WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Kamis, 27 Januari 2011

Deru Abadi


Kali ini, matahari tak memihakku. Bagaimana bisa aku berdiri dalam kubu yang berbeda tanpa seorang membelaku? Aku terdesak sekarang.
“Nggak gue sangka ternyata loe kayak gini…”
“Loe cuma manfaatin Fendy, kan! Ketika sudah dapat, loe buat dia sekarat kayak gini!”
“Dasar, nggak tahu diri!”
Makian yang menodai beningnya kepercayaan. Kepercayaan yang perlahan membakar puing keajaiban. Bayanganku tidak pernah merancangkan seperti ini finalnya. Sebenarnya sempat aku membela. Nyatanya mulutku terkatup rapat. Berbanding terbalik dengan batinku yang meronta hebat.
Tiba-tiba aku merasakan suatu genggaman erat menyelimuti tangan kananku. Darah mulai naik ke ubun-ubun. Panas sampai takterasa lagi. Tegang tubuhnya. Tanpa melihatnya saja sudah membuatku kacau. Ingin sekali menoleh. Tapi, kurasa takperlu. Aku tahu dia. Seseorang sudah berdiri tegap memandang lurus seluruh rintangan yang ada di depannya.
***
“Dia kayaknya benci sama aku…” Aku mulai mengira-ngira.
“Sudahlah. Nggak perlu dipikirkan. Kamu sudah tahu kan kalau itu artinya dia bukan teman yang baik,” bisik Fendy lembut sambil merengkuh pinggangku. Aku menatapnya. Terlihat sosok seorang laki-laki yang aku tunggu selama ini. Paras tampan dengan postur tubuh yang menawan membuat banyak perempuan menginginkannya. Dia adalah Fendy, kekasihku. Entah bagaimana memikirkannya, tetapi dari sekian banyak perempuan, dia memilihku.
BRUUUKK
“Aduh!” pekik seseorang perempuan yang barang-barangnya jatuh berserakan karena bertabrakan denganku.
“Eh, sorrysorry nggak lihat,” Aku melepaskan rengkuhan Fendy seraya berlutut membantu mengambilkan barang orang tersebut. Aku menghadapkan wajah kepadanya. Baru saja aku memikirkannya dan dia sudah ada di depanku sekarang. “Diana…”
“Gue nggak perlu dibantu,” papar Diana dingin dan segera berlalu. Diana adalah teman baikku. Tapi, itu dulu. Semenjak aku berpacaran dengan Fendy dan berteman dengan kalangan berada, Diana mulai membenciku. Dia selalu melarangku untuk berteman dengan mereka. Aku tahu alasannya. Dia iri padaku.
Aku melihatnya dari kejauhan. Tubuhnya tegap bak Ratu di Singgasana. Matanya yang tajam telah menolakku dengan mantap.

“Sudah deh… Mendingan loe nggak usah berhubungan sama mereka. Bukannya gue ngelarang loe untuk berteman dengan siapa, tapi mereka itu bukan teman yang baik.” Diana menatapku tajam.
“Loe kenapa sih? Mereka baik, kok.”
“Nixie, loe tahu kan kalau Vira CS nggak pernah suka sama kita. Kalau tiba-tiba jadi suka, apa loe nggak merasa aneh?”
“Nggak, ah! Indy pernah belajar bareng gue dan selalu senyum sama gue kalau ketemu. Apalagi Santa. Dia selalu belain gue kalau Vira lagi marah sama gue. Yah, mungkin kalau Sandra memang sedikit jutek dan Vira nggak pernah mau bicara sama gue. Tapi, sekarang mereka semua baik banget,” bantahku. “Dan bukannya malah bagus kalau mereka sudah nggak jutek lagi sama gue?”
Diana mulai kesal dengan sikapku yang bertentangan dengannya. “Nixie, please! Percaya sama gue.”
Aku mencibir.
Diana menghela napas. “Loe juga harus hati-hati sama Fendy. Kayaknya malah dia yang lebih berbahaya daripada…”
“CUKUP! Oh, jangan-jangan loe iri sama gue karena mereka lebih suka berteman dengan gue dibanding loe!” potongku karena semakin lelah dengan semua tuduhan Diana.
Raut wajah Diana berubah seketika. “Apa? Nggak lah! Loe itu tolol banget, ya.”
“Apa? Tolol?” Aku merasa tersinggung dengan ucapan kasar Diana. Dia adalah orang yang sopan sebelum kejadian buruk ini.
Diana yang segera sadar akan ucapannya yang berlebihan segera merasa bersalah. “Sorry, Xie… Gue nggak bermaksud. Maksud gue…”
“Di, loe jadi berubah, ya. Pokoknya gue nggak suka loe larang. Nggak suka!” kataku garang.
“Nixie, gue…”
“Sudah deh. Gue nggak peduli loe mau bilang apa. Pokoknya sekarang loe bukan teman gue lagi!”

Malam itu, tak ada satu bintang pun yang muncul. Aku bersama Fendy menuju pulang ke rumah.
“Fen, kok lewat sini? Tumben banget,” selidikku heran.
“Lewat jalan depan macet,”
Fendy menghentikan mobilnya. Dia menatapku lama.
Aku tersenyum kikuk. “Kenapa, Fen?”
Fendy mencondongkan tubuhnya mendekatiku hingga wajahnya hanya satu inci dari wajahku. Aku memalingkan wajah sehingga hidungnya menyentuh telingaku dan Fendy berbisik, “Nixie, kamu cantik banget malam ini…”
Pipiku merah padam bak kepiting rebus yang baru matang. Aku merinding mendengarnya. Tangan Fendy menyentuh rambutku, turun ke wajahku, lalu turun lagi ke leher dan… Tidak! Tangannya hampir saja menyentuh bagian terlarang.
“Fendy!” bentakku kasar.
Bukannya berhenti, Fendy menggenggam kedua tanganku sehingga aku tidak dapat bergerak. “Kamu harus jadi milik aku malam ini…”
“Gila!!!” Aku meronta melonggarkan genggaman Fendy. Percuma berteriak karena tidak ada orang di tempat ini. Aku berusaha membuka pintu mobil dengan susah payah. Dan… Berhasil!
“Kamu mau ke mana, sayang? Maaf saja, tapi kamu nggak akan bisa ke mana-mana…” Pintu mobil terbuka lebar. Oh, tidak! Ada banyak pecahan kaca besar yang tersebar tepat di samping pintu mobil yang baru aku buka. Hampir saja aku celaka kalau Fendy tidak menarik kasar bajuku. Aku sudah tidak tahan lagi. Kekuatan Fendy tak dapat aku lawan. Tapi, tidak bisa aku biarkan karena ulah Fendy semakin kurang ajar.
Ketika ada sedikit celah untuk bergerak, aku mendorong tubuh Fendy hingga ia terpental ke jok mobilnya. Aku berusaha keluar mobil tanpa terkena pecahan kaca yang berbahaya. Aku berlari menjauhi Fendy.
“Aaaaarrgghh!” jerit Fendy. Aku menoleh. Darah membanjiri tubuh Fendy sehingga ia terkulai lemas. Rupanya, Fendy terkena banyak pecahan kaca di samping mobilnya ketika ia berusaha mengejarku.
“Fendy! ” Takjadi aku melarikan diri. Bahkan aku sudah tidak berpikir lagi bahwa baru saja ia ingin melukaiku. Yang aku pikirkan hanya keselamatan Fendy. Aku berbalik menghampirinya dan berteriak minta pertolongan. Tetapi, tidak ada satu pun orang yang lewat. Aku harus mencari seseorang. Siapa saja… Seseorang untuk menolong… Fendy.
***
Kali ini, matahari tak memihakku. Di sini. Di depan rumah sakit tempat Fendy dirawat. Bagaimana bisa aku berdiri dalam kubu yang berbeda tanpa seorang membelaku? Aku terdesak sekarang.
“Nggak gue sangka ternyata loe kayak gini…” Sandra menggelengkan kepalanya.
“Loe cuma manfaatin Fendy, kan! Ketika sudah dapat, loe buat dia sekarat kayak gini!” tandas Vira.
“Dasar, nggak tahu diri! Nggak bisa senengin cowok sendiri!” cerca Sandra beruntun.
“Bukannya jadi pacar yang baik malah buat Fendy celaka,” tambah Santa.
Indy menatapku keki. Bahkan Indy dan Santa juga ikut mencelaku?
Makian yang menodai beningnya kepercayaan. Kepercayaan yang perlahan membakar puing keajaiban. Bayanganku tidak pernah merancangkan seperti ini finalnya. Mereka tak seperti yang aku bayangkan. Dari awal mereka telah merencanakan tindakan malam itu dengan Fendy. Kebencian membawa mereka untuk melukaiku. Sebenarnya sempat aku membela. Nyatanya mulutku terkatup rapat. Berbanding terbalik dengan batinku yang meronta hebat. Bayangkan saja, aku yang hampir dinodai, tapi malah aku yang dicela. Aku merasa dikhianati. Ingin rasanya menangis, tapi tidak di sini. Tidak akan.
Tiba-tiba aku merasakan suatu genggaman erat menyelimuti tangan kananku. Darah mulai naik ke ubun-ubun. Panas sampai takterasa lagi. Tegang tubuhnya. Tanpa melihatnya saja sudah membuatku kacau. Ingin sekali menoleh. Tapi, kurasa takperlu. Aku tahu dia. Seseorang sudah berdiri tegap memandang lurus seluruh rintangan yang ada di depannya. Leluconkah semua ini? Orang yang berdiri di sampingku ini, justru seorang sahabat yang aku khianati. Dia…
“Mulut kalian memang selalu memutar fakta, ya. Kalau kalian berani, satu lawan satu, donk! Jangan keroyokan!” tantang Diana.
“Cih, memang pantas ya… Anak kampung bergaul dengan anak kampung juga! Guys, kan gue sudah bilang kalau dia nggak pantas jadi teman kita. Dasar, kampungan! Pacaran saja nggak becus!” cela Vira kejam.
“Orang yang gila saja kalau bergaul sama kalian juga nggak akan betah. Gimana orang waras,” balas Diana dengan lantang.
Entah apa yang terjadi setelah itu, sekarang hanya ada aku dan Diana di sini. Iya… Diana.
Ternyata memang benar apa yang dulu dikatakan Diana mengenai mereka. Ucapan Diana seakan terus berputar bak rekaman di otakku sehingga membuat aku merasa bersalah. Kata-kata yang dulu selalu ia lontarkan dan yang juga selalu aku abaikan. Dirinya bahkan tetap bertahan laksana kuda perang yang masih berpacu cepat walau tubuhnya banjir darah karena tetusuk panah. Mirisnya, panah itu adalah panahku.
Diana masih menggenggam tanganku. Bahkan sampai tangan kami basah karena terlalu lama bersentuhan. Walaupun begitu, aku tidak ingin melepasnya. Tak ingin melepas kehangatan yang sempat aku abaikan dulu. Tapi, ternyata harapanku mulai pudar. Diana melonggarkan genggamannya. Ketika tanganku terlepas seutuhnya dari tangan Diana, Diana menjauh tanpa menoleh ke arahku. Aku tertunduk lemas sambil meremas kedua tanganku hingga aku merasakan kuku panjangku menembus epidermis yang melindungi tanganku. Sakit. Tapi, tak sesakit hati ini. Memang tidak pantas untuk menggapainya kembali. Sesuatu yang berharga yang aku sia-siakan.
“MAAF! Diana, maaf. Maaf…” jeritku di lubuk hati. Jeritan yang tak dapat aku sampaikan. Lebih tepatnya, tak pantas aku sampaikan. Mataku sudah tak kuasa menahan air yang menggenang di kelopaknya. Setetes semi tetes dan akhirnya air mataku tumpah membasahi pipi. Aku melihat punggungnya. Tetap tegak dalam keadaan apa pun. Tidak mungkin tubuh itu berbalik padaku.
Tapi, tidak! Aku terkejut sekaligus tersanjung.
“Di… Di… ana,” isakku. Entah hanya halusinasiku atau bagaimana, tapi wajah Diana tampak di depanku.
Dan ternyata memang benar, Diana berada di hadapanku. Dia tersenyum sekilas sembari langsung memelukku. Pelukan yang membuat aku sesak. Tapi, aku tidak peduli. Perlu sebuah keajaiban untuk mendapatkan even seperti ini. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Bukan… Bahkan lebih dari itu. Itulah Diana. Aku terisak hebat di pelukan Diana. Seketika aku merasakan bahuku basah. Diana juga menangis.
Hanya ada satu kata di otakku sekarang untuk Diana. Kata yang berulang-ulang tak tersampaikan. Satu kata yang dapat aku utarakan dalam kepedihan dan kebahagiaan yang tak kunjung padam. Kata itu akan menjadi deru selamanya dalam hatiku untuknya.
“Maaf…”

Jumat, 21 Januari 2011

TIDAK TANPAMU

Bintang-bintang menebar pesona kini
Menghiasi malam membelai sang hati
Dapatkah kau menjelaskan semua ini
Yang takdapat kuungkapkan dengan pasti

Angin berbisiik lembut di rerumputan
Berhembus ke awan seakan berpesta
Kau datang tiba-tiba memb'ri harapan
Pada mimpi yang kukira tak'kan nyata

Reff1:
Takdapat bernyanyi tanpamu
Takdapat menari tanpamu
Kau beri setitik cahaya
Dan yang membuat aku percaya

Reff2:
Tak'kan ada dunia mimpiku
Tak'kan ada lagu indahmu
Yang s'lalu kau serukan untukku
Hingga aku tidak tanpamu

HAI SAHABAT

Kala mentari bersinar terang

Menerangi alam maya

Cerah cerianya dunia ini

Embun pagi menyejukan hati

Indahnya dunia bagai permata

Ingin aku arungi semua

Percayalah kawan semua ‘kan nyata

Jangan bimbang dalam pengharapan

Reff:

Hai sahabat, jangan kau takut ‘tuk melangkah

Raih mimpimu arungi dunia bahagia

Dan ku ‘kan s’lalu ada untuk menemanimu

Tetapkan langkah maju bersama

Bridge:

Secerah mentari pagi

Lihat sinarnya

Sahabat, ku ‘kan berbagi

Denganmu s’lamanya

Genggamlah tanganku wahai sahabat

Sambutlah masa depan untuk meraih cita

INI CINTA

Apa yang sedang kurasa

Namamu s’lalu ada dihatiku

Di dalam kesunyian malam

Hadirmu s’lalu temaniku

Apa yang sedang kurasa

Takkuasa menahan rindu padamu

Di dalam kesunyian malam

Bayangmu menari dimimpiku

Reff:

Inikah yang namanya cinta

Kilauan cahaya bintang menutup mataku

Inikah yang namanya cinta

Andai aku bisa dekat dengamu

TANYA

Malunya aku ketika hanyut bersamamu dalam harapan

Melayangnya hati ini ketika mendengarmu penuh puji

Taukah kau tentang sebuah ungkapan

Percayakah kau pada sebuah janji