“Nggak
gue sangka ternyata loe kayak gini…”
“Loe
cuma manfaatin Fendy, kan! Ketika sudah dapat, loe buat dia sekarat kayak
gini!”
“Dasar,
nggak tahu diri!”
Makian
yang menodai beningnya kepercayaan. Kepercayaan yang perlahan membakar puing
keajaiban. Bayanganku tidak pernah merancangkan seperti ini finalnya.
Sebenarnya sempat aku membela. Nyatanya mulutku terkatup rapat. Berbanding
terbalik dengan batinku yang meronta hebat.
Tiba-tiba
aku merasakan suatu genggaman erat menyelimuti tangan kananku. Darah mulai naik
ke ubun-ubun. Panas sampai takterasa lagi. Tegang tubuhnya. Tanpa melihatnya
saja sudah membuatku kacau. Ingin sekali menoleh. Tapi, kurasa takperlu. Aku
tahu dia. Seseorang sudah berdiri tegap memandang lurus seluruh rintangan yang
ada di depannya.
***
“Dia
kayaknya benci sama aku…” Aku mulai mengira-ngira.
“Sudahlah.
Nggak perlu dipikirkan. Kamu sudah tahu kan kalau itu artinya dia bukan teman
yang baik,” bisik Fendy lembut sambil merengkuh pinggangku. Aku menatapnya.
Terlihat sosok seorang laki-laki yang aku tunggu selama ini. Paras tampan
dengan postur tubuh yang menawan membuat banyak perempuan menginginkannya. Dia
adalah Fendy, kekasihku. Entah bagaimana memikirkannya, tetapi dari sekian
banyak perempuan, dia memilihku.
BRUUUKK
“Aduh!”
pekik seseorang perempuan yang barang-barangnya jatuh berserakan karena
bertabrakan denganku.
“Eh,
sorry… sorry nggak lihat,” Aku melepaskan rengkuhan Fendy seraya berlutut
membantu mengambilkan barang orang tersebut. Aku menghadapkan wajah kepadanya.
Baru saja aku memikirkannya dan dia sudah ada di depanku sekarang. “Diana…”
“Gue
nggak perlu dibantu,” papar Diana dingin dan segera berlalu. Diana adalah teman
baikku. Tapi, itu dulu. Semenjak aku berpacaran dengan Fendy dan berteman
dengan kalangan berada, Diana mulai membenciku. Dia selalu melarangku untuk
berteman dengan mereka. Aku tahu alasannya. Dia iri padaku.
Aku
melihatnya dari kejauhan. Tubuhnya tegap bak Ratu di Singgasana. Matanya yang tajam
telah menolakku dengan mantap.
“Sudah deh… Mendingan loe nggak
usah berhubungan sama mereka. Bukannya gue ngelarang loe untuk berteman dengan
siapa, tapi mereka itu bukan teman yang baik.” Diana menatapku tajam.
“Loe kenapa sih? Mereka baik, kok.”
“Nixie, loe tahu kan kalau Vira CS
nggak pernah suka sama kita. Kalau tiba-tiba jadi suka, apa loe nggak merasa
aneh?”
“Nggak, ah! Indy pernah belajar
bareng gue dan selalu senyum sama gue kalau ketemu. Apalagi Santa. Dia selalu belain
gue kalau Vira lagi marah sama gue. Yah, mungkin kalau Sandra memang sedikit
jutek dan Vira nggak pernah mau bicara sama gue. Tapi, sekarang mereka semua
baik banget,” bantahku. “Dan bukannya malah bagus kalau mereka sudah nggak
jutek lagi sama gue?”
Diana mulai kesal dengan sikapku
yang bertentangan dengannya. “Nixie, please! Percaya sama gue.”
Aku mencibir.
Diana menghela napas. “Loe juga
harus hati-hati sama Fendy. Kayaknya malah dia yang lebih berbahaya daripada…”
“CUKUP! Oh, jangan-jangan loe iri
sama gue karena mereka lebih suka berteman dengan gue dibanding loe!” potongku
karena semakin lelah dengan semua tuduhan Diana.
Raut wajah Diana berubah seketika. “Apa?
Nggak lah! Loe itu tolol banget, ya.”
“Apa? Tolol?” Aku merasa
tersinggung dengan ucapan kasar Diana. Dia adalah orang yang sopan sebelum
kejadian buruk ini.
Diana yang segera sadar akan
ucapannya yang berlebihan segera merasa bersalah. “Sorry, Xie… Gue nggak
bermaksud. Maksud gue…”
“Di, loe jadi berubah, ya. Pokoknya
gue nggak suka loe larang. Nggak suka!” kataku garang.
“Nixie, gue…”
“Sudah deh. Gue nggak peduli loe
mau bilang apa. Pokoknya sekarang loe bukan teman gue lagi!”
Malam
itu, tak ada satu bintang pun yang muncul. Aku bersama Fendy menuju pulang ke
rumah.
“Fen,
kok lewat sini? Tumben banget,” selidikku heran.
“Lewat
jalan depan macet,”
Fendy
menghentikan mobilnya. Dia menatapku lama.
Aku
tersenyum kikuk. “Kenapa, Fen?”
Fendy
mencondongkan tubuhnya mendekatiku hingga wajahnya hanya satu inci dari
wajahku. Aku memalingkan wajah sehingga hidungnya menyentuh telingaku dan Fendy
berbisik, “Nixie, kamu cantik banget malam ini…”
Pipiku
merah padam bak kepiting rebus yang baru matang. Aku merinding mendengarnya.
Tangan Fendy menyentuh rambutku, turun ke wajahku, lalu turun lagi ke leher
dan… Tidak! Tangannya hampir saja menyentuh bagian terlarang.
“Fendy!”
bentakku kasar.
Bukannya
berhenti, Fendy menggenggam kedua tanganku sehingga aku tidak dapat bergerak.
“Kamu harus jadi milik aku malam ini…”
“Gila!!!”
Aku meronta melonggarkan genggaman Fendy. Percuma berteriak karena tidak ada
orang di tempat ini. Aku berusaha membuka pintu mobil dengan susah payah. Dan…
Berhasil!
“Kamu
mau ke mana, sayang? Maaf saja, tapi kamu nggak akan bisa ke mana-mana…” Pintu
mobil terbuka lebar. Oh, tidak! Ada banyak pecahan kaca besar yang tersebar
tepat di samping pintu mobil yang baru aku buka. Hampir saja aku celaka kalau
Fendy tidak menarik kasar bajuku. Aku sudah tidak tahan lagi. Kekuatan Fendy
tak dapat aku lawan. Tapi, tidak bisa aku biarkan karena ulah Fendy semakin
kurang ajar.
Ketika
ada sedikit celah untuk bergerak, aku mendorong tubuh Fendy hingga ia terpental
ke jok mobilnya. Aku berusaha keluar mobil tanpa terkena pecahan kaca yang
berbahaya. Aku berlari menjauhi Fendy.
“Aaaaarrgghh!”
jerit Fendy. Aku menoleh. Darah membanjiri tubuh Fendy sehingga ia terkulai
lemas. Rupanya, Fendy terkena banyak pecahan kaca di samping mobilnya ketika ia
berusaha mengejarku.
“Fendy!
” Takjadi aku melarikan diri. Bahkan aku sudah tidak berpikir lagi bahwa baru
saja ia ingin melukaiku. Yang aku pikirkan hanya keselamatan Fendy. Aku
berbalik menghampirinya dan berteriak minta pertolongan. Tetapi, tidak ada satu
pun orang yang lewat. Aku harus mencari seseorang. Siapa saja… Seseorang untuk
menolong… Fendy.
***
Kali
ini, matahari tak memihakku. Di sini. Di depan rumah sakit tempat Fendy
dirawat. Bagaimana bisa aku berdiri dalam kubu yang berbeda tanpa seorang membelaku?
Aku terdesak sekarang.
“Nggak
gue sangka ternyata loe kayak gini…” Sandra menggelengkan kepalanya.
“Loe
cuma manfaatin Fendy, kan! Ketika sudah dapat, loe buat dia sekarat kayak gini!”
tandas Vira.
“Dasar,
nggak tahu diri! Nggak bisa senengin cowok sendiri!” cerca Sandra beruntun.
“Bukannya
jadi pacar yang baik malah buat Fendy celaka,” tambah Santa.
Indy
menatapku keki. Bahkan Indy dan Santa juga ikut mencelaku?
Makian
yang menodai beningnya kepercayaan. Kepercayaan yang perlahan membakar puing
keajaiban. Bayanganku tidak pernah merancangkan seperti ini finalnya. Mereka tak
seperti yang aku bayangkan. Dari awal mereka telah merencanakan tindakan malam
itu dengan Fendy. Kebencian membawa mereka untuk melukaiku. Sebenarnya sempat
aku membela. Nyatanya mulutku terkatup rapat. Berbanding terbalik dengan
batinku yang meronta hebat. Bayangkan saja, aku yang hampir dinodai, tapi malah
aku yang dicela. Aku merasa dikhianati. Ingin rasanya menangis, tapi tidak di
sini. Tidak akan.
Tiba-tiba
aku merasakan suatu genggaman erat menyelimuti tangan kananku. Darah mulai naik
ke ubun-ubun. Panas sampai takterasa lagi. Tegang tubuhnya. Tanpa melihatnya
saja sudah membuatku kacau. Ingin sekali menoleh. Tapi, kurasa takperlu. Aku
tahu dia. Seseorang sudah berdiri tegap memandang lurus seluruh rintangan yang
ada di depannya. Leluconkah semua ini? Orang yang berdiri di sampingku ini,
justru seorang sahabat yang aku khianati. Dia…
“Mulut
kalian memang selalu memutar fakta, ya. Kalau kalian berani, satu lawan satu,
donk! Jangan keroyokan!” tantang Diana.
“Cih,
memang pantas ya… Anak kampung bergaul dengan anak kampung juga! Guys, kan gue sudah bilang kalau dia
nggak pantas jadi teman kita. Dasar, kampungan! Pacaran saja nggak becus!” cela
Vira kejam.
“Orang
yang gila saja kalau bergaul sama kalian juga nggak akan betah. Gimana orang
waras,” balas Diana dengan lantang.
Entah
apa yang terjadi setelah itu, sekarang hanya ada aku dan Diana di sini. Iya…
Diana.
Ternyata
memang benar apa yang dulu dikatakan Diana mengenai mereka. Ucapan Diana seakan
terus berputar bak rekaman di otakku sehingga membuat aku merasa bersalah. Kata-kata
yang dulu selalu ia lontarkan dan yang juga selalu aku abaikan. Dirinya bahkan
tetap bertahan laksana kuda perang yang masih berpacu cepat
walau tubuhnya banjir darah karena tetusuk panah. Mirisnya, panah itu adalah
panahku.
Diana
masih menggenggam tanganku. Bahkan sampai tangan kami basah karena terlalu lama
bersentuhan. Walaupun begitu, aku tidak ingin melepasnya. Tak ingin melepas
kehangatan yang sempat aku abaikan dulu. Tapi, ternyata harapanku mulai pudar.
Diana melonggarkan genggamannya. Ketika tanganku terlepas seutuhnya dari tangan
Diana, Diana menjauh tanpa menoleh ke arahku. Aku tertunduk lemas sambil meremas
kedua tanganku hingga aku merasakan kuku panjangku menembus epidermis yang
melindungi tanganku. Sakit. Tapi, tak sesakit hati ini. Memang tidak pantas
untuk menggapainya kembali. Sesuatu yang berharga yang aku sia-siakan.
“MAAF!
Diana, maaf. Maaf…” jeritku di lubuk hati. Jeritan yang tak dapat aku sampaikan.
Lebih tepatnya, tak pantas aku sampaikan. Mataku sudah tak kuasa menahan air
yang menggenang di kelopaknya. Setetes semi tetes dan akhirnya air mataku
tumpah membasahi pipi. Aku melihat punggungnya. Tetap tegak dalam keadaan apa
pun. Tidak mungkin tubuh itu berbalik padaku.
Tapi,
tidak! Aku terkejut sekaligus tersanjung.
“Di…
Di… ana,” isakku. Entah hanya halusinasiku atau bagaimana, tapi wajah Diana
tampak di depanku.
Dan
ternyata memang benar, Diana berada di hadapanku. Dia tersenyum sekilas sembari
langsung memelukku. Pelukan yang membuat aku sesak. Tapi, aku tidak peduli.
Perlu sebuah keajaiban untuk mendapatkan even
seperti ini. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Bukan… Bahkan
lebih dari itu. Itulah Diana. Aku terisak hebat di pelukan Diana. Seketika aku merasakan
bahuku basah. Diana juga menangis.
Hanya
ada satu kata di otakku sekarang untuk Diana. Kata yang berulang-ulang tak
tersampaikan. Satu kata yang dapat aku utarakan dalam kepedihan dan kebahagiaan
yang tak kunjung padam. Kata itu akan menjadi deru selamanya dalam hatiku
untuknya.
“Maaf…”