Mita yang sudah tahu keadaan disini tidak nyaman segera menenangkan teman-temannya. “Jangan dulu. Nasib bumi ini di tangan kita. Kalau kita mundur, siapa lagi yang bakalan ngembaliin bumi ini seperti semula?”
“Tahu nih… Masa gini doank takut sih?! Tapi sejujurnya… Serem juga sih. Hehe…” ujar Natali sok berani.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjaD9JUdibf0bVPgGgswm_DNiJtIDTOwAQPR2hPiWZh0znEPGBAVA8nk6N4tloNskJV-1VV_XpDjNOmAqr7mk2kJgJUq2B_necWNVFLaLF9xM7PVOagPTbiXc4jNTbc1pGf4qc6anvhURyX/s400/Labu.jpg
Setelah menemukan labu tersebut, mereka segera menghancurkannya dengan menancapkan Flower ke labu tersebut. Butir-butiran cahaya dari bunga tersebut menyinari tubuh keenam sahabat itu. Dan pada akhirnya raksasa kegelapan tidak jadi bangkit. Misi berhasil dengan sukses.
Tapi ternyata penghancuran dunia belum selesai sampai disitu. Karena kebangkitan raksasa tidak berjalan dengan mulus, para penyihir sangat kesal dan membuat penghancuran tingkat B. Mereka berniat menguasai satelit untuk meledakkan bumi dengan menubrukkan bumi dengan planet lain. Selain itu para penyihir juga menjatuhkan banyak meteor dan banyak benda-benda angkasa yang sangat berbahaya ke bumi.
Misi kedua enam sahabat ini, dalam menjaga bumi agar tidak dihancurkan oleh para penyihir jahat ternyata harus menemukan GOLD EGG dalam suatu tempat bernama Darkness Curseyang tidak pernah dimasuki oleh siapapun.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy_Y74NhA0VblhZtjdguhOi-UwseQyGLSRwCGK3oCSMFV_xFqwnT_Gp3nq9HWzALzy9G_6IcJ65mARNOydZgy33CnO8vInF9CafkpcXryRNambm3lqNNAMOYyN_1oLi9efEFn3ajcraVQg/s400/Darkness+Curse.jpg
Lalu Gold Egg itu harus diberikan kepada sang Dewa yang tinggal jauh di kutub utara. Dengan begitu bumi tidak akan hancur.
Tetapi, perjalanan enam sahabat dalam menjalankan misi kedua ini rupanya tidak berjalan sesuai keinginan mereka. Mereka sudah bersusah payah dalam menemukanGold Egg dan waktu yang dibutuhkan sangat sempit sekali. Tetapi, mereka tidak menemukan tempat sang Dewa yang dicari-cari. Setelah melihat meledaknya planet disebelah bumi dalam Miraculous Mirror dengan mengucapakan kata, “Open…”
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjk30F_zepBsiCkOAIM9z8uTaIlNllY9QIMeU-8S8Grd5KkCLv6tIWHvM3aL6kFFpf2rhHUc7kOsXsSbjt9TOaGMN31WPqWTHpkLnpGn-QX96rH2zskvkd72cOUtUxqamnv84DwJJaRtdP/s400/Ledakan.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjo3663KBSVQZjxZUxmqF3OuYR6cIVTCk7UCLsCylHok3N_xlv5cLeLp4g1LwD5WwTWovb25EjVzFp7V4eF6l0IjVnuFiqNXmmzaZ1C1ss0EegqMarR9EB_pPbc2xY_1T7nRPT-zlILRCZc/s400/gold+egg.jpg
Artinya setelah kehancuran planet itu adalah kehancuran bumi. Keenam sahabat itu sempat putus asa. Tapi mereka tidak mau terus-terusan larut dalam keputusasaan. Karena dalam pengharapan, mereka percaya bahwa tidak akan ada yang mustahil dalam Tuhan.
“Kita nggak boleh putus asa, ya nggak?” bujuk Dothy.
Edsa yang sudah terlihat lelah sekali hanya dapat berkata, “Capek…”
“Udah nggak sanggup terbang… eh salah! Udah nggak sanggup jalan maksudnya,” umpat Vera.
“Tapi, ini semua mustahil. Loe semua udah liat kan keadaan bumi kayak gimana? Dan sekarang kita masih belum nemuin Dewa itu!” papar Natali pasrah.
“Ya elah, Nat. Nggak ada yang mustahil kalau kita niat. Kita masih punya Tuhan kan. Kita harus berjuang karena bagaimanapun kita ini orang-orang yang dipilih untuk menyelamatkan bumi ini. Kita itu nggak boleh ngelepasin tanggung jawab kita gitu aja. Ayo donk teman-teman!” ajak Dothy menyemangati teman-temannya.
“Iya, yuk kita jalan lagi. Jangan gampang nyerah gitu donk?! Ayo, teman-teman kita harus semangat!!” Mita menambahi.
“Ayo, Nat, Sa, Ver…” ujar Melin membantu menyemangati walau masih lelah.
Dothy mengulurkan tangannya kepada Melin. Melin meraih tangan Dothy dan seyum merekah di wajah enam sahabat tersebut. Dan akhirnya mereka bangkit kembali untuk menyelamatkan bumi. Tidak lupa berlutut untuk berdoa kepada Allah Bapa di Sorga.
Setelah sampai di tempat tujuan dan kehancuran bumi juga sampai pada saatnya, mereka tetap tidak menemukan sang Dewa melainkan hanya ada banyak harta karun dan beberapa patung menghiasi tempat tersebut.
“Woow!!” Edsa mencoba mengambil harta karun yang berada tepat di sebelahnya
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZrZVcyGWqkymMOyAVz7JuZ5h7CXsvSZtByJKcJkkTnYUwTBeJFLlF_njyXxw477WySBB-HWX-Ay6aGSkvqHu0ah8zbORTdq5aBp396QuTVYmOsG0GQBpNx324ulTcEmbJYrUaIqiT4elM/s400/harta+karun.jpg
.
“Huss! Jangan ngambil sembarangan. Bisa kena kutuk ntar!” papar Dothy menakuti. Edsa melotot ngeri.
Mereka kecewa plus bingung tidak tahu harus bagaimana lagi. Tetapi, mereka tidak mau menyerah selama harapan itu menjadi nyata. Tiba-tiba, patung-patung yang ada dalam Aula tempat itu, semuanya menjadi bergerak. Tentu, enam sahabat itu ketakutan. Tetapi, patung yang berada di tengah-tengah Aula itu mengaku bahwa dirinya adalah sang Dewa yang mereka cari-car
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicaE2z29AxEoW4Oe2Dkv-7wKCfrqaKTFNZkVUM_xy7K9lNhjj644je_0z8YKKctv5-pNoKkAqZD0w08mSdnocnkYs1NVv7ypFz_xYakzx7etzE9rem4GHfZE_mYQ8BT79MVClkxVj0BL0_/s400/Patung+Dewa.jpg
i.
“Eh, kok patung tiba-tiba bergerak? Mati kita…!” seru Natali ketakutan. Dothy, Mita, Melin, Vera, dan Edsa juga sama takutnya.
“Kita?? Loe aja sono…” kata Melin nggak terima.
“Gimana kalau kita kabur?” usul Edsa.
“Usul bagus?!” papar Mita.
“Caranya?” tanya Dothy sambil menatap Edsa.
Edsa menggeleng-gelengkan kepala. “Kan gue cuma usul. Selebihnya minta ma Tuhan aja deh… Hehe,”
Salah satu patung yang berada ditengah-tengah patung yang lain itu berkata, “Janganlah takut…! Aku adalah Dewa yang kalian cari…”
Keenam sahabat itu saling menatap. Tanpa basa-basi mereka langsung memberikan Gold Egg kepada sang Dewa dan timbulah keajaiban. Gempa bumi mereda dan planet-planet yang hancur menjadi kembali ke sedia kala dan bumi tidak jadi hancur. Dan yang paling penting para penyihir jahat masuk ke dalam lubang panas dan tidak akan pernah kembali lagi untuk menghancurkan bumi.
Sang Dewa berterima kasih kepada keenam sahabat itu karena telah berani menyelesaikan tugas yang berat ini. Dunia kembali bercahaya dan bunga-bungapun kian mekar menghiasi alam semesta. Dan di malam terakhir liburan mereka, suasana dikota dihiasi oleh pesta kembang api yang sangat meriah sekali. Mereka senang sekali dengan petualangan liburan mereka ini yang sangat seru dan menakjubkan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSHPcabWBmRMvcDcQe0T7mhLfdUPhInUN7tkCfdvtiKZjMO0l05p-uGgnxRtuxRBswnrXwoL6dIquFVT1ZsYBLOfFQG9rZCA6ZUj4WwxXoZcblinuQYXYeDvkuooDq0T64ogLy5g-4YL4A/s400/Fireworks.jpg
“Wih, keren banget!!” ujar Dothy takjub.
“Gilee, petasannya bagus banget?!” seru Edsa girang.
“Kembang api kaleee…!” ralat Natali.
“Ya udah sih?! Sama aja…”
“Beda tau!!” protes Natali.
“Ya udah, nggak penting juga kok,” potong Mita. Vera dan Melin hanya geleng-geleng kepala.
Ternyata kegelapan yang sangat jahat sekalipun akan kalah dengan sinar kebaikan dalam hati yang dimiliki oleh orang yang tidak mudah putus asa dan terus berharap dalam kesesakannya. Itulah hati yang dimiliki oleh keenam sahabat tersebut. Dan satu lagi, tidak akan ada yang mustahil dalam dunia ini selama masih ada Tuhan. Trust it…!
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.

Senin, 26 Juli 2010

Pernak-Pernik Hati


“Gimana kalau Rendy? Kakak kelas yang keren itu!” usul Berta.
“Ah, jangan! Steven aja… Kan dia kaya banget ntu! Dia juga baik. Kan jarang ada orang kaya yang baik.” tolak Dian dengan gayanya yang santai tanpa mempertimbangkan usulan Berta.
“Kaya apa? Kaya kebo?” ejek Berta.
“Yeeee, cowok loe ntu kebo!” bantah Dian.
“Heh, jangan main cowok, ya!”
Dian dan Berta berdebat hebat di depanku. Suasana siang yang terik ditambah mendengarkan perdebatan Dian dan Berta. Lengkap sudah kemalanganan hari ini.
“Yee, siapa yang main cowok. Loe aja yang sensi! Weeee…” Dian menjulurkan lidahnya sepanjang mungkin.
Aku lelah mendengar celoteh mereka berdua. Aku yang belum punya pasangan malah mereka yang ribet. Sebenarnya, maksud mereka baik ingin membantuku mencarikan pacar. Tapi, mengapa mereka malah membuatku risih begini?
“Nggak! Gue nggak sensi. Loe aja yang nggak jelas. Sudahlah! Pokoknya Rendy aja. Dia baik banget orangnya. Dia juga pintar, Na.”
“Heh, heh, heh! Steven lebih baik kok…” serbu Dian tidak mau kalah.
“Lebih baik loe bilang? Playboy gitu!”
Aku menghela napas. ‘Kenapa mereka malah bertengkar? Kenapa bukan mereka saja yang sekalian pacarin cowok pilihan mereka itu dan putusin cowok masing-masing. Pasti akan lebih heboh jadinya. Hahaha…’ pikirku iseng sambil membayangkan.
“Ih, Belum kenal sih loe!”
“Emang!”
“Tuh kan… Emang ngasal sih! Belum kenal saja sok tahu… Tanya donk sama gue yang udah kenal,”
“Lah elah! Males deh. Sudahlah Rendy aja. Paling mantap itu…”
‘Haduuuuh! Rendy, Steven, Rendy, Steven, Rendy, Steven… Siapa mereka saja, gue nggak tahu!’ keluhku dalam hati.
“Ih, Steven saja.”
“Rendy!”
“Yee, bodo. Anna nggak bakalan dengerin loe. Steven saja, Na!”
Pandanganku menerawang ke arah lapangan. Puluhan siswa membanjiri seluruh pinggir lapangan untuk melihat pertandingan futsal antarkelas. Seorang laki-laki tampan yang digandrungi banyak perempuan itu sedang menggiring bola dengan santai.
Aku dapat mendengarnya. Jeritan para siswi yang rela panas-panasan di bawah terik matahari di pinggir lapangan itu, sangat keras memanggil namanya. “Go, Axel, go! AXEL!!!”
Entah ada apa denganku, tapi aku terus memperhatikan laki-laki itu.
Deg! Aku tersentak.
Axel melihat ke sini.
Aku memalingkan pandanganku ke tempat lain. Aku tidak ingin dia tahu kalau dari tadi aku terus memandanginya. Saking lama memandangnya sampai tidak ada gerakannya yang aku lewatkan.
Mungkin aku hanya “ge-er” bila merasa bahwa Axel melihatku. Tapi, sudah beberapa kali aku memergoki Axel yang sedang memperhatikan aku. Tapi, TIDAK! Itu tidak mungkin. Axel itu populer. Banyak perempuan yang jauh lebih baik dari aku. Yup, sangat banyak! Aku juga pernah mendengar gosip bahwa Axel sudah memiliki pacar di sekolah lain. Yah, lagipula aku juga tidak mungkin suka dengannya. Dia itu…
Adik kelasku.

“Malam minggu gini enaknya jalan-jalan sama pacar, ya?” ucap Berta sambil menutup matanya.
Aku melirik Berta. “Nggak juga. Kita bertiga kumpul juga seru.”
”Gimana kalau kita sekarang ngobrol tentang tipe cowok kita?” usul Berta yang cemerlang menurut Dian. Menurutku? Oh, absolutely NO.
Dian yang biasanya santai, spontan bersemangat. “Kalau tipe cowok gue sih nggak muluk-muluk. Gue mau yang tampan, kaya, baik, pintar…” OK! Itu sangat muluk-muluk. “Loe gimana, Ta?”
“Gue mau yang cinta sama gue apa adanya.” Preeeeeeeeeeeettt!
“Cieeeee… Hahaha… Kalau loe, Na?”
“Dengar, ya? Cowok yang jadi pacar gue, usianya harus di atas gue atau paling minimal sepantaran. Kalau masalah ganteng, kaya, dan lain-lain nggak perlu.”
Dian dan Berta saling bertatapan. “Kenapa emangnya? Jadi adik kelas…”
Belum sempat Dian dan Berta melanjutkan ucapannya, aku sudah memastikan. “No-way.”
“Tapi, kenapa?” tanya Dian masih penasaran.
“Gue mau cowok yang lebih dewasa dibandingkan gue.”
“Ooooo…” Berta mangut-mangut.
“Tapi, nggak menjamin yang lebih tua lebih dewasa dan yang lebih muda tidak dewasa.” Dian bersikeras menentang.
“Pokoknya gue nggak suka sama cowok yang lebih muda dari gue. Titik.”
“Iya benar juga. Anna itu nggak mugkin pacaran sama adik kelas. Nggak keren kelihatannya. Anna itu lebih dewasa dibanding kita berdua. Jadi, cowok yang pantas mendampingi dia juga cowok keren, woow…” Berta membayangkan sambil cengar-cengir sendiri.
Aku mengangguk-anggukan kepala tanda setuju.
Tapi, lagi-lagi Dian, “Tapi…”
“Dian, gue nggak LEVEL sama adik kelas!”

Sejak saat itu, ucapanku seperti seperti palu yang diketuk tiga kali dalam mengakhiri sidang. Bahkan ini lebih parah dari sidang bagiku. Terkadang aku bingung harus menyesal atau tidak atas ucapanku waktu itu.
“Rendy lebih baik!”
“Nggak! Steven yang lebih baik. Nggak pintar milih banget sih loe!”
“Enak aja! Loe yang sok tahu! Rendy pokoknya…”
Huaaaaa!!! Lagi-lagi mereka berdua… Aku menutup kedua telingaku dan segera berlalu dari tempat itu.
“Steven!”
“Rendy!”
Sesaat kemudian, Dian dan Berta celingak-celinguk. “ANNA!!!”
***
Pagi ini, aku melangkahkan kakiku ke ruang musik. Aku berencana ingin berlatih biola di sana. Saat ingin memasuki ruangan tersebut, kulihat di ujung koridor dekat jendela ada dua orang yang sedang berbicara berhadapan. Laki-laki dan perempuan. Aku berhenti sejenak memfokuskan pengelihatanku terhadap sosok dua orang tersebut. Ternyata dua orang yang aku lihat adalah Axel bersama dengan seorang perempuan yang sepertinya bukan dari sekolah ini. Perempuan itu memakai seragam yang berbeda dari sekolahku. Aku tidak begitu jelas mendengar percakapan mereka. Tapi…
Deg!
Apa jangan-jangan perempuan itu pacar Axel? Jadi, ternyata benar gosip yang sering aku dengar bahwa Axel sudah memiliki pacar.
Damn!
Mereka berpelukan. Hah, ada apa dengan aku! Kenapa aku begitu mempedulikan peristiwa ini. Aku tidak seharusnya berada di sini. Tapi, kakiku tidak dapat bergerak. Kakiku sudah terpaku di tempat ini. Seperti ada yang mengharuskan aku tahu kejadian ini. Huuh, menyebalkan!
***
Kemarin aku jalan dengan Steven. Kemarinnya lagi jalan dengan Rendy. Tapi, belum ada yang cocok! Lagi-lagi… Huuaaaa… Aku bisa mati bosan kalau begini terus. Malam minggu adalah saatnya aku dan teman-temanku bermain dan bercanda bersama. Tapi, itu ketika kami semua masih jomblo. Setelah satu persatu dari mereka mempunyai pasangan, hidup malamku mulai berubah. Setiap malam minggu, aku menyendiri di rumah. Tidak ada teman. Tidak ada pacar. Tidak ada apa pun. Awalnya memang tidak apa-apa. Tapi semakin lama, aku terganggu dengan kesendirian itu.
Dian dan Berta adalah teman dekatku yang sangat peduli denganku. Karena itu, mereka bersedia dengan repotnya mencarikan aku laki-laki yang baik tanpa aku mintai bantuan. Tapi, aku memang terlalu pemilih. Aku tidak bisa menerima seorang laki-laki yang datang di kehidupanku begitu saja. Semua itu perlu proses. Lagipula, rasanya aku sedang tidak membuka hati untuk siapa pun. Kecuali . . .
Axel?
Hah, kenapa tiba-tiba nama itu yang muncul di pikiranku? Halah, ada-ada saja!
“Yaaaaaahh… Jadi gimana donk sekarang?” tanya Berta iba sambil menyuapkan baso terakhir dalam mangkuknya itu ke mulutnya. Aku mengangkat bahu pura-pura takpeduli seraya menguyah baso di mulutku yang masih belum lunak. Kantin sekolah yang terkenal dengan baso malangnya, membuat para pengunjung datang hanya untuk menyantap baso malang tersebut. Padahal di kantin ini menyediakan beraneka makanan lainnya. Memang tepat dinamakan baso malang karena setiap orang yang memakannya menjadi malang pilihan. Hanya ingin baso saja. Tapi, ini mungkin berbeda untuk Dian. Dia tidak menyukai baso
Tapi, ini bukan masalah basonya! Ini dikarenakan bosannya Dian melihat aku dan Berta memakan baso dengan lahapnya. Dian yang hanya melihat dengan raut iri tak selera, tiba-tiba saja mengeluarkan pertanyaan yang membunyikan tanda warning di otakku. “Loe suka sama adek kelas, Na?” tuduh Dian dengan gayanya yang santai seperti biasa.
Damn!!! Aku tercekat.
“Hah! Ngaco. Nggak lah!“ elakku. Aku menghabiskan kuah baso dengan perlahan menghindari tersedaknya tenggorokan karena pertanyaan Dian yang mengejutkan. “Kenapa tiba-tiba loe tanya begitu?”
“Beberapa kali gue lihat loe lagi perhatiin seorang cowok,” timpal Dian menjurus.
Hah, apa benar Dian sepemerhati itu? Selama ini, yang aku tahu, Dian adalah tipe orang yang cuek dan santai. Dian memang peduli denganku, tapi tak kukira sampai sejauh ini. “Lah, siapa?” tanyaku polos. Aku membuang muka, tidak ingin Dian melihat wajahku yang memerah.
“Axel.” Singkat, padat, dan jelas. Satu nama itu membuatku mati kutu. Mana mungkin Dian tahu. Tapi, mengapa pertanyaannya menusuk sekali? Bukan. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan! Apa begitu kelihatan kalau aku memperhatikan Axel? Hah, masa sih!!!
“Nah, loe diam, kan. Jangan-jangan benar kalau loe…”
“Ngaco!” selaku menyangkal.
“Gue cuma becanda, kok! Habis, kayaknya loe nggak suka sama kakak kelas atau anak seangkatan. Mungkin perlu gue jodohin sama adik kelas. Hahahaaaa…” seru Dian yang dengan usil berhasil menggodaku. Tapi, aku menghela napas lega karena ternyata Dian tidak tahu. Sepertinya Dian cocok jadi peramal.
“Ya udah… Darren aja. Adek kelas gue. Tapi, masih gantengan Axel, sih.” Berta memulai perjodohannya lagi setelah kuah baso dalam mangkuknya itu habis tak tersisa.
Dian mulai mengingat-ingat, “Tapi bukannya Anna pernah bilang sama kita kalau dia nggak mau punya cowok adik kelas?”
Mataku melotot. Aku hapus kalimat yang mengatakan bahwa Dian cocok menjadi peramal. Kali ini dia lebih cocok menjadi alarm karena ingatannya yang kuat bisa memberi peringatan pada ucapanku dahulu.
“Iya benar! Katanya kalau adik kelas itu nggak level. Tapi, nggak apa-apa kalau mau coba Darren. Hihihihihihiiii…” sindir Berta yang ketawa cekikikan.
“Haha… atau Hendry?” Dian menambahi.
“Darren!!! Dia jago melukis.”
“Lah, terus kenapa kalau dia jago melukis?! Hendry aja,”
“Darren pokoknya. TITIK.”
Oh, TIDAK!!! Lagi-lagi mereka berdebat. Tapi, aku merasa beruntung karena mereka tidak lagi membahas mengenai ucapan masa laluku itu.
Kusuapkan paksa baso terakhir ke dalam mulutku. Kutegukkan air untuk membantu menelan sisa baso yang memenuhi mulutku. “Hhhh… SELESAI! Gue duluan ya…” kataku akhirnya yang langsung bergegas pergi meninggalkan Dian dan Berta yang masih berdebat.
“Lho, Anna?” Dian mulai menyadari.
“Tuh kan, loe sih! Dia nggak suka Hendry,” ucap Berta asal.
“Yeeeeee, bukan karena itu kali!!”
Mereka bertengkar lagi.

Aku duduk sendiri di kursi balkon sekolah dekat kolam ikan. Jari telunjukku menyentuh air kolam ikan yang dingin. Dari kejauhan, aku melihat seseorang sedang memperhatikanku. Siapa? Sepertinya laki-laki. Axel? Iya, itu Axel!!! Dia memandangku dari jauh lama sekali. Lagi-lagi aku ge-er. Tapi, dia melihat siapa lagi? Tidak ada orang lain selain aku yang duduk di balkon ini. Mungkin dia melihat kursi yang sedang kududuki karena memang bagus dan unik. Warnanya beragam seperti pelangi. Halah, sudahlah! Aku pergi saja dari sini daripada khayalanku semakin menjadi-jadi. Kemudian aku berdiri dan segera mengayunkan langkah menjauh dari tempat itu.
“Anna…” panggil seseorang di belakangku.
Suara itu… Tidak asing.
Aku memutar tubuh ke belakang. Tidak salah. Orang yang sekarang berada tepat di hadapanku dan yang barusan menyebut namaku itu memang dia… Axel!!!
“Hai,” sapanya. Apa ini! Ada gerangan apa dia datang menghampiriku? Tidak aku sangka dia berada sedekat ini. Tidak pernah aku sangka. Aku perhatikan wajah tampannya terlihat gugup dan sepertinya ia tidak berani memandangku lama.
“Hmm… hmm, mau bicara sebentar. Boleh?” Laki-laki tinggi yang mengenakan jaket hitam ini dengan gugup mulai meremas tangannya. Aku masih diam tidak percaya. Tapi, jantung ini tidak dapat berhenti berdetak kencang.
“Aku suka kamu.”
Tiga kata itu cukup membuat jantungku berhenti berdetak. Satu detik. Dua detik. Tiga, empat, lima, enam, tujuh, dan… delapan.
“Aku sudah suka lama. Tapi, aku belum siap bilang.”
Apa? Aku mimpi ya? Kenapa ada mimpi seindah ini? Eits, tunggu dulu! Oh, NO! Dia itu sudah punya pacar. Dia kira aku mudah dipermainkan. Wajahku berubah marah ketika mengingat pelukan mesra Axel dengan pacarnya di koridor sekolah waktu lalu. Bukan hanya cemburu. Tapi, aku merasa dipermainkan. “Gue tahu kok loe udah punya cewek. Oh, atau loe lagi taruhan sama teman-teman loe? Sayangnya loe gagal!” paparku ketus.
Axel mengerutkan keningnya. Aku segera berbalik pergi dari sana, tapi Axel dengan sigap menarik tangan kiriku. Aku tidak dapat melepaskan tanganku karena tangan Axel yang besar menggenggamnya erat.
“Apalagi? Hah!” Aku meronta berusaha melepaskan genggamannya.
“Aku sudah putus!” ujar Axel cepat.
Aku terenyak.
“Aku baru putus tiga hari yang lalu. Waktu itu, dia datang ke sekolah karena nggak mau diputusin. Dia minta kerenggangan waktu lagi. Dia kira aku penagih hutang apa.” Tiga hari yang lalu? Di koridor dekat ruang musik itu? Jadi, waktu itu…
“Lagipula aku nggak pernah suka dia. Dia yang nembak aku. Aku nggak terima, tapi dia bilang coba selama dua minggu. Ya, aku coba ikuti. Dan kemarin sudah tepat dua minggu itu,” jelasnya melanjutkan. “Maaf kalau lancang, tapi aku… Aku cuma suka kamu dari dulu. Aku udah lama perhatiin kamu, Anna.”
Deg!!! Bagaimana ini?
“Aku mau kamu jadi cewekku. Gimana?”
Ini benar-benar tak terduga oleh akal sehatku. Jadi, perkiraanku yang selama ini merasa bahwa dia selalu memperhatikanku itu benar dan sudah terjawab semua. Sekarang aku akan pulang dengan membawa harapan baru karena harapan yang selama ini aku tunggu terkabul juga. Tapi, bagaimana menjelaskan semua ini pada Dian dan Berta? Ah, aku tidak peduli! Yang penting keadaan sekarang sudah berubah. Masalah menjelaskan bisa kapan saja. Apa ini akhir dari penantianku selama ini?
Axel.
Karena dia, aku menolak semua laki-laki yang datang di kehidupanku. Karena dia, aku pernah kehilangan sebelah hati ini. Karena dia, aku masih terus menunggu dalam penantian. Karena dia, aku tidak dapat membuka hati untuk orang lain. Karena dia, aku bisa melanggar ucapan bodoh masa laluku. Dan karena dia, aku dapat merasakan sesuatu yang namanya…
CINTA!
Iya, lagi-lagi karena dia…
Rupanya cinta itu bukan bagaimana tipemu, tapi bagaimana perasaanmu. Akhirnya aku menemukan pernak-pernik hati yang selama ini salah kuartikan.
“Kok diam?” Axel menatapku resah. “Apa kamu nggak su…”
“Eh, bukan gitu!” potongku kilat.
Entah mengapa aku tidak dapat menolak ucapannya. Aku terhanyut oleh suaranya. Padahal baru pertama aku berbicara berhadapan dengannya. Tapi, entah mengapa rasanya sudah sedekat ini. Bahkan masih banyak laki-laki lain yang lebih aku kenal. Tapi, lagi-lagi aku hanya ingin lebih dekat dengan dia. Apa karena dia…
Adik kelasku yang sebentar lagi akan menjadi…
Axel mengangkat alisnya. “Jadi?”