Malaikat itu makin menjauh sehingga kamarku yang
tadi terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak
dapat melihat apa-apa lagi.
***
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah
tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya.
Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba mencari
sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang bisa
dikenakan. Ingin rasanya menangis, tapi takberguna jika keadaannya seperti ini.
Sekilas dia melihat beberapa helai kertas koran beterbangan di jalan aspal itu.
Tidak ada yang ia pikirkan selain mengambil koran-koran untuk menutupi dirinya
yang sebenarnya sudah tidak berguna ditutupi itu. Kemudian dia merangkak
mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal dan… BAM!
***
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…” Kemudian menghadap ke
depan kembali.
“Sssssttt!!!”
Aku memutar bola mataku ke atas dan kembali menengok
ke belakang.
Tangan laki-laki itu membentuk sebuah kode sambil
memainkan mulutnya.
“Dua tiga?” tanyaku polos dengan suara yang cukup
keras. Keras? Sebenarnya biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya
bukan di pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
“Apanya yang dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik
berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.”
Mendadak aku menjadi gugup.
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!”
celetuk Jean. Raut wajah anak-anak lain berubah seketika mendengar paparan dari
Jean. Ada yang menahan tawa. Ada yang jutek. Ada yang tidak ambil peduli. Ada
yang mengutuki, dan sial, itu pasti Jean! Ada juga yang memelas, kalau ini
pasti Ryan, laki-laki yang bertanya padaku tadi.
Wanita berbaya yang masih saja cantik itu
meninggalkan kursi eksklusifnya dan menghampiriku. Setelah sampai tepat di
sebelahku, ia berkata, “Kamu ikut dengan ibu. Sekarang!”
Aku hanya bisa nyengir kuda dan segera mengikuti
wanita yang biasa dipanggil Ibu Mona. Dalam cengiranku, terselip rasa kebencian
yang mendalam saat itu. Dua puluh persen untuk Ryan dan delapan puluh persen
untuk perempuan tengik itu (jangan bertanya mengapa persen untuk Jean lebih
banyak). Yah, dia biasa kupanggil perempuan tengik. Oh, satu lagi. Biasanya
malahan teman-temanku yang lain memanggilnya pelacur tengik. Masih mending
sebutan dariku, kan?
“Oh, tidak! Itu sama saja, masih ada tengik-tengiknya
juga,” protes Helen yang paling tidak suka perbedaan jika memberi sebutan untuk
Jean. Menurutnya kata “perempuan” panggilanku, sama saja dengan kata pelacur.
“Ya, apa pun lah. Yang penting pelacur, eh itu
cewek…” balas Dian yang biasa dengan kata-kata “apa pun lah”.
“Perempuan,” potong Rainy yang memang sudah biasa
membenarkan gaya bicara kami.
“Iya, apa pun lah itu namanya.” Dian masih tidak mau
kalah. “Kalau yang menyandang dia, gelarnya pasti buruk. Kalau perempuan jadi
perempuan…” membuka telapak tangan kirinya ke arahku, bermaksud menyilakanku
untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tengik.”
“Kalau pelacur, jadi pelacur…” sekarang giliran
tangan kanannya yang diarahkannya.
Renata agak terkejut karena tangan Dian mengarah
padanya. “Eh…“ Namun, tanpa pikir panjang dia berseru, ”tengik!”
Dengan santai, Dian tetap melanjutkan perkataannya.
“Dan kalau jadi cewek, cewek apa ya yang agak jelek banyakan gitu,”
“Mana ada agak jelek banyakan. Bagusan dikit, jelekan
dikit, atau agak jelek gitu,” koreksi Rainy lagi.
Dian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah
terhadap teman sebelah kanannya yang terus protes itu. “Apa pun lah.”
“Jadi-jadian.” Tamara yang sedari tadi hanya diam
dan mengantuk, angkat bicara.
Dian melotot dengan membuka mulutnya lebar-lebar dan
menganggukkan kepalanya seakan memberika sinyal kepada kita. “Cewek
jadi-jadian.”
Ibu Mona membawaku ke ruang panitia, dengan kata
lain ruang guru.
Aku tersandung pada lantai yang agak menjorok ke
atas. “Eh cewek jadi-jadian! Jadi-jadian,” latahku spontan.
Ibu Mona terkejut mendengar ujaranku. “Apa!?!”
katanya sambil melotot.
Aku segera mengoreksi perkataanku barusan. “Bukan
ibu!” Karena memikirkan kejadian waktu itu, aku jadi kena sial. Tapi ini bukan
satu-satunya hari kesialanku. Sebelumnya malah lebih parah dari ini.
Karena dia, aku hampir dijauhi teman sekelas. Hanya
karena aku pernah salah memakai seragam. Jean langsung berkata pada
teman-temannya, “Eh, ada anak baru…”
“Kok anak baru?” tanya salah satu teman Jean.
Jean mengangkat alisnya. “Iya, anak baru. Anak baru
malu! Habis salah kostum.” Semua yang berada di ruangan kelas itu tertawa.
Mukaku merah padam. Aku malu. Bukan. Aku MEMALUKAN!
“Kok diam? Salah masuk, Mbak. Coba mbak cari kelas
yang kostumnya sama saja.”
Bukan suara tawa orang-orang yang merusak hatiku,
tapi ucapan-ucapan Jean. Pernah juga aku dan teman-temanku mengikuti lomba
lari. Tiba-tiba, Helen tergelincir di tengah jalan.
Bukannya ditolong, Jean justru tertawa dan mengejek
Helen. “Hahaha… Dasar, tolol! Lari saja nggak lulus,”
Memang bukan kejadian yang sama. Bukan masalah yang
sama. Bukan juga tempat dan jam yang sama, tapi satu hal yang sama… Jean.
Setiap ada dia, suasana berubah buncah.
Sesudah try
out, kami diberikan kesempatan istirahat setengah jam untuk mempersiapkan try out selanjutnya. Dian, Helen, Rainy,
Renata, Tamara, dan aku duduk di kantin sambil bercengkrama mengenai ujian tadi
dan belajar ujian selanjutnya.
“Eh! Ada geng aneh,” seru Jean tiba-tiba yang sudah berdiri
di samping meja kami dengan angkuhnya.
Kami yang tadinya bercanda girang berubah hening
sekejap. Tapi tidak ada satu dari kami yang membalas ucapannya.
“Oh iya, tadi siapa ya yang mau nyoba nyontek ke
cowok gue? Gue tahu! Orang itu pasti yang masih punya perasaan ke cowok gue,”
tukas Jean memulai lagi.
Wajahku panas. Napasku tidak karuan. Aku benar-benar
marah dan ingin sekali menonjoknya sekarang juga. Aku tahu dia melihat kejadian
yang Ryan lakukan tadi. Tapi beraninya ia memutarbalikkan fakta. Aku memang
pernah suka dengan Ryan karena satu-satunya alasanku adalah dia keren dan cukup
terkenal di sekolah. Hanya itu. Tapi ternyata dia brengsek karena baru-baru ini
aku tahu dia berpacaran dengan Jena setelah beberapa bulan lalu mendekatiku.
Tapi mungkin kalau disuruh memilih antara Ryan dan Jean, pasti aku akan jawab
dengan pasti, Ryan! Jangan tanya kenapa.
Dian benci melihatku yang hanya bisa diam tanpa
melakukan pembalasan. Ia berdiri sembari berkata, “Heh, cowok loe tuh yang
nyontek ke teman gue. Adanya juga suruh tuh cowok loe nyadar! Sudah punya cewek
malah tanya sama cewek lain. Kalau gue jadi loe, sih, ih!” ejek Dian tiada
ampun.
“Idih, aneh deh loe! Kalaupun memang Ryan beneran
tanya, dia juga nggak mungkin tanya gue karena dia tahu gue nggak gampang
dibego-begoin.”
“Ih, nggak gampang dibego-begoin?! Hello…” cibir Helen.
“Yang namanya lagi try out, bodoh banget orang yang
masih nengok kalau dipanggil. Sudah tahu sekolah kita ketat peraturannya. Nah,
si Ryan itu nyari orang yang gampang dibego-begoin.” Jean mengangkat alisnya
sembari melirikku. “Kayak teman loe itu.”
Dian menghela napas. “Gue bingung kenapa Ryan suka
cewek macam loe, cih!”
“Gue juga bingung kenapa Agatha masih suka sama
cowok yang sudah jadi milik orang lain,” cela Jean tidak mau kalah.
Sudah habis kesabaranku untuknya. “Beasiswa loe akan
gue ambil.” Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku. Sebelum ini
memang ada pemberian beasiswa kepada siswa yang pintar dan kurang mampu. Beasiswa
itu hanya diperuntukkan kepada lima siswa. Dan sudah terisi empat siswa lain. Aku
dan Jean adalah kandidat pada beasiswa terakhir. Namun, sekolah tidak bisa
memberikan beasiswa kepada kedua dari kami karena beasiswanya pun terbatas. Dari
awal, Jean adalah siswa yang selalu mendapatkan beasiswa. Dan karena pemikiran
panjang yang menganggap Jean jauh lebih mampu daripada aku, maka kepala sekolah
menawarkannya untukku tanpa sepengetahuan Jean. Lagipula Jean sudah banyak
mendaptkan beasiswa sebelumnya, sedangkan aku belum pernah. Dan kepala sekolah
akan memberitahu Jean bahwa beasiswa sudah diberikan kepada orang yang lain,
jika aku menerima tawarannya.
Jean menatapku hambar tanpa mengucapkan satu patah
kata pun.
“Gue tahu itu beasiswa loe, tapi gue juga tahu kalau
tahun ini bukan loe yang pantas dapat beasiswa itu.” Aku tersenyum penuh
kemenangan.
“Oh, ya?” Rainy, temanku, salah seorang siswa yang juga
mendapatkan beasiswa terkejut gembira. “Gimana bisa?”
“Iya, hebat loe! Ceita donk, Ta?!?” timpal Renata.
Dian dan yang lainnya tersenyum puas.
Namun, aku masih belum puas sampai melihat perubahan
pada raut wajah Jean. “Dan beasiswa terakhir ini cukup… cukup ba-nyak.”
Dan benar, raut wajah Jean berubah seketika. Entah
tahu apa yang ia pikirkan, tapi aku tahu beasiswa ini penting untuk
ketenarannya. Biasanya selalu dia yang mendapat beasiswa sehingga lengkap sudah
kesempurnaan dia di mata orang. Cantik, kaya, dan… pintar.
“Nggak penting banget,” kata Jean akhirnya tanpa
menggubris lebih lanjut dan melenggang pergi.
Dan setelah kejadian itu, kami tidak pernah
menyangka bahwa saat itu adalah saat terakhir kami bertemu dengannya. Tapi,
siapa juga yang peduli pada saat itu.
Keesokan harinya, kami tidak melihat Jean di
sekolah. Dan tiga hari kemudian, terdengar kabar yang menggemparkan di sekolah bahwa
Jean telah meninggal.
Aku yang tidak mengerti akan semua ini hanya diam.
Sesosok makhluk bersinar terang yang rupanya tidak kelihatan ini berdiri di
hadapanku, di kamarku. Malam itu, tanpa lampu atau cahaya lilin, mataku cukup
dibuat silau oleh makhluk tersebut. Bukannya teriak atau pingsan, aku duduk
terpaku menatap makhluk yang entah Tuhan atau hantu itu. Namun, jika itu hantu
tidak mungkin sinarnya menghangatkan kulitku yang mulai biru karena kedinginan.
Tapi sepertinya itu juga bukan Tuhan karena… entahlah. Jadi aku tetapkan untuk
memanggilnya malaikat.
Lalu dengan kilat malaikat itu membawaku ke suatu tempat
yang tidak kutahu pasti di mana. “Di mana ini?”
Malaikat itu menunjukkanku situasi yang tidak dapat
dilihat orang lain. Malaikat itu menyilakanku untuk memasuki beberapa aspek
kehidupan… Jean? Itukah Jean? Dia membawaku ke tempat Jean melakukan sesuatu
yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Bahkan CCTV pun masih kalah dengan
pengelihatanku yang sanggup menilik seluruh aktivitas kehidupannya. Melihat
semua itu, membuatku merasakan suatu keanehan di dadaku. Sakit, perih, dan
menyesal. Apalagi setelah malaikat itu membawaku pada kronologis kematian Jean.
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah
tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya.
Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba
mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang
bisa dikenakan. Aku tahu, pasti ingin rasanya ia menangis saat itu. Tapi
baginya takberguna jika keadaannya seperti ini. Kalau aku berada dalam
posisinya saat itu, mungkin aku hanya akan menangis dan tidak dapat melakukan
apa-apa. Namun, tidak dengan Jean. Aku melihat dengan jelas pada saat itu Jean
belum mati, walaupun keadaannya sungguh tragis. Waktu kembali berputar ke
belakang dan saat itu adalah malam yang panjang, ketika kejadian bejat itu
terjadi. Sepulang sekolah, Jean rupanya tidak langsung kembali ke rumah. Tentu
saja, siapa juga yang betah tinggal di rumah dengan ayah yang setiap hari selalu
memukulinya. Sedangkan, ibunya pergi selingkuh dengan laki-laki lain entah di
mana. Kehidupannya bukan lagi seperti manusia normal. Jika punya pilihan, Jean pasti
tidak akan mau dilahirkan ke dunia ini.
Jean adalah anak tunggal yang orang tuanya berpisah
sekitar sembilan tahun yang lalu. Ia baru berumur tujuh tahun ketika kejadian
itu menimpanya. Hal ini bukan suatu yang biasa baginya. Bahkan setelah sepuluh
tahun sesudahnya pun, kejadian itu bagaikan neraka yang tiada habis di
hidupnya. Ia tinggal dengan ayahnya. Lalu ke mana ibunya? Ibunya? Bahkan Jean
pun benci memikirkannya. Penyebab perpisahan kedua orang tuanya adalah ibu.
Kejadian itu dimulai ketika hamil anak kedua. Ayah
Jean sempat ragu akan kehamilan istrinya yang kedua karena merasa tidak pernah
melakukan lagi setelah bertahun-tahun. Sudah dapat ditebak, bukan? Ibu Jean
selingkuh dengan laki-laki lain dan hamil. Jean kecil tidak begitu mengerti
dengan peristiwa ini. Namun dengan berjalannya waktu, Jean yang beranjak dewasa
pun mengetahuinya. Pantas saja, ibunya lebih sayang dan perhatian kepada adik
yang baru ia tahu adalah adik tirinya. Ia sudah habis akal untuk membenci
ibunya. Mau tidak mau, ibu tetaplah ibu. Namun, bukan berarti ibunya adalah
penyebab semua kebobrokan hidupnya. Ayah Jean adalah ayah yang hebat dalam
karir. Namun, tidak lama. Karirnya pun hancur bersamaan dengan gagalnya ia
membangun rumah tangga yang harmonis. Perilakunya menjadi tidak terkontrol.
Dahulu, ia adalah ayah yang sabar, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi itu
dulu.
“Jean!
Jeaaaan!!!” teriak ayah Jean dari lantai dasar.
Jean yang sedang belajar di lantai dua segera
berlari menghampiri ayahnya.
“Lama amat! Ambilkan baju batik biru di atas.
Cepat!”
Jean yang bolak-balik turun naik tidak peduli betapa
lelahnya ia. Ia hanya berpikir untuk mengambilkan baju ayahnya. Sesudah itu, Jean
segera menyodorkan baju yang diminta ayahnya.
“Bego kamu! Bukan ini!” maki ayahnya yang selagi mau
memasang ikat pinggang.
Aku melihatnya. Jean dipukuli hingga babak belur. Ayahnya
tidak memukul dengan tangan, melainkan dengan sabuk celana. Ia terkena pukulan
mulai dari wajah sampai ke kaki. Bahkan wajahnya hampir tak kukenali lagi. Jean
berteriak minta ampun, tapi tak digubris ayahnya. Salah apa dia? Hanya karena
salah mengambilkan baju, dia menjadi seperti ini. Jean yang menangis
meraung-raung tetap tidak mendapat empati dari ayahnya. Perilaku ayahnya yang
kejam ini dimulai ketika ia mulai beranjak menapaki SMA. Sudah lama sejak
perpisahan itu terjadi, ayahnya tidak bekerja lagi. Dan mereka hidup dengan
warisan yang dimiliki kakek dan nenek. Namun, warisan pun bukan surga kekal
yang tidak dapat habis. Uang pun semakin menipis karena banyak kebutuhan Jean
akan sekolahnya. Ketika Jean mulai memasuki SMA, uang warisan pun sekarat. Oleh
sebab itu, ayahnya selalu memarahi Jean karena dengan mudah mengahabiskan uang,
tidak mencoba menghemat. Padahal Jean sudah berusaha menghemat sebisanya. Ayahnya
lah yang menghabiskan uang dengan tidak bekerja, malah membeli minuman keras
dan rokok. Bahkan Jean tidak pernah lagi meminta uang sekolah semenjak SMA karena
sudah mendapat beasiswa. Sikap ayahnya memang berubah setelah perpisahan, namun
berubah lebih drastis sejak kehabisan uang. Aku sadar bahwa baru saja aku
mengambil satu-satunya hal yang menguatkannya untuk melanjutkan sekolah.
Setelah kejadian pemukulan itu, reaksinya berubah
biasa saja. Sepertinya dia sudah terbiasa. Seketika di depan cermin ia kembali
menangis. Dia memang menangis, tapi setelah itu dia pun kembali memperbaiki
wajahnya. Seketika pula ia tidak bergeming. Dia hanya diam tidak melakukan
apa-apa. Kemudian dia berniat mengobati bagian tubuhnya yang terluka, namun
diurungkan niatnya itu. Bagian tubuhnya tidak perlu ia pedulikan lebih jauh
sekarang karena masih bisa ditutupi oleh seragam sekolah. Jean langsung
membalut wajahnya dengan kain berisi obat. Tapi itu tetap tidak dapat menutupi
luka memar pada wajahnya. Aku penasaran apa yang akan Jean lakukan ketika
keesokan harinya ia harus ke sekolah dengan tampang yang tak mungkin seperti
itu. Rupanya, ia menutupi wajahnya dengan make
up yang tebal. Walau tidak sepenuhnya bekas memar Jean tertutup, namun pada
akhirnya alat rias itu membantu juga. Dari keadaan yang sekarang sulit untuk
membedakan lebih bahagia dengan siapa jika ditanyakan, ibu atau ayah.
Ternyata kisah hidupnya tidak hanya tragis di rumah.
Aku pikir dia adalah orang yang paling beruntung memiliki kecantikan, kekayaan,
dan ketenaran di sekolah. Namun, aku salah. Aku tidak tahu apa-apa. Di sekolah
pun seluruh teman-temannya berhati munafik. Mereka hanya memanfaatkan kekayaan
jean. Aku juga baru tahu kalau Ryan hanya menyukai kecantikan Jean. Ryan tidak
mencintai Jean. Itu alasan mengapa Jean sepertinya menjauhi Ryan. Walaupun
mereka adalah sepasang kekasih, tapi itu hanya status agar Jean lebih diakui. Dia
melakukan itu setidaknya untuk melupakan kisah pahit yang dimilikinya di rumah.
Aku terkejut ketika Jean menatap iri ke arahku dan teman-temanku. Selama ini ia
hanya ingin mendapatkan teman seperti teman-temanku. Teman yang selalu membela
dan membantu setiap masalahnya. Ia iri padaku. Ia sering mengisengi kami karena
ia benci melihat keakraban kami. Aku tidak pernah menyangka bahwa Jean memerhatikan
kami seperti itu. Ketika Jean melihat ke arah kami, entah mengapa aku bisa
membaca matanya. Matanya memancarkan kepedihan atas keinginan yang tidak
mungkin ia wujudkan.
Kembali pada kisah awal mula terjadi kematian Jean. Malam
itu Jean tidak langsung pulang. Pikirannya sedang kacau balau. Salah satunya
adalah karena beasiswa. Ia tahu kalau ia pulang sekarang keadaan di rumah
justru memperkeruh hatinya. Ia juga tahu kalau ia tidak pulang sekarang, maka
ayahnya akan marah besar. Tapi ia tidak peduli. Ia sudah siap dimarahi dan
dipukuli. Tapi tidak sekarang. Ia ingin menyegarkan pikirannya dahulu dengan
kesenangan bersama Iin, teman perempuan terdekatnya saat itu. Akhirnya, ia bermain
bersama Iin untuk menenangkan diri dan baru pulang agak larut. Di dalam
perjalanan, Jean bertemu dengan enam orang laki-laki yang akan membawanya ke
tempat sepi nanti. Namun, tidak pernah ia sadari bahwa hal itu akan terjadi.
Tentu saja karena salah satu dari antara enam orang itu adalah Ryan. Aku saja
yang melihat langsung dengan mataku ini masih tidak percaya akan apa yang
terjadi, bagaimana dengan Jean yang adalah pacarnya sendiri. Aku sangat
terkejut melihat strategi kebejatan Ryan terhadap Jean. Rupanya Ryan sudah tahu
kalau Jean akan melewati jalan itu. Ryan menawarkan Jean untuk mengantar
pulang. Dan tentu saja pertemuan mereka itu seakan tidak disengaja.
“Jean, kamu dari mana? Sudah malam begini kok kamu
belum pulang? Aku sms nggak dibalas,” tanya ryan sok perhatian.
“Lowbat,” jawab Jean singkat. Jean melirik lima
orang di sekitar Ryan. Tidak ada satu pun yang ia kenal, selain Ryan.
Ryan yang sadar langsung memperkenalkan
teman-temanya. “Kenalin, ini semua teman-teman aku.”
Jean menyambutnya dengan agak lelah. Pikirannya saat
itu hanyalah tidur di atas kasurnya yang empuk. Tidur, tidur, dan tidak ingin
ada orang yang membangunkannya. Dan keinginannya akan terkabul sebentar lagi.
Dia tidak akan dapat dibangunkan oleh siapa pun.
“Kamu pulang bareng kita saja. Aku antar sampai
rumah. Oh iya sayang. Kita lewat sini, ya. Soalnya mobilku ada di belakang
taman sana,” pinta Ryan licik. Hal itu tidak diketahui Jean. Jean yang sudah
letih, hanya mengiyakan dan mengikuti mereka ke taman yang sepi.
Di sana Ryan dan kelima temannya memulai aksi
mereka. Aku berteriak untuk menghentikan Jean, namun takberhasil. Salah satu
teman Ryan membungkam mulut Jean dengan sapu tangan berisi obat penenang
sehingga membuat Jean lemas. Jean yang tidak sempat meronta dan berteriak
membuat keringatku mengucur saking tegangnya. Salah seorang lagi membuka
pakaian Jean dan membuangnya ke tempat sampah yang agak jauh dari situ. Aku
mencoba mengambil sesuatu, tapi tidak ada yang bisa aku pegang. Semuanya
tembus. Dua orang lagi mulai meraba-raba tubuh Jean yang hanya bisa meronta
sedikit dan tidak dapat melakukan apa pun. Mataku berkaca-kaca. Sungguh tega
Ryan sampai melakukan kekejian itu.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku mencari malaikat itu.
“Hei, kita harus menolongnya. Hei! Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku
terisak kepada malaikat itu yang sedari tadi tidak jauh di belakangku. Anehnya,
dari tadi malaikat itu hanya diam. Aku menjadi semakin panik. Namun aku dapat
merasakan kesedihan terpancar dari malaikat itu, walaupun aku tidak dapat
melihat raut wajahnya. Para pria bejat itu secara bergantian menodai Jean
dengan wajah tanpa dosa. Aku yang bukan Jean saja ingin mati rasanya melihat
ini, apalagi Jean. Malam itu adalah malam yang panjang bagi Jean dengan segala
keterpurukkannya. “Ah, sial!” makiku dalam hati. Malaikat itu masih saja diam
dan tidak melakukan apa-apa.
“Kenapa kamu diam saja? Beri tahu aku bagaimana aku
bisa menolongnya, aku mohon!” Aku bermandikan keringat dan air mata memohon
pada malaikat itu. Namun, malaikat itu tidak berkata satu patah kata pun sampai
menjelang pagi.
Jean berusaha melihat semua di sekelilingnya.
Sekilas dia melihat beberapa kertas koran beterbangan di jalan aspal itu. Tidak
ada yang ia pikirkankan selain mengambil koran-koran itu dan menutupi dirinya
yang sebenarnya sudah tidak guna untuk ditutupi itu. Jalanan aspal itu
tergolong jalanan sepi karena bukan jalan yang biasa mobil atau motor melintas.
Jalan itu memang biasanya hanya dilewati oleh mobil-mobil besar, seperti truk
pengangkut barang. Saat itu memang sama sekali tidak ada truk yang melintas. Tapi
sedetik kemudian dari arah belokan di sebelah kanan, muncul truk besar yang melintas
dengan kecepatan maksimal. Tapi aku rasa Jean tidak mengetahuinya. Dia berusaha
merangkak. Ia tetap mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal. Aku
spontan melotot dan berteriak.
“Jean! Awas, Jean! Jangan ke sana, Jean! Jean!!!”
Mendadak aku diliputi kepanikan. Tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Aku
mencoba memanggil-manggil Jean tapi tidak berhasil. Tentu saja, karena saat ini
Jean tidak bisa melihatku. Aku mencucurkan air mata ketika Jean hampir meraih
kertas koran dan… BAM!
Aku benar-benar syok. Kengerian itu tidak dapat aku
hapuskan dipikiranku saat itu. Mataku takdapat berkedip satu kali pun melihat
insiden tabrak lari itu. Tabrak lari? Iya, tarbrak lari. Sudah tidak perlu aku
beritahu siapa pelakunya. Aku menangis dalam hati. Menangis tidak berhenti
sambil memanggil nama Jean.
Bayangan kecelakaan itu semakin menjauh dari
hadapanku. Tidak. Tidak!!! Aku tidak mau meninggalkan Jean dalam keadaan
seperti itu! Aku berlari menghampiri Jean, tapi semakin aku berlari, semakin
bayangan itu jauh. Aku sadar, selama ini aku merasa paling tahu segalanya. Aku
merasa bisa menghakimi orang lain. Namun, sekarang aku tahu semua itu salah.
Dulu… Aku berlari seolah akulah orang yang paling
benar. Aku menangis seakan akulah orang yang paling menderita. Aku hanya
makhluk egois yang tidak pantas memiliki hak apa pun. Kali ini, bukan aku.
Bukan aku! Bukan aku yang menjadi tokoh utama. Bukan juga menjadi antagonisnya.
Bukan juga figuran. Bukan. Bukan apa-apa.
Malaikat itu membawaku kembali ke tempat awal kita
bertemu, kamarku.
Aku pun memohon kepada malaikat itu. “Berikan aku
satu kesempatan untuk menebus itu semua. Maaf, maafkan aku! Huuhuu…” kataku
dengan bercucuran air mata. Berapa kali pun aku meminta, malaikat itu tetap
tidak bersuara menjawabku.
“Mengapa? Mengapa aku harus mengetahui semua ini
kalau tidak ada yang dapat aku lakukan? Apa ini hukuman untukku karena telah
membuat Jean menderita? Jawab aku! Aku mohon!” Konstelasi tadi memecahkan
kantung air mataku. Aku tidak peduli, aku terus memohon dan minta ampun. Aku
ingin melakukan sesuatu terhadap hidup jean. Aku benar-benar ingin membuat Jean
nyaman di sekolah. Satu pintaku, membuat Jean bahagia walau hanya sedikit atau
sebentar. Setidaknya kalau itu tidak bisa, aku cuma ingin melihat Jean sekali
lagi dan meminta maaf kepadanya. Andaikan aku mengetahui kebenaran ini dari
awal, aku pastikan tidak mengambil beasiswa yang seharusnya Jean dapatkan. Jika
aku tahu semuanya, aku pastikan tidak membela Ryan dalam keadaan apa pun juga. Andaikan
ada kesempatan lagi, aku pastikan Jean tidak sendirian. Aku akan memastikan
bahwa Jean akan baik-baik saja. Andaikan saja, andaikan…
Aku menangis sejadi-jadinya karena kutahu semua
telah usai. Aku jadi mengetahui alasan mengapa kita tidak punya hak untuk
menghakimi kesalahan orang. Hal itu karena kita tidak tahu apa-apa mengenai
hati seseorang. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi setiap orang karena hanya
dia yang mengetahui hati setiap kita. Seperti halnya aku yang menyesal ketika
mengetahui segalanya tentang Jean. Ternyata Jean tidak seburuk yang aku kira.
Dan semua ini sudah terlambat.
Malaikat itu makin menjauh sehingga tempat yang tadi
terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak dapat
melihat apa-apa lagi. Tapi sebelum cahayanya semakin pudar, aku melihat wajah
yang sepanjang tadi takdapat kulihat. Tidak mungkin! Wajahnya mirip… aku.
***
Hari itu, aku harus bangun pagi dan langsung
mempersiapkan diri untuk mengerjakan try
out di sekolah. Aku merasa pusing karena mimpiku semalam. Namun, aku sama
sekali tidak dapat mengingat mimpiku. Kita mungkin pernah mendapatkan mimpi
menyenangkan atau menyedihkan yang seharusnya diingat di pagi hari, tapi kita
melupakannya. Dan itu membuat kita jengkel. Aku berusaha mengingatnya karena
kupikir itu sesuatu yang penting. Bukankah ini menyebalkan.
“Agatha!” panggil Ryan berbisik. Aku masih
memikirkan mimpiku yang masih tidak bisa kuingat.
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…”
Ryan rupanya bertanya soal try out yang ia tidak
bisa. Ia menjentikkan dua jarinya kemudian tiga jarinya. Itu seperti kode
menyontek tanpa ketahuan. Aku malas menjawab. Lagipula aku bahkan belum membaca
nomor yang ia tanyakan tersebut. Kemudian aku menghadap ke depan kembali. Mimpi
apa, ya?
“Sssssttt!!!” seru Ryan tidak mau menyerah.
Ryan benar-benar menganggu. Aku memutar bola mataku
ke atas dan kembali menengok ke belakang. Tangan laki-laki itu membentuk sebuah
kode seperti tadi di tangannya sambil memainkan mulutnya. Aku masih berusaha
mengingat kejadian apa dalam mimpiku sehingga aku tidak sadar telah berbicara
lumayan keras menanggapi ulah Ryan.
“Dua tiga?”
tanyaku polos dengan suara yang cukup keras. Keras? Aduh, bodohnya aku! Sebenarnya
biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya bukan di pasar atau
tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
“Apanya yang
dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. Anehnya, aku merasa pernah mendapatkan
kejadian serupa. Ini seperti dejavu. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.” Mendadak aku
menjadi sangat gugup. Aku gugup karena aku mulai mengingat serpihan-serpihan mimpiku.
…
Tidak! Tidak mungkin ini terjadi! Kalau ini terjadi
berarti Jean…
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!”
Dalam hidup ini, kita dituntut untuk melakukan yang
terbaik sebelum semuanya terlambat. Jika kita gagal, maka yang ada hanya
penyesalan. Sebenarnya hal ini sederhana. Kesempatan itu selalu ada. Namun jika
kesempatan itu datang lagi kepadamu, apakah kamu sanggup mengubahnya?