WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Sabtu, 03 November 2012

Surat untukmu

Selasa, 13 Februari 2012
Setiap senin kudapat surat itu. Surat darimu, Jati. Di malam selasa bersama surat-suratmu. Sungguh unik dan lucu menurutku.
Setiap kirimanmu, aku terima. Setiap suratmu, aku baca. Aku sadar bahwa kaulah satu-satunya orang yang aku tunggu. Lucunya setiap kau bertemu denganku, tak pernah sedikit pun kau ucapkan kata-kata romantis itu. Kau berbeda dari setiap surat-suratmu. Aku hampir tak yakin setiap surat ini darimu. Awalnya, aku berspekulasi sendiri akan hal ini. Namun, pernyataanmu waktu itu mengejutkanku.
"Itu benar aku," bisikmu mendadak ditelinga sebelah kananku yang membuat urat-uratku mencuat.
Jati, andai kau tahu apa reaksi hatiku saat kau mengatakan itu. Pernyataanmu itu terdengar sahih. Aku hampir tidak dapat berpikir logis. Jantungku bergolak bak terkena eksplosi dan... ah, jangan sampai kau tahu lah. :p
Jati... besok hari kasih sayang. Sebelumnya, selalu kau yang mengirimkan surat-suratmu. Aku hanya pernah membalas satu kali dalam lagu. Sekarang aku juga ingin mengutarakan isi hatiku sekalian membalas surat-suratmu. Namun, hanya satu surat. Surat kedua ini. Surat yang menyiratkan maksud hati ini padamu. Tentu saja bagian tulisanku yang ini tak akan ku kirimkan padamu. Haha...
Aku hanya akan mengirimkan bagian di bawah ini.

Untuk Jati,
Kau membuka jendela cinta
Membalut rasa salurkan cerita
Memberi hangat tanpa kata
Teduh walau taknyata

Sudah segitu saja. Aku malu. Semoga kau mengerti. Hehe...

dari pacarmu, eh salah, sahabat, hmm.. bukan juga.
your valentine, (boleh kan "pe-de" sedikit)
Rana

Kata Hati

Pengumuman dari bibirnya langsung membuatkau kaku. Bagaimana bisa dia secepat itu dengan Argi. Aku lengah. Ya, Tuhan. Ini tidak mungkin terjadi.
"Keyla, pj donk berarti!" celetuk Ringgi, perempuan jangkung di sebelahnya.
"Iya, pokoknya kita nggak mau tau. Lo harus traktir kita ya." seru teman-temannya yang lain.
Aku terkulai lemas. Keylaku...


Malam sunyi dua minggu lalu.
"Aku sekarang dekat dengan Argi."
"Aku tahu."
Keyla menghela napas. "Kau..."
"Bagaimana kalau kita makan?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Kau selalu mengalihkan hal ini. Aku bosan." Tak kuat Keyla menahan air yang menggenang di pelupuk matanya. Aku sadar hal ini sangat muskil untuk diteruskan. Hubungan ini seharusnya mencapai kepastian. Tapi ada apa dengan mulut ini. Aku tak sanggup mengatakannya. Aku memang tahu dia benci dengan keadaan ini. Sama halnya denganku. Tapi aku butuh waktu. Waktu untuk membuat segalanya pasti.
"Maaf," tiba-tiba terucap kata itu.
Keyla yang terisak menatapku tak percaya. "Menurutmu, aku membutuhkan kata itu?" Dia menggeleng-geleng sembari meredakan tangisnya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
Sekilas Keyla menatapku tajam. "Sudahlah Keenan aku letih. Aku masuk duluan." Keyla membalikkan badannya menuju pintu rumahnya. Pada saat itu adalah saat terakhir dia menatapku.

Detik di mana jiwaku mati. Hari di mana tubuhku tenggelam dalam lumpur kekalahan. Atau keterlambatan? Tapi tidak mungkin di hari aku hendak mengutarakannya. Mengapa terjadi justru ketika aku hendak menyatakan perasaanku? Aku tidak mengerti. Oh, Tuhan ini jelas salahku.
Namun, entah kerasukan apa, aku menghampiri Keyla. Kusodorkan tangan kananku padanya. "Selamat, ya."
Dia menoleh padaku. Wajah riangnya seketika berubah. Tapi aku tidak dapat membaca raut apa yang sedang ia tampilkan padaku.
"Terima kasih," katanya tanpa membalas uluran tanganku. Tanpa senyum. Dia membalikkan badan seperti dua minggu lalu. Dan aku kaku seperti dua minggu lalu tidak dapat berbuat apa-apa. Oh, tidak! Kali ini aku harus...
"Keyla!" ujarku memanggilnya.
Dia berhenti. Tapi, tidak menoleh. Aku diam. Keyla kembali melangkah membelakangiku. Bodoh!
"Maaf, tapi aku akan menunggu. Menunggumu..."
Semoga angin mengirimkan suara hatiku itu. Semoga tidak lagi terlambat. Semoga...

Sabtu, 27 Oktober 2012

Tidak Tanpamu


Dear Jati,
This is song for you
Listen in your heart than you’ll get the bit… the bit of love…

Bintang-bintang menebar pesona kini
Menghiasi malam membelai sang hati
Dapatkah kau menjelaskan semua ini
Yang takdapat kuungkapkan dengan pasti

Angin berbisiik lembut di rerumputan
Berhembus ke awan seakan berpesta
Kau datang tiba-tiba memb'ri harapan
Pada mimpi yang kukira tak'kan nyata

Lagu ini untukmu…
Agar kau tahu bahwa aku membutuhkanmu, sangat membutuhkanmu.
Aku tidak peduli apa pun.
Hanya… ingin kau di sini.

Reff:
Takdapat bernyanyi tanpamu
Takdapat menari tanpamu
Kau beri setitik cahaya dan membuat aku percaya
Tak’kan ada dunia mimpiku
Tak’kan ada lagu indahmu
Yang s’lalu kau serukan untukku
Hingga aku tidak tanpamu

Belum pernah ada selain kau
Kau yang menyajikan sinar itu sehingga aku percaya
Hingga aku tidak tanpamu

Miss you,
-Rana-

Cinta yang Bertahan


Kau hancurkan aku dengan bibir itu, kau tampar aku dengan kata-kata. Tidak bisakah kau sedikit diam dan dengarkan aku—aku yang giat memperbaiki kehancuran yang kaubuat, aku yang berusaha menghapus nodamu. Tidak bisakah kau diam dan tidak menertawakanku. Aku di sini berjuang melawan hujan, menantang kelam, berharap pada terang. Tidak cukupkah kau menenggelamkan senyumku. Sekarang kau tenggelamkan kisah kasih. Tidak cukupkah kau menelanjangi hati yang keruh. Sekarang kau telanjangi kisah kasih. Kisah yang tidak menunggu aku.

Namun, bodohkah aku? Masih memberi maaf padamu. Tak sekali pun urung niatku untuk membalasmu. Apa karena takut atau tak mampu. Aku pun tak tahu.
Sebenarnya ingin aku membalasmu sekali saja. Bahkan untuk sekali saja aku tidak bisa. Aku juga hampir tidak dapat membedakan diri ini hancur atau bertahan. Namun, ini yang jelas. Bukan aku yang bertahan, tapi cinta. Cinta yang membuatku bertahan.
Aku di sini masih menunggu dengan percaya. Menunggumu sadar akan cintaku.

Senin, 22 Oktober 2012

Lara Awan Mendung

Kau hancurkan aku dengan bibir itu
Kau tampar aku dengan kata-kata
Tidak bisakah kau sedikit diam dan dengarkan
Aku yang giat memperbaiki kehancuran yang kaubuat
Aku yang berusaha menghapus nodamu
Tidak bisakah kau diam dan tidak menertawakanku
Aku di sini berjuang melawan hujan
Menantang kelam berharap pada terang
Tidak cukupkah kau menenggelamkan senyumku
Sekarang kau tenggelamkan kisah kasih
Tidak cukupkah kau menelanjangi hati yang keruh
Sekarang kau telanjangi kisah kasih
Kisah yang tidak menunggu aku
Dan aku di sini masih menunggu
Menunggu, melihatmu…lebur

Jean

Malaikat itu makin menjauh sehingga kamarku yang tadi terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak dapat melihat apa-apa lagi.
***
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya. Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang bisa dikenakan. Ingin rasanya menangis, tapi takberguna jika keadaannya seperti ini. Sekilas dia melihat beberapa helai kertas koran beterbangan di jalan aspal itu. Tidak ada yang ia pikirkan selain mengambil koran-koran untuk menutupi dirinya yang sebenarnya sudah tidak berguna ditutupi itu. Kemudian dia merangkak mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal dan… BAM!
***
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…” Kemudian menghadap ke depan kembali.
“Sssssttt!!!”
Aku memutar bola mataku ke atas dan kembali menengok ke belakang.
Tangan laki-laki itu membentuk sebuah kode sambil memainkan mulutnya.
“Dua tiga?” tanyaku polos dengan suara yang cukup keras. Keras? Sebenarnya biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya bukan di pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
“Apanya yang dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.” Mendadak aku menjadi gugup.
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!” celetuk Jean. Raut wajah anak-anak lain berubah seketika mendengar paparan dari Jean. Ada yang menahan tawa. Ada yang jutek. Ada yang tidak ambil peduli. Ada yang mengutuki, dan sial, itu pasti Jean! Ada juga yang memelas, kalau ini pasti Ryan, laki-laki yang bertanya padaku tadi.
Wanita berbaya yang masih saja cantik itu meninggalkan kursi eksklusifnya dan menghampiriku. Setelah sampai tepat di sebelahku, ia berkata, “Kamu ikut dengan ibu. Sekarang!”
Aku hanya bisa nyengir kuda dan segera mengikuti wanita yang biasa dipanggil Ibu Mona. Dalam cengiranku, terselip rasa kebencian yang mendalam saat itu. Dua puluh persen untuk Ryan dan delapan puluh persen untuk perempuan tengik itu (jangan bertanya mengapa persen untuk Jean lebih banyak). Yah, dia biasa kupanggil perempuan tengik. Oh, satu lagi. Biasanya malahan teman-temanku yang lain memanggilnya pelacur tengik. Masih mending sebutan dariku, kan?

“Oh, tidak! Itu sama saja, masih ada tengik-tengiknya juga,” protes Helen yang paling tidak suka perbedaan jika memberi sebutan untuk Jean. Menurutnya kata “perempuan” panggilanku, sama saja dengan kata pelacur.
“Ya, apa pun lah. Yang penting pelacur, eh itu cewek…” balas Dian yang biasa dengan kata-kata “apa pun lah”.
“Perempuan,” potong Rainy yang memang sudah biasa membenarkan gaya bicara kami.
“Iya, apa pun lah itu namanya.” Dian masih tidak mau kalah. “Kalau yang menyandang dia, gelarnya pasti buruk. Kalau perempuan jadi perempuan…” membuka telapak tangan kirinya ke arahku, bermaksud menyilakanku untuk melanjutkan kalimatnya.
“Tengik.”
“Kalau pelacur, jadi pelacur…” sekarang giliran tangan kanannya yang diarahkannya.
Renata agak terkejut karena tangan Dian mengarah padanya. “Eh…“ Namun, tanpa pikir panjang dia berseru, ”tengik!”
Dengan santai, Dian tetap melanjutkan perkataannya. “Dan kalau jadi cewek, cewek apa ya yang agak jelek banyakan gitu,”
“Mana ada agak jelek banyakan. Bagusan dikit, jelekan dikit, atau agak jelek gitu,” koreksi Rainy lagi.
Dian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah terhadap teman sebelah kanannya yang terus protes itu. “Apa pun lah.”
“Jadi-jadian.” Tamara yang sedari tadi hanya diam dan mengantuk, angkat bicara.
Dian melotot dengan membuka mulutnya lebar-lebar dan menganggukkan kepalanya seakan memberika sinyal kepada kita. “Cewek jadi-jadian.”

Ibu Mona membawaku ke ruang panitia, dengan kata lain ruang guru.
Aku tersandung pada lantai yang agak menjorok ke atas. “Eh cewek jadi-jadian! Jadi-jadian,” latahku spontan.
Ibu Mona terkejut mendengar ujaranku. “Apa!?!” katanya sambil melotot.
Aku segera mengoreksi perkataanku barusan. “Bukan ibu!” Karena memikirkan kejadian waktu itu, aku jadi kena sial. Tapi ini bukan satu-satunya hari kesialanku. Sebelumnya malah lebih parah dari ini.
Karena dia, aku hampir dijauhi teman sekelas. Hanya karena aku pernah salah memakai seragam. Jean langsung berkata pada teman-temannya, “Eh, ada anak baru…”
“Kok anak baru?” tanya salah satu teman Jean.
Jean mengangkat alisnya. “Iya, anak baru. Anak baru malu! Habis salah kostum.” Semua yang berada di ruangan kelas itu tertawa.
Mukaku merah padam. Aku malu. Bukan. Aku MEMALUKAN!
“Kok diam? Salah masuk, Mbak. Coba mbak cari kelas yang kostumnya sama saja.”
Bukan suara tawa orang-orang yang merusak hatiku, tapi ucapan-ucapan Jean. Pernah juga aku dan teman-temanku mengikuti lomba lari. Tiba-tiba, Helen tergelincir di tengah jalan.
Bukannya ditolong, Jean justru tertawa dan mengejek Helen. “Hahaha… Dasar, tolol! Lari saja nggak lulus,”
Memang bukan kejadian yang sama. Bukan masalah yang sama. Bukan juga tempat dan jam yang sama, tapi satu hal yang sama… Jean. Setiap ada dia, suasana berubah buncah.

Sesudah try out, kami diberikan kesempatan istirahat setengah jam untuk mempersiapkan try out selanjutnya. Dian, Helen, Rainy, Renata, Tamara, dan aku duduk di kantin sambil bercengkrama mengenai ujian tadi dan belajar ujian selanjutnya.
“Eh! Ada geng aneh,” seru Jean tiba-tiba yang sudah berdiri di samping meja kami dengan angkuhnya.
Kami yang tadinya bercanda girang berubah hening sekejap. Tapi tidak ada satu dari kami yang membalas ucapannya.
“Oh iya, tadi siapa ya yang mau nyoba nyontek ke cowok gue? Gue tahu! Orang itu pasti yang masih punya perasaan ke cowok gue,” tukas Jean memulai lagi.
Wajahku panas. Napasku tidak karuan. Aku benar-benar marah dan ingin sekali menonjoknya sekarang juga. Aku tahu dia melihat kejadian yang Ryan lakukan tadi. Tapi beraninya ia memutarbalikkan fakta. Aku memang pernah suka dengan Ryan karena satu-satunya alasanku adalah dia keren dan cukup terkenal di sekolah. Hanya itu. Tapi ternyata dia brengsek karena baru-baru ini aku tahu dia berpacaran dengan Jena setelah beberapa bulan lalu mendekatiku. Tapi mungkin kalau disuruh memilih antara Ryan dan Jean, pasti aku akan jawab dengan pasti, Ryan! Jangan tanya kenapa.
Dian benci melihatku yang hanya bisa diam tanpa melakukan pembalasan. Ia berdiri sembari berkata, “Heh, cowok loe tuh yang nyontek ke teman gue. Adanya juga suruh tuh cowok loe nyadar! Sudah punya cewek malah tanya sama cewek lain. Kalau gue jadi loe, sih, ih!” ejek Dian tiada ampun.
“Idih, aneh deh loe! Kalaupun memang Ryan beneran tanya, dia juga nggak mungkin tanya gue karena dia tahu gue nggak gampang dibego-begoin.”
“Ih, nggak gampang dibego-begoin?! Hello…” cibir Helen.
“Yang namanya lagi try out, bodoh banget orang yang masih nengok kalau dipanggil. Sudah tahu sekolah kita ketat peraturannya. Nah, si Ryan itu nyari orang yang gampang dibego-begoin.” Jean mengangkat alisnya sembari melirikku. “Kayak teman loe itu.”
Dian menghela napas. “Gue bingung kenapa Ryan suka cewek macam loe, cih!”
“Gue juga bingung kenapa Agatha masih suka sama cowok yang sudah jadi milik orang lain,” cela Jean tidak mau kalah.
Sudah habis kesabaranku untuknya. “Beasiswa loe akan gue ambil.” Tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku. Sebelum ini memang ada pemberian beasiswa kepada siswa yang pintar dan kurang mampu. Beasiswa itu hanya diperuntukkan kepada lima siswa. Dan sudah terisi empat siswa lain. Aku dan Jean adalah kandidat pada beasiswa terakhir. Namun, sekolah tidak bisa memberikan beasiswa kepada kedua dari kami karena beasiswanya pun terbatas. Dari awal, Jean adalah siswa yang selalu mendapatkan beasiswa. Dan karena pemikiran panjang yang menganggap Jean jauh lebih mampu daripada aku, maka kepala sekolah menawarkannya untukku tanpa sepengetahuan Jean. Lagipula Jean sudah banyak mendaptkan beasiswa sebelumnya, sedangkan aku belum pernah. Dan kepala sekolah akan memberitahu Jean bahwa beasiswa sudah diberikan kepada orang yang lain, jika aku menerima tawarannya.
Jean menatapku hambar tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
“Gue tahu itu beasiswa loe, tapi gue juga tahu kalau tahun ini bukan loe yang pantas dapat beasiswa itu.” Aku tersenyum penuh kemenangan.
“Oh, ya?” Rainy, temanku, salah seorang siswa yang juga mendapatkan beasiswa terkejut gembira. “Gimana bisa?”
“Iya, hebat loe! Ceita donk, Ta?!?” timpal Renata. Dian dan yang lainnya tersenyum puas.
Namun, aku masih belum puas sampai melihat perubahan pada raut wajah Jean. “Dan beasiswa terakhir ini cukup… cukup ba-nyak.”
Dan benar, raut wajah Jean berubah seketika. Entah tahu apa yang ia pikirkan, tapi aku tahu beasiswa ini penting untuk ketenarannya. Biasanya selalu dia yang mendapat beasiswa sehingga lengkap sudah kesempurnaan dia di mata orang. Cantik, kaya, dan… pintar.
“Nggak penting banget,” kata Jean akhirnya tanpa menggubris lebih lanjut dan melenggang pergi.
Dan setelah kejadian itu, kami tidak pernah menyangka bahwa saat itu adalah saat terakhir kami bertemu dengannya. Tapi, siapa juga yang peduli pada saat itu.
Keesokan harinya, kami tidak melihat Jean di sekolah. Dan tiga hari kemudian, terdengar kabar yang menggemparkan di sekolah bahwa Jean telah meninggal.

Aku yang tidak mengerti akan semua ini hanya diam. Sesosok makhluk bersinar terang yang rupanya tidak kelihatan ini berdiri di hadapanku, di kamarku. Malam itu, tanpa lampu atau cahaya lilin, mataku cukup dibuat silau oleh makhluk tersebut. Bukannya teriak atau pingsan, aku duduk terpaku menatap makhluk yang entah Tuhan atau hantu itu. Namun, jika itu hantu tidak mungkin sinarnya menghangatkan kulitku yang mulai biru karena kedinginan. Tapi sepertinya itu juga bukan Tuhan karena… entahlah. Jadi aku tetapkan untuk memanggilnya malaikat.
Lalu dengan kilat malaikat itu membawaku ke suatu tempat yang tidak kutahu pasti di mana. “Di mana ini?”
Malaikat itu menunjukkanku situasi yang tidak dapat dilihat orang lain. Malaikat itu menyilakanku untuk memasuki beberapa aspek kehidupan… Jean? Itukah Jean? Dia membawaku ke tempat Jean melakukan sesuatu yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Bahkan CCTV pun masih kalah dengan pengelihatanku yang sanggup menilik seluruh aktivitas kehidupannya. Melihat semua itu, membuatku merasakan suatu keanehan di dadaku. Sakit, perih, dan menyesal. Apalagi setelah malaikat itu membawaku pada kronologis kematian Jean.
Pagi itu, entah di mana dan bagaimana, Jean sudah tergeletak takberdaya tanpa busana dengan sedikit darah di selangkangannya. Pusing dan perih, hanya itu yang dia rasakan. Dia berusaha bangun dan mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Namun, dia tidak melihat apa pun yang bisa dikenakan. Aku tahu, pasti ingin rasanya ia menangis saat itu. Tapi baginya takberguna jika keadaannya seperti ini. Kalau aku berada dalam posisinya saat itu, mungkin aku hanya akan menangis dan tidak dapat melakukan apa-apa. Namun, tidak dengan Jean. Aku melihat dengan jelas pada saat itu Jean belum mati, walaupun keadaannya sungguh tragis. Waktu kembali berputar ke belakang dan saat itu adalah malam yang panjang, ketika kejadian bejat itu terjadi. Sepulang sekolah, Jean rupanya tidak langsung kembali ke rumah. Tentu saja, siapa juga yang betah tinggal di rumah dengan ayah yang setiap hari selalu memukulinya. Sedangkan, ibunya pergi selingkuh dengan laki-laki lain entah di mana. Kehidupannya bukan lagi seperti manusia normal. Jika punya pilihan, Jean pasti tidak akan mau dilahirkan ke dunia ini.
Jean adalah anak tunggal yang orang tuanya berpisah sekitar sembilan tahun yang lalu. Ia baru berumur tujuh tahun ketika kejadian itu menimpanya. Hal ini bukan suatu yang biasa baginya. Bahkan setelah sepuluh tahun sesudahnya pun, kejadian itu bagaikan neraka yang tiada habis di hidupnya. Ia tinggal dengan ayahnya. Lalu ke mana ibunya? Ibunya? Bahkan Jean pun benci memikirkannya. Penyebab perpisahan kedua orang tuanya adalah ibu.
Kejadian itu dimulai ketika hamil anak kedua. Ayah Jean sempat ragu akan kehamilan istrinya yang kedua karena merasa tidak pernah melakukan lagi setelah bertahun-tahun. Sudah dapat ditebak, bukan? Ibu Jean selingkuh dengan laki-laki lain dan hamil. Jean kecil tidak begitu mengerti dengan peristiwa ini. Namun dengan berjalannya waktu, Jean yang beranjak dewasa pun mengetahuinya. Pantas saja, ibunya lebih sayang dan perhatian kepada adik yang baru ia tahu adalah adik tirinya. Ia sudah habis akal untuk membenci ibunya. Mau tidak mau, ibu tetaplah ibu. Namun, bukan berarti ibunya adalah penyebab semua kebobrokan hidupnya. Ayah Jean adalah ayah yang hebat dalam karir. Namun, tidak lama. Karirnya pun hancur bersamaan dengan gagalnya ia membangun rumah tangga yang harmonis. Perilakunya menjadi tidak terkontrol. Dahulu, ia adalah ayah yang sabar, penyayang, dan bertanggung jawab. Tapi itu dulu.
 “Jean! Jeaaaan!!!” teriak ayah Jean dari lantai dasar.
Jean yang sedang belajar di lantai dua segera berlari menghampiri ayahnya.
“Lama amat! Ambilkan baju batik biru di atas. Cepat!”
Jean yang bolak-balik turun naik tidak peduli betapa lelahnya ia. Ia hanya berpikir untuk mengambilkan baju ayahnya. Sesudah itu, Jean segera menyodorkan baju yang diminta ayahnya.
“Bego kamu! Bukan ini!” maki ayahnya yang selagi mau memasang ikat pinggang.
Aku melihatnya. Jean dipukuli hingga babak belur. Ayahnya tidak memukul dengan tangan, melainkan dengan sabuk celana. Ia terkena pukulan mulai dari wajah sampai ke kaki. Bahkan wajahnya hampir tak kukenali lagi. Jean berteriak minta ampun, tapi tak digubris ayahnya. Salah apa dia? Hanya karena salah mengambilkan baju, dia menjadi seperti ini. Jean yang menangis meraung-raung tetap tidak mendapat empati dari ayahnya. Perilaku ayahnya yang kejam ini dimulai ketika ia mulai beranjak menapaki SMA. Sudah lama sejak perpisahan itu terjadi, ayahnya tidak bekerja lagi. Dan mereka hidup dengan warisan yang dimiliki kakek dan nenek. Namun, warisan pun bukan surga kekal yang tidak dapat habis. Uang pun semakin menipis karena banyak kebutuhan Jean akan sekolahnya. Ketika Jean mulai memasuki SMA, uang warisan pun sekarat. Oleh sebab itu, ayahnya selalu memarahi Jean karena dengan mudah mengahabiskan uang, tidak mencoba menghemat. Padahal Jean sudah berusaha menghemat sebisanya. Ayahnya lah yang menghabiskan uang dengan tidak bekerja, malah membeli minuman keras dan rokok. Bahkan Jean tidak pernah lagi meminta uang sekolah semenjak SMA karena sudah mendapat beasiswa. Sikap ayahnya memang berubah setelah perpisahan, namun berubah lebih drastis sejak kehabisan uang. Aku sadar bahwa baru saja aku mengambil satu-satunya hal yang menguatkannya untuk melanjutkan sekolah.
Setelah kejadian pemukulan itu, reaksinya berubah biasa saja. Sepertinya dia sudah terbiasa. Seketika di depan cermin ia kembali menangis. Dia memang menangis, tapi setelah itu dia pun kembali memperbaiki wajahnya. Seketika pula ia tidak bergeming. Dia hanya diam tidak melakukan apa-apa. Kemudian dia berniat mengobati bagian tubuhnya yang terluka, namun diurungkan niatnya itu. Bagian tubuhnya tidak perlu ia pedulikan lebih jauh sekarang karena masih bisa ditutupi oleh seragam sekolah. Jean langsung membalut wajahnya dengan kain berisi obat. Tapi itu tetap tidak dapat menutupi luka memar pada wajahnya. Aku penasaran apa yang akan Jean lakukan ketika keesokan harinya ia harus ke sekolah dengan tampang yang tak mungkin seperti itu. Rupanya, ia menutupi wajahnya dengan make up yang tebal. Walau tidak sepenuhnya bekas memar Jean tertutup, namun pada akhirnya alat rias itu membantu juga. Dari keadaan yang sekarang sulit untuk membedakan lebih bahagia dengan siapa jika ditanyakan, ibu atau ayah.
Ternyata kisah hidupnya tidak hanya tragis di rumah. Aku pikir dia adalah orang yang paling beruntung memiliki kecantikan, kekayaan, dan ketenaran di sekolah. Namun, aku salah. Aku tidak tahu apa-apa. Di sekolah pun seluruh teman-temannya berhati munafik. Mereka hanya memanfaatkan kekayaan jean. Aku juga baru tahu kalau Ryan hanya menyukai kecantikan Jean. Ryan tidak mencintai Jean. Itu alasan mengapa Jean sepertinya menjauhi Ryan. Walaupun mereka adalah sepasang kekasih, tapi itu hanya status agar Jean lebih diakui. Dia melakukan itu setidaknya untuk melupakan kisah pahit yang dimilikinya di rumah. Aku terkejut ketika Jean menatap iri ke arahku dan teman-temanku. Selama ini ia hanya ingin mendapatkan teman seperti teman-temanku. Teman yang selalu membela dan membantu setiap masalahnya. Ia iri padaku. Ia sering mengisengi kami karena ia benci melihat keakraban kami. Aku tidak pernah menyangka bahwa Jean memerhatikan kami seperti itu. Ketika Jean melihat ke arah kami, entah mengapa aku bisa membaca matanya. Matanya memancarkan kepedihan atas keinginan yang tidak mungkin ia wujudkan.
Kembali pada kisah awal mula terjadi kematian Jean. Malam itu Jean tidak langsung pulang. Pikirannya sedang kacau balau. Salah satunya adalah karena beasiswa. Ia tahu kalau ia pulang sekarang keadaan di rumah justru memperkeruh hatinya. Ia juga tahu kalau ia tidak pulang sekarang, maka ayahnya akan marah besar. Tapi ia tidak peduli. Ia sudah siap dimarahi dan dipukuli. Tapi tidak sekarang. Ia ingin menyegarkan pikirannya dahulu dengan kesenangan bersama Iin, teman perempuan terdekatnya saat itu. Akhirnya, ia bermain bersama Iin untuk menenangkan diri dan baru pulang agak larut. Di dalam perjalanan, Jean bertemu dengan enam orang laki-laki yang akan membawanya ke tempat sepi nanti. Namun, tidak pernah ia sadari bahwa hal itu akan terjadi. Tentu saja karena salah satu dari antara enam orang itu adalah Ryan. Aku saja yang melihat langsung dengan mataku ini masih tidak percaya akan apa yang terjadi, bagaimana dengan Jean yang adalah pacarnya sendiri. Aku sangat terkejut melihat strategi kebejatan Ryan terhadap Jean. Rupanya Ryan sudah tahu kalau Jean akan melewati jalan itu. Ryan menawarkan Jean untuk mengantar pulang. Dan tentu saja pertemuan mereka itu seakan tidak disengaja.
“Jean, kamu dari mana? Sudah malam begini kok kamu belum pulang? Aku sms nggak dibalas,” tanya ryan sok perhatian.
“Lowbat,” jawab Jean singkat. Jean melirik lima orang di sekitar Ryan. Tidak ada satu pun yang ia kenal, selain Ryan.
Ryan yang sadar langsung memperkenalkan teman-temanya. “Kenalin, ini semua teman-teman aku.”
Jean menyambutnya dengan agak lelah. Pikirannya saat itu hanyalah tidur di atas kasurnya yang empuk. Tidur, tidur, dan tidak ingin ada orang yang membangunkannya. Dan keinginannya akan terkabul sebentar lagi. Dia tidak akan dapat dibangunkan oleh siapa pun.
“Kamu pulang bareng kita saja. Aku antar sampai rumah. Oh iya sayang. Kita lewat sini, ya. Soalnya mobilku ada di belakang taman sana,” pinta Ryan licik. Hal itu tidak diketahui Jean. Jean yang sudah letih, hanya mengiyakan dan mengikuti mereka ke taman yang sepi.
Di sana Ryan dan kelima temannya memulai aksi mereka. Aku berteriak untuk menghentikan Jean, namun takberhasil. Salah satu teman Ryan membungkam mulut Jean dengan sapu tangan berisi obat penenang sehingga membuat Jean lemas. Jean yang tidak sempat meronta dan berteriak membuat keringatku mengucur saking tegangnya. Salah seorang lagi membuka pakaian Jean dan membuangnya ke tempat sampah yang agak jauh dari situ. Aku mencoba mengambil sesuatu, tapi tidak ada yang bisa aku pegang. Semuanya tembus. Dua orang lagi mulai meraba-raba tubuh Jean yang hanya bisa meronta sedikit dan tidak dapat melakukan apa pun. Mataku berkaca-kaca. Sungguh tega Ryan sampai melakukan kekejian itu.
Mataku mulai berkaca-kaca. Aku mencari malaikat itu. “Hei, kita harus menolongnya. Hei! Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku terisak kepada malaikat itu yang sedari tadi tidak jauh di belakangku. Anehnya, dari tadi malaikat itu hanya diam. Aku menjadi semakin panik. Namun aku dapat merasakan kesedihan terpancar dari malaikat itu, walaupun aku tidak dapat melihat raut wajahnya. Para pria bejat itu secara bergantian menodai Jean dengan wajah tanpa dosa. Aku yang bukan Jean saja ingin mati rasanya melihat ini, apalagi Jean. Malam itu adalah malam yang panjang bagi Jean dengan segala keterpurukkannya. “Ah, sial!” makiku dalam hati. Malaikat itu masih saja diam dan tidak melakukan apa-apa.
“Kenapa kamu diam saja? Beri tahu aku bagaimana aku bisa menolongnya, aku mohon!” Aku bermandikan keringat dan air mata memohon pada malaikat itu. Namun, malaikat itu tidak berkata satu patah kata pun sampai menjelang pagi.
Jean berusaha melihat semua di sekelilingnya. Sekilas dia melihat beberapa kertas koran beterbangan di jalan aspal itu. Tidak ada yang ia pikirkankan selain mengambil koran-koran itu dan menutupi dirinya yang sebenarnya sudah tidak guna untuk ditutupi itu. Jalanan aspal itu tergolong jalanan sepi karena bukan jalan yang biasa mobil atau motor melintas. Jalan itu memang biasanya hanya dilewati oleh mobil-mobil besar, seperti truk pengangkut barang. Saat itu memang sama sekali tidak ada truk yang melintas. Tapi sedetik kemudian dari arah belokan di sebelah kanan, muncul truk besar yang melintas dengan kecepatan maksimal. Tapi aku rasa Jean tidak mengetahuinya. Dia berusaha merangkak. Ia tetap mencoba mengambil koran-koran tersebut ke jalanan aspal. Aku spontan melotot dan berteriak.
“Jean! Awas, Jean! Jangan ke sana, Jean! Jean!!!” Mendadak aku diliputi kepanikan. Tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Aku mencoba memanggil-manggil Jean tapi tidak berhasil. Tentu saja, karena saat ini Jean tidak bisa melihatku. Aku mencucurkan air mata ketika Jean hampir meraih kertas koran dan… BAM!
Aku benar-benar syok. Kengerian itu tidak dapat aku hapuskan dipikiranku saat itu. Mataku takdapat berkedip satu kali pun melihat insiden tabrak lari itu. Tabrak lari? Iya, tarbrak lari. Sudah tidak perlu aku beritahu siapa pelakunya. Aku menangis dalam hati. Menangis tidak berhenti sambil memanggil nama Jean.
Bayangan kecelakaan itu semakin menjauh dari hadapanku. Tidak. Tidak!!! Aku tidak mau meninggalkan Jean dalam keadaan seperti itu! Aku berlari menghampiri Jean, tapi semakin aku berlari, semakin bayangan itu jauh. Aku sadar, selama ini aku merasa paling tahu segalanya. Aku merasa bisa menghakimi orang lain. Namun, sekarang aku tahu semua itu salah.
Dulu… Aku berlari seolah akulah orang yang paling benar. Aku menangis seakan akulah orang yang paling menderita. Aku hanya makhluk egois yang tidak pantas memiliki hak apa pun. Kali ini, bukan aku. Bukan aku! Bukan aku yang menjadi tokoh utama. Bukan juga menjadi antagonisnya. Bukan juga figuran. Bukan. Bukan apa-apa.
Malaikat itu membawaku kembali ke tempat awal kita bertemu, kamarku.
Aku pun memohon kepada malaikat itu. “Berikan aku satu kesempatan untuk menebus itu semua. Maaf, maafkan aku! Huuhuu…” kataku dengan bercucuran air mata. Berapa kali pun aku meminta, malaikat itu tetap tidak bersuara menjawabku.
“Mengapa? Mengapa aku harus mengetahui semua ini kalau tidak ada yang dapat aku lakukan? Apa ini hukuman untukku karena telah membuat Jean menderita? Jawab aku! Aku mohon!” Konstelasi tadi memecahkan kantung air mataku. Aku tidak peduli, aku terus memohon dan minta ampun. Aku ingin melakukan sesuatu terhadap hidup jean. Aku benar-benar ingin membuat Jean nyaman di sekolah. Satu pintaku, membuat Jean bahagia walau hanya sedikit atau sebentar. Setidaknya kalau itu tidak bisa, aku cuma ingin melihat Jean sekali lagi dan meminta maaf kepadanya. Andaikan aku mengetahui kebenaran ini dari awal, aku pastikan tidak mengambil beasiswa yang seharusnya Jean dapatkan. Jika aku tahu semuanya, aku pastikan tidak membela Ryan dalam keadaan apa pun juga. Andaikan ada kesempatan lagi, aku pastikan Jean tidak sendirian. Aku akan memastikan bahwa Jean akan baik-baik saja. Andaikan saja, andaikan…
Aku menangis sejadi-jadinya karena kutahu semua telah usai. Aku jadi mengetahui alasan mengapa kita tidak punya hak untuk menghakimi kesalahan orang. Hal itu karena kita tidak tahu apa-apa mengenai hati seseorang. Hanya Tuhan yang berhak menghakimi setiap orang karena hanya dia yang mengetahui hati setiap kita. Seperti halnya aku yang menyesal ketika mengetahui segalanya tentang Jean. Ternyata Jean tidak seburuk yang aku kira. Dan semua ini sudah terlambat.
Malaikat itu makin menjauh sehingga tempat yang tadi terang karena sinarnya menjadi gelap seketika. Gelap sampai mataku tidak dapat melihat apa-apa lagi. Tapi sebelum cahayanya semakin pudar, aku melihat wajah yang sepanjang tadi takdapat kulihat. Tidak mungkin! Wajahnya mirip… aku.
***
Hari itu, aku harus bangun pagi dan langsung mempersiapkan diri untuk mengerjakan try out di sekolah. Aku merasa pusing karena mimpiku semalam. Namun, aku sama sekali tidak dapat mengingat mimpiku. Kita mungkin pernah mendapatkan mimpi menyenangkan atau menyedihkan yang seharusnya diingat di pagi hari, tapi kita melupakannya. Dan itu membuat kita jengkel. Aku berusaha mengingatnya karena kupikir itu sesuatu yang penting. Bukankah ini menyebalkan.
“Agatha!” panggil Ryan berbisik. Aku masih memikirkan mimpiku yang masih tidak bisa kuingat.
“Ssstt!”
Aku menoleh ke belakang. “…”
Ryan rupanya bertanya soal try out yang ia tidak bisa. Ia menjentikkan dua jarinya kemudian tiga jarinya. Itu seperti kode menyontek tanpa ketahuan. Aku malas menjawab. Lagipula aku bahkan belum membaca nomor yang ia tanyakan tersebut. Kemudian aku menghadap ke depan kembali. Mimpi apa, ya?
“Sssssttt!!!” seru Ryan tidak mau menyerah.
Ryan benar-benar menganggu. Aku memutar bola mataku ke atas dan kembali menengok ke belakang. Tangan laki-laki itu membentuk sebuah kode seperti tadi di tangannya sambil memainkan mulutnya. Aku masih berusaha mengingat kejadian apa dalam mimpiku sehingga aku tidak sadar telah berbicara lumayan keras menanggapi ulah Ryan.
 “Dua tiga?” tanyaku polos dengan suara yang cukup keras. Keras? Aduh, bodohnya aku! Sebenarnya biasa saja, tapi ini dalam kondisi lain. Situasinya bukan di pasar atau tempat-tempat umum lainnya. Ini sedang dalam ujian!
 “Apanya yang dua tiga, Agatha?” sahut wanita cantik berbaya di kursinya yang eksklusif.
Aku spontan kaget. Anehnya, aku merasa pernah mendapatkan kejadian serupa. Ini seperti dejavu. “Ehm… Bu..bukan apa-apa, Bu.” Mendadak aku menjadi sangat gugup. Aku gugup karena aku mulai mengingat serpihan-serpihan mimpiku.
Tidak! Tidak mungkin ini terjadi! Kalau ini terjadi berarti Jean…
“Maksudnya jawaban nomor dua puluh tiga, Bu!”
Dalam hidup ini, kita dituntut untuk melakukan yang terbaik sebelum semuanya terlambat. Jika kita gagal, maka yang ada hanya penyesalan. Sebenarnya hal ini sederhana. Kesempatan itu selalu ada. Namun jika kesempatan itu datang lagi kepadamu, apakah kamu sanggup mengubahnya?

Jendela Hati

Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat orang lain. Beberapa dari pandangan mereka ada yang salah dan benar. Tapi bagaimana dapat kita menentukan kebenaran dan kesalahan itu? Bukankah dalam dunia semuanya itu abstrak? Keabstrakan itulah yang terkadang membuat manusia bimbang dan lebih memilih mengikuti arus dunia.

Di tempat yang tidak begitu ramai, seorang perempuan duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela. Dia terlihat agak risih, tetapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Dia berusaha mengalihkan kerisihannya dengan melihat sekeliling dan matanya berhenti pada satu titik. Di meja kantin sebrang, ada gerombolan mahasiswa perempuan tertawa terbahak-bahak sambil menggebrak-gebrak meja. Entah sadar atau tidak bahwa hal itu membuat hampir seluruh penghuni kantin melototi mereka. Mereka adalah Nadia, Stevy, Beira, Inri, Komal, dan Vifin. Perempuan itu melihat mereka dengan pandangan yang tidak dapat dimengerti siapa pun. Hal itu hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Baiklah, mari kita berbelok sedikit untuk mengorek kisah keenam mahasiswa perempuan itu. Mengapa? Karena perempuan yang duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela ini sedang memikirkan perihal mereka. Nadia adalah ketua dalam perkumpulan itu. Ia perempuan yang cukup terkenal. Pacarnya adalah seorang ketua tim basket di kampus. Sebelum mereka berdua berpacaran, laki-laki yang bernama Daren itu telah menjalin hubungan dengan Stevy. Sebelumnya lagi, Daren pernah mendekati Vifin namun ditolak. Sedangkan Komal berpacaran dengan Andre yang kabarnya pernah berhubungan seks dengan Beira. Diantara mereka hanya Inri yang tidak terlalu banyak beritanya, tapi pernah suatu waktu ada berita kalau dia dicampakan oleh Surya. Rupanya, Surya mendekati Inri agar bisa dekat dengan Nadia. Tapi kemudian berita itu hilang sejurus. “Cinta mereka itu giliran!” gumam perempuan itu tersenyum sinis mengejek.
“Clara…” panggil perempuan berkaus oblong putih dengan celana jeans biru ketat kepada perempuan yang duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela.
Perempuan yang bernama Clara itu menoleh ke arah suara tersebut. Ia merenggut dengan kesal seraya berkata, “Kurang lama, Dara!”
“Maaf, ya. Tadi Bondan kena macet jadi gue nunggu di sana sebentar sambil ngobrol dengan senior,” bela Dara.
Clara tersenyum kecut. Bondan adalah mantan kekasih Dara. Mereka sudah berpisah satu tahun yang lalu. Sama halnya dengan kisah percintaan orang lain, mereka berpacaran dalam pertemuan yang singkat dan menjalani hubungan yang singkat juga.
Dara hanya nyengir kuda. “Sorry, deh, buat loe nunggu lama di sini. Sekarang kita ke perpus, yuk!”
Mereka berdua beranjak meninggalkan meja kantin dekat jendela itu. Dalam perjalanan menuju perpustakaan, pikiran Clara dipenuhi berbagai intuisi. Ia melirik ke kanan dan ke kiri memulai penilaian dari perspektifnya.
Sebelumnya, mari saya perkenalkan dahulu akan tokoh utama dalam kisah ini. Clara namanya. Seorang perempuan yang memiliki intuisi spesial, tapi kurang berani untuk mengutarakannya kepada semua orang walaupun itu perlu. Clara mempunyai sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang. Setiap pikirannya dapat menjadi buah bagi orang yang mempergunakannya dengan baik. Namun, sepertinya ia tidak akan menjadi bagian itu. Kali ini ia melirik pada dua orang yang sedang berpegangan tangan melewati parkiran motor. Dua orang itu laki-laki dan perempuan. Mereka sudah berpacaran sekitar tiga bulan yang lalu dan mereka berdua adalah teman sekelas Clara. Nama laki-laki itu Roy dan pacarnya adalah Cindy. Kisah mereka berdua sudah tidak asing lagi bagi teman-teman seangkatan. Pertemuan yang singkat telah memulai kisah cinta mereka. Hal ini berawal dari pembicaraan mengenai peminjaman stabilo sampai permintaan nomor handphone. Hanya dengan pertemuan singkat itu tiga hari kemudian mereka jadian. Berbeda halnya dengan Tuti dan Angga yang gaya pacarannya lebih disetujui Clara. Walaupun mereka “pe-de-ka-te” (pendekatan) selama satu tahun, tapi kisah cinta mereka masih awet sampai sekarang yang sudah lima tahun dan akan segera melangsungkan pertunangan. Proses itu memang terlihat lebih sulit dibandingkan hasil. Namun, Clara siap dengan proses hidupnya yang berbelit itu untuk mendapatkan hasil yang berbeda dari teman-temannya. “Untuk apa pacaran lekas-lekas kalau nanti berpisah juga? Untuk bersenang-senang menikmati masa muda? Supaya tidak bosan? Alasan apalagi yang kalian temukan untuk pertanyaan ini? Bukakankah kalian bersanding dengan laki-laki untuk masa depan? Perilaku kita saat ini dapat menetukan kehidupan kita mendatang. Bagaimana nasib masa depanmu jika kehidupan percintaanmu saja seperti pakaian yang diganti-ganti jika bosan? Bisa dengan mudah bercerai nanti,” pikirnya.
Dia juga sempat bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana bisa seseorang dengan mudah membukakan pintu untuk orang lain tanpa melihat dan menyeleksi siapa orang itu? Jendelanya seakan tidak berguna. Orang itu jelas lebih suka langsung membuka pintu hatinya daripada menunggu di jendela untuk menyeleksi lebih lanjut. Mengapa?”
Tidak perlu kaget apabila Clara hingga umur yang ke-19 ini dinyatakan sebagai jomblo sejati. Tentu saja hal itu terjadi karena kriteria laki-laki idamannya entah tahu akan ditemukan di mana. Dia itu jomblo sejati bukan karena tidak laku. Oh, NO! Justru terkadang miris melihat laki-laki dengan personal dan kepribadian biasa ingin menjadi calon buat Clara. Pada ujungnya hanya penolakan yang akan mereka terima. Clara bukan menginginkan laki-laki yang sempurna.
Nobody is perfect, right?
Tapi memang belum ada saja laki-laki yang seturut kehendaknya. Di dalam otaknya terdapat berjuta persepsi mengenai laki-laki idamannya. Bukan, bukan idaman. Tepatnya adalah laki-laki yang pantas untuknya.
Banyak perempuan yang langsung menerima ajakan berpacaran setelah termakan rayuan gombal laki-laki. Ketika beberapa lama pacaran sudah tahulah mereka bahwa setiap dari mereka merasa bosan. Dan tahulah juga pada akhirnya perpisahan itu terjadi. Hal yang membuat kaget ialah dengan mudahnya salah satu atau keduanya mendapatkan pasangan baru lagi setelah belum lama berpisah. Cinta macam apa itu? Cinta? Cintakah mereka satu dengan yang lain sebagai pasangan? Sebenarnya, cinta seperti apa yang mereka inginkan? Mengapa dengan mudah menerima seseorang seperti memakan langsung buah apel tanpa mengupas kulitnya? Begitu malas mereka mengupas sehingga baru menyesallah mereka karena perih perutnya.
Mungkin cinta yang Clara inginkan terlalu besar sehingga belum ada yang mampu memasuki kehidupan pribadinya. Namun, tidak ada salahnya berharap setinggi mungkin. Lagipula cinta yang Clara inginkan tidak muluk-muluk. Ia menginginkan seorang pangeran untuk menjemput dan membebaskannya dari kegelapan yang melingkupinya. Ia hanya ingin pangeran itu membangunkan dirinya dari tidur yang panjang, menggandeng tangannya dengan penuh kasih sayang, menyadarkan dirinya untuk kembali berpetualang, melindunginya dari hidup yang jahat, dan tidak pernah berpaling darinya selamanya. Tertawa? Tentu tertawa. Bagaimana hal itu tidak dapat dikatakan tidak muluk-muluk? Tentu saja itu muluk-muluk. Pangeran? Pangeran dari mana? Namun yang dimaksudkan bukan pangeran seperti layaknya dalam dongeng. Pangeran itu hanya kiasan semata yang Clara tunjukan apabila ia putrinya. Clara menganggap cinta laki-laki seperti pangeran dalam dongeng itulah cinta sejati.
Kodrat perempuan adalah menunggu bak sang putri. Walaupun emansipasi telah memuncak bukan berarti perempuan melupakan kewajiwannya dalam dunia. Tugas perempuan itu menghormati laki-laki dan tugas laki-laki itu menghargai perempuan. Itulah yang dinamakan keseimbangan. Emansipasi juga memiliki porsi ketika harus berhenti atau berlanjut.
Clara merupakan perempuan yang termasuk memiliki emansipasi tinggi. Ia adalah seorang perempuan ingin melakukan pekerjaan laki-laki. Tubuhnya kuat, staminanya lebih besar di antara perempuan lain, ia juga tidak mudah jijik seperti perempuan kebanyakan, pikirannya luas, prinsipnya tegas, dan ia memandang segala sesuatu lebih pada logika daripada perasaan. Clara hanya tidak menyukai emansipasi yang berlebihan, misalanya dalam menyatakan cinta si perempuan yang justru lebih dahulu mengutarakannya kepada laki-laki. Bagi dunia mungkin biasa, tapi bagi Clara hal itu menentang akal logisnya. Bagaimana dapat laki-laki itu hanya diam dan tidak berani mengutarakan perasaannya apabila dia benar cinta? Jika cinta laki-laki itu besar terhadap perempuan itu, pasti ucapan seberat apa pun akan dia lewati demi mendapatkan perempuannya.
Pendapatnya pada bagian kali ini membawa pikirannya terbang jauh pada masa tiga tahun silam. Ia kembali mengingat kehidupan pada masa SMA. Bagi Clara, cinta tanpa ucapan adalah mati. Sedangkan ucapan tanpa cinta lebih parah. Hal itu sudah pasti tidak dimasukkannya dalam daftar pengeran idaman.
Cara penyampaian cinta memang beragam sesuai kebutuhan dan mental seseorang. Clara sempat benci dengan laki-laki yang tidak berani mengutarakan perasaannya kepada seseorang yang dicintai. Benci? Iya, bahkan sampai sekarang ia sangat anti pada hal itu. Namun setelah kejadian malam ia membaca buku psikologi yang membahas mengenai cinta dan kehidupan, gagasannya sedikit berbelok. Ia menyadari segala yang ditulis dalam buku itu mengena padanya.
Beberapa poin dalam buku itu membahas mengenai cinta sejati. Cinta sejati tidak dapat diukur dari kacamata dunia. Cinta yang seperti itu dapat berakhir dengan berbagai versi. Maksdunya dengan berbagai versi adalah kisah cinta itu tidak selalu berakhir bahagia. Bisa saja, jodoh seseorang belum tentu pasangan sejatinya. Awalnya, Clara sulit untuk memasukkan berbagai prinsip baru ke dalam prinsipnya. Namun, ia mencoba untuk tidak langsung membuka penilaiannya tanpa memahaminya dahulu. Dan setelah dipahami lebih dalam memang nyata kualitas prinsip dari buku itu.
Setiap orang yang sedang mencintai orang lain akan melakukan segala sesuatu dengan caranya masing-masing. Dan tidak selalu laki-laki yang tidak mengucapkan perasaannya adalah pengecut atau penakut. Memang ada yang seperti itu, tapi ada juga yang tidak mengucapkan karena hal lain. Dalam buku yang Clara baca itu tertulis sifat laki-laki yang tulus mencintai perempuan tanpa mengutarakannya. Laki-laki yang seperti itu bisa terhalang karena berbagai aspek. Mungkin saja karena ia belum mampu menghidupi perempuan yang ia cintai atau tidak direstui orang tuanya.
Clara adalah satu-satunya perempuan dari semua teman dekatnya yang belum pernah menikmati masa pacaran. Setiap laki-laki yang mendekatinya selalu diseleksi ketat bak pemilihan Mrs. World. Dan sampai sekarang belum ada laki-laki yang benar-benar memikat Clara.
Clara benci melihat pemikiran laki-laki dalam memilih pasangan ketika siapapun yang didapat saat itu dijadikannya pacar. Cinta bak pancingan. Perempuan adalah ikannya. Dan laki-laki itu pemancingnya. Ikan yang lengah akan tertangkap kail pemancing. Sama dengan perempuan yang mudah tergoda akan mudah pula menjadi milik laki-laki itu. Cinta seperti itu juga bagai barang dagangan. Barangsiapa yang duluan membeli, maka orang itulah yang menjadi pemiliknya. Cinta seperti apa itu? Sama halnya dengan kisah Nadia dan teman-temannya yang tanpa sadar mengalami perdagangan cinta. Dari perempuan yang satu dengan yang lain, Daren mengutarakan cintanya. Daren tidak perlu memperjuangkan cintanya lagi ketika Vifin menolaknya karena siapa yang menerima itulah pasangannya. Dan hal ini dapat ditemukan dari banyak pasangan di dunia ini. Sungguh tragis yang demikian bagi Clara. Tidak banyak orang yang dapat bersabar dalam hal berhubungan dengan lawan jenis. Cinta memang dibutuhkan untuk menyemangati diri. Namun, hal itu cinta atau hawa nafsu? Manusia terkadang tidak dapat membedakannya. Oleh karena itu, manusia perlu bersabar sambil menyeleksi agar dapat membedakannya.
Bersabar berarti menunggu. Menunggu memang hal yang menjenuhkan apabila terlalu lama. Bagi Clara, menunggu pangerannya datang adalah sebuah tantangan. Tapi semakin lama gusar jugalah ia akan kedatangan pujaan hatinya itu. Banyak persepsi temannya yang ingin membuat jera, tapi Clara berusaha tetap mempertahankan prinsipnya.
Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat orang lain. Begitu juga dengan Clara yang memiliki pandangan tersendiri akan cinta. Memang, beberapa pandangan manusia ada yang salah dan benar. Kita juga tidak dapat menetukan kebenaran dan kesalahan itu karena semuanya itu abstrak. Dan keabstrakan itulah yang terkadang membuat manusia bimbang dan lebih memilih mengikuti arus dunia. Tapi Clara tidak. Ia lebih memilih untuk tetap memegang prinsipnya walaupun sakit. Dan itulah resiko yang harus dia tanggung.
Sesampainya di tempat tujuan, yaitu perpustakaan, Dara masuk ke ruangan untuk mengembalikan buku. Clara yang malas masuk ke perpustakaan segera duduk di bangku depan perpustakaan dan berkata, “Gue nunggu di sini.”
“Oke!” balas Dara sambil mengacungkan jempol tangan kirinya.
Di suatu tempat jauh dari bangku perpustakaan terdapat seorang laki-laki memandang lurus ke arah perempuan yang duduk di bangku depan perpustakaan itu. Tatapannya tajam bagai elang yang sedang mencari mangsa tapi hangat bagai mentari yang baru terbit. Laki-laki itu terbilang keren dengan wajah tampan, tubuh yang atletis, pakaian bermode, dan gayanya yang pasti membuat lawan jenis terkapar tidak berdaya.
Laki-laki itulah yang akan membuat perubahan dalam hidup Clara. Dan laki-laki itu adalah jawaban atas segala penantian Clara selama ini. Bagaimana kelanjutanya atau bagaimana kisah pertemuan mereka tidak akan diceritakan di sini. Pada akhirnya, begitulah hidup. Setiap pilihan mengundang resikonya masing-masing. Kita hanya dituntut untuk berani memilih dan merasakan resikonya. Ketika pilihan itu ditentukan berdasarkan kesabaran dan keyakinan, maka balasan yang diterima pasti akan lebih indah dari yang pernah dibayangkan.

Bayangan Kesalahan


“Callista!!!” teriak sahabatku, Sidney berlari menghampiriku.

Pesta yang diadakan di kampusku ini adalah acara besar-besaran. Acara sudah dimulai pukul 19.00 WIB. Panitia menyewa lantai teratas hingga atap gedung Merpati. Gedung Merpati letaknya tidak jauh dari kampus, hanya berkisar antara dua sampai tiga blok. Panitia memilih lantai teratas hingga atap gedung karena ingin mengadakan acara di alam terbuka dan kebetulan tempatnya juga luas. Bahkan tidak hanya mahasiswa kampus saja yang hadir, tapi mahasiswa yang bukan dari kampusku juga banyak yang datang.
Pesta malam ini penuh sesak, ramai, dan berisik sekali. Sebenarnya aku tidak suka keadaan seperti ini. Namun, Sidney yang satu tempat kos denganku memaksaku untuk datang dengan alasan meramaikan acara kampus. Lagipula kosan kami dekat dari gedung ini. Apalagi ia menyogokku dengan bir, semakin tidak ada alasan untuk menolak. Di acara ini memang tersedia banyak bir dengan berbagai macam merek. Dan aku sangat menyukai bir bermerek. Apalagi kalau bermerek “itu”. Oh, iya, di sini dilarang menyebutkan merek bir. Itu karena aku tidak dibayar untuk promosi.
”Loe masih minum??” tuduh Sidney ketika sampai tepat di hadapanku.
”Sudah nggak,” elakku, “cuma sedikit tadi.”
Kening Sidney mengernyit melihat tubuhku yang sedikit gemetar. Ia memasang tampang mengejek. “Sedikit sampai loe mabok begini! Dasar! Eh, Aldrich sudah mau tampil! Gue nggak boleh ketinggalan. Mau ikut ke depan nggak?” Aldrich adalah penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun. Sidney sangat mengaguminya. Ia bersemangat menghadiri pesta kampus karena salah satu bintang tamu yang diundang adalah artis pujaannya.
“Nggak perlu.” Seperti yang aku bilang tadi. Aku paling tidak senang keramaian apalagi berdesak-desakan di depan panggung.
“Ya sudah. Gue ke sana sendiri saja,” Sidney segera meninggalkan aku dan menyelinap ke depan panggung.
Aku melihat Aldrich cukup jelas dari sini. Penyanyi tampan yang sedang naik daun itu melambaikan tangan kepada fans-nya. Tidak perlu mendekat ke depan kalau dari sini juga kelihatan walaupun sedikit… buram. Buram? Entah mengapa, kepalaku mendadak pusing dan pandanganku berubah buram. Apa ini karena terlalu banyak minum bir? Tapi aku hanya minum dua botol! Biasanya kalau hanya segitu aku belum mabuk.
Tubuhku mulai terhuyung ke belakang. Aku tahu di belakangku adalah ujung atap gedung ini. Aku bisa saja jatuh karena tidak ada pembatas apa pun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol arah langkah kakiku. Dia seakan bergerak semaunya. Gedung Merpati memiliki ketinggian hampir 100 meter. Apa yang akan terjadi pada diriku bila jatuh! TIDAK!!!
BRRUUUUUKKK!!!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku jatuh?
Aku teriak?

Ternyata tidak. Buktinya aku masih sehat pagi ini. Walaupun begitu, aku merasa bahwa ada ingatanku yang hilang. Tapi, aku sama sekali tidak mengingat apa pun dari kejadian saat itu. Sidney mengatakan padaku bahwa dia mendapatiku sedang dalam keadaan pingsan tepat di pinggir gedung malam itu. Hampir jatuh. Ya, hampir . . .
***
Lima hari setelah malam itu.
Aku bersiap berangkat kuliah. Di tengah perjalanan, aku melihat gadis itu lagi di jalan kecil yang selalu aku lewati. Aku memang biasa melewati jalan kecil di belakang Gedung Merpati, tempat kampusku mengadakan pesta lima hari yang lalu. Jalan sempit itu memudahkanku tiba di kampus lebih cepat.
“Cewek itu lagi!” keluhku kesal. Semenjak pertemuan pertama di jalan kecil itu, perjalananku sedikit terganggu.

Seperti biasa aku berjalan memasuki jalan kecil. Di tengah jalanan kecil itu, langkahku terhenti karena terhalangi. Aku melihat seorang perempuan cantik berambut ikal sebahu berwarna coklat keemasan, duduk berselonjor tanpa melihatku. Padahal aku berdiri di dekatnya. Entah dia sengaja atau tidak, tapi aku jadi tidak nyaman melewatinya. Hampir aku beranjak untuk melangkahinya begitu saja, tapi tidak sopan setelah kupikir lagi.
“Maaf, mbak. Permisi,” kataku akhirnya.
Perempuan ini tidak merespon.
Ku tinggikan suaraku. “Permisi!”
Dia menoleh ke arahku. “Kamu melihat saya?” tanyanya tiba-tiba seraya berdiri.
Aku melotot marah. “Mbak kira saya buta? Saya cuma mau lewat. Mana bisa saya lewat kalau ada mbak di situ. PERMISI!”
 Perempuan itu segera menghindar mempersilakan aku lewat sambil berkata, “Ma… maaf…”

Dan setelah kejadian itu, setiap aku melewati jalan itu, ia selalu ada dan membuatku repot. Ia sangat aneh. Dia terus menerus minta pertolonganku untuk mengatakan sesuatu kepada Aldrich. Aldrich? Iya, Aldrich. Punya pesona seperti apa dia sampai banyak perempuan menggilainya. Baiklah, sekarang aku sudah di sini. Tepat di depan jalan kecil itu. Apabila mengambil jalur lain akan memperlama perjalanan. Lagipula aku juga berjalan. Pasti lelah. Ya, sudah. Tidak apa-apa. Aku mulai berjalan menuju jalan kecil itu. Dan sesuai dugaanku. Perempuan itu melihatku dan langsung menghampiriku dengan cepat.
“Permisi, saya…” ujar gadis itu memulai.
“Maaf, Mbak. Sudah berulang kali saya katakan pada mbak kalau saya nggak bisa mengabulkan permintaan mbak. Sorry dan permisi,” potongku cepat.
“Mbak, please. Sekali ini saja.” Perempuan itu mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya. “Saya ingin mbak kasih cincin ini ke Aldrich. Saya nggak bisa minta tolong orang lain...” Gadis itu menggigit bibirnya.
‘Ini orang kalau jadi fans-nya Aldrich nggak perlu lebay begini, donk! Sampai gue yang terkena gilanya! Huuuh! Sidney saja yang nge-fans gila-gilaan sama Aldrich nggak sampai seperti dia. Kalau dia hampir nangis begini, gue jadi tambah bingung!’ umpatku keki.
Air mata gadis itu perlahan mulai tumpah. “Please, saya nggak akan mohon-mohon sama mbak lagi seterusnya. Karena itu, saya mohon sekali ini saja. Bilang sama dia kalau saya terima cincin ini dan saya sayang banget sama dia,” pinta gadis itu tidak putus asa. Ia juga berusaha menahan air matanya.
Aduh, nggak ngerti! Orang ini aneh banget.
“NGGAK BISA!” bentakku keras. Tangis gadis itu pun pecah. Secepat kilat aku berlalu dari sana. Sudah dari tiga hari yang lalu, gadis ini terus memintaku seperti ini. Dan tentu saja aku selalu menolak. Tapi, dia juga tidak putus asa. Aku agak sedikit kasihan… Tapi, mengapa harus aku yang disuruh, bukan orang lain, atau dia saja yang menemui Aldrich langsung. Orang lain yang melewati jalan itu dibiarkan lewat olehnya. Kenapa hanya aku yang dicegah? Hal ini membuat aku susah.
***
Siang hari, setelah pulang dari kampus. Sahabatku, Sidney yang satu kos denganku sedang duduk santai sambil membaca majalah.
Raut wajah Sidney terlihat prihatin ketika membaca sebuah topik. Dan ketika mengetahui kedatanganku, segera ia berseru, “Cal!!!” Wajah Sidney kelihatan berduka. “Gue punya berita tragis banget. Sini, deh. Buruan!”
Aku yang baru sampai dari kampus mengerutkan dahi sambil memandang aneh sahabatku. ‘Tragis buat gue apa buat loe?’ pikirku tidak yakin.
Sidney terburu-buru menarikku untuk duduk di sebelahnya. “Lihat deh…” Sidney menyodorkan majalah ke pangkuanku. “Ini berita tragisnya Aldrich. Kasihan deh!” Sidney membuka penjelasannya dengan wajah sendu.
“Tragis?” sahutku sok peduli.
Sidney membuka-buka majalahnya kemudian terhenti di sebuah topik. “Aldrich nembak cewek dan sedang menunggu balasan dari cewek itu. Dia ngasih cewek itu cincin. Dan kalau cewek itu nerima dia, cewek itu harus memakai cincin itu dan datang ke konsernya.” Sidney menjelaskan panjang lebar. “Dan loe tahu nggak konsernya di mana?” lanjutnya lagi.
“Nggak,” jawabku malas. Sejujurnya aku memang agak penasaran dengan berita yang membuat sahabatku ini muram.
“Di Gedung Merpati, pesta kita waktu itu. Ingat nggak waktu pesta besar-besaran kampus kita lima hari yang lalu. Di konser itu maksudnya. Kok gue bisa nggak nyadar, ya?” cerocosnya berbicara sendiri sampai wajah sendunya sepintas berubah bingung. “Dan ini foto cewek itu…”
Sidney memakasaku untuk melihat foto gadis itu. Aku melihat majalah itu dengan malas.
Sedetik kemudian.
Mataku terbelalak. Foto gadis yang ada di majalah itu sama persis seperti gadis yang beberapa hari ini aku temui di jalan kecil. Yang selalu meminta tolong padaku untuk memberikan sebuah cincin kepada Aldrich.
“Cewek itu namanya Via. Dan malangnya, dia meninggal dan ditemukan di jalan kecil belakang Gedung Merpati. Dan itu sebelum Via menjawab penembakannya Aldrich. Kasihan banget, ya? Kayak kisah cinta tidak sampai,” seru Sidney iba sambil membayangkan kisah percintaan Siti Nurbaya yang berakhir tragis.
“Meninggal???” Darahku naik ke atas kepala. Aku terpaku sesaat.
“Yup,” jawabnya singkat.
Tidak mungkin! Aku baru saja melihatnya. Akhir-akhir ini aku sering melihatnya bahkan berbicara padanya. “Lima hari yang lalu?” Dadaku sesak sekarang.
“Iya. Ini baca aja!” Sidney menunjuk artikel yang sedang dibicarakan dengan kesal. Ia merasa bahwa aku tidak mendengarkannya. Namun, ia akhirnya melanjutkan topiknya lagi.
Aku tidak perduli dengan artikel itu. Bukan itu yang aku pikirkan sekarang. “Di trotoar belakang gedung kita pesta waktu itu?” tanyaku dengan napas tersedat.
Sidney mengangguk-anggukan kepalanya bingung melihat reaksiku. “Emang ada apa, sih?” tanya Sidney akhirnya.
Aku memindahkan majalah yang ada dipangkuanku dan segera berlari pergi.
“Caaaal, Callista!” panggil Sidney.
Bahkan aku tidak peduli dengan teriakan Sidney yang memanggilku. Aku terus berjalan keluar. Aku kembali ke jalan kecil dan mencari gadis itu. Sesampainya di sana, gadis itu sudah tidak ada. Aku berlari dan terus berlari tidak peduli dengan keringat yang mengucur dan napas yang sesak. Gadis itu harus kutemukan! Aku terus mencarinya di sepanjang jalan.
Tapi... Tetap tidak kutemukan!
Seketika tubuhku terkulai lemas. Aku berlutut kelelahan. Kepalaku menunduk sambil memejamkan mata.
Malam itu. Pesta. Gedung. Minuman keras. Jalan kecil. Mabuk.
Hampir jatuh. Iya, hampir jatuh! Tapi...
Bukan hampir jatuh, tapi memang sudah jatuh!
Dan semua ini bukanlah mimpi. Teriakan itu juga…

Tubuhku mulai terhuyung ke belakang. Aku tahu di belakangku adalah ujung atap gedung ini. Dia seakan bergerak semaunya.
Sementara itu, ada seorang gadis yang sedang mencari celah untuk melihat ke arah panggung. “Hah, Aldrich sudah ada di panggung. Sebentar lagi dia mulai bernyanyi. Via harus melihat dia.” Gadis yang bernama Via itu celingak-celinguk mencari celah agar bisa melihat Aldrich. “Tapi bagaimana Via melihat dengan kerumunan orang sebanyak ini?”
Aku bisa saja jatuh karena tidak ada pembatas apapun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol arah langkah kakiku.
Via melihat cincin yang terpasang di jari manisnya. Dia tersenyum sambil berbisik, “Kamu harus tunggu aku, Aldrich. Via akan ke belakang panggung setelah melihat kamu bernyanyi.”
Gedung Merpati memiliki ketinggian hampir 100 meter. Apa yang akan terjadi pada diriku bila jatuh! Kemudian Via melihat suatu tempat yang sepertinya dapat jelas melihat ke arah panggung. Dengan cepat, Via berlari ke tempat yang ia maksud. Ia memilih melewati jalan sepi di pinggir gedung tinggi daripada bersesak-sesakan dengan orang banyak. Dia harus melewati meja-meja penuh makanan dan minuman keras yang diletakan di pinggir gedung. Sebenarnya, meja-meja itu adalah batasan abstrak untuk mencegah seseorang jatuh karena gedung ini tidak memiliki batasan. Tapi, Via nekat melewatinya. Via tidak takut melewatinya karena memang tidak berbahaya bila tidak disengaja. Tapi, TIDAK!!!
Suasana di atas gedung itu sangat ramai dan berisik. Karena itu, pasti tidak akan ada yang tahu apabila ada orang yang jatuh dari tempat itu.
Aku sama sekali tidak tahu bila ada seseorang yang berlari mendekat ke arahku. Dan sesampainya Via tepat di belakangku, ia terdorong olehku. Aku selamat, tapi . . .
BRRUUUUUKKK!!!
Aku jatuh?
Iya, itu aku yang jatuh lemas di sebelah meja bir dan meja bir masih ada di atas gedung.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku teriak?
Bukan! Kali ini bukan aku yang teriak!!!

Aku sudah ingat semuanya. Kejadian pesta malam itu yang menyebabkan hal-hal aneh terjadi padaku di jalan kecil itu. Aku pembunuh! Aku membunuh dia. Aku yang membunuhnya! Oh, Tuhan kenapa harus begini! Apa ini balasan karena hobiku yang suka minum minuman keras? Atau karena apa?
Itu mungkin juga salah satu alasan mengapa Via hanya dapat memintaku untuk memberikan penjelasan kepada Aldrich. Mungkinkah hanya aku yang dapat melihatnya karena aku yang membunuhnya!?! Ketika membuka mata, air mataku tumpah. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Menyesal pun tidak ada gunanya.
Tapi, ternyata Tuhan memberikan aku satu kesempatan. Tidak aku sangka, aku melihat cincin itu ada di depanku. Kemudian harapan baru muncul di benakku. Aku harus memberikan cincin ini kepada Aldrich bagaimana pun caranya. Lalu aku mengambilnya dan segera berlalu dari tempat itu.
***
“Tapi, saya harus bicara sama Aldrich!”
“Maaf, Mbak. Kalau mau bertemu harus ada janji dulu. Saya nggak bisa membiarkan mbak masuk seenaknya,” jelas satpam yang menjaga rumah Aldrich.
“Ada apa, Pak?” Setelah cukup lama aku bercengkrama dengan pak satpam di depan halaman rumah Aldrich tanpa hasil, akhirnya Aldrich keluar juga.
“Ini, Den! Mbak ini memaksa masuk. Katanya ingin bertemu Den Aldrich. Padahal saya sudah bilang kalau belum ada janji tidak boleh masuk. Tapi, tetep saja mbak ini memaksa.” Baru pertama kali aku berhadapan langsung dengan artis kesukaan Sidney dengan jelas. Apalagi sekarang dia memandangku. Ternyata dia lebih tampan bila dilihat dari dekat. Lesung pipinya yang muncul ketika ia berbicara lebih terlihat jelas dari dekat. OMG! Tapi ini semua tidak penting karena yang lebih penting adalah menyampaikan pesan Via kepada laki-laki ini.
“Aldrich, gue harus bicara sama loe. Ini penting banget!” tancapku cepat.
Aldrich mengerutkan kening menatapku. “Loe kan yang waktu itu...” Aldrich berusaha mengingat sesuatu. “Oh, kalau cuma mau minta tanda tangan…”
Aku melotot. ‘Tanda tangan? What!!!’ pikirku. Aku segera menggelengkan kepala dan berkata, “Bukan… bukan itu yang gue mau.”
“Apa lagi sih mbak. Mendingan mbak pergi, deh! Daripada saya yang seret mbak dengan kasar!” paksa pak satpam tidak sabar. Kemudian Aldrich segera kembali ke dalam rumahnya tidak peduli.
“Ini tentang Via!” teriakku kemudian.
Langkah Aldrich terhenti. Dia berbalik ke belakang. Dia memandangku sesaat dengan tatapan yang tidak kumengerti. Tapi aku sempat menerka bahwa itu tatapan benci. “Tolong, Pak. Bawa dia keluar.”
Apa! Aku kaget. Sudah lelah aku datang sampai ke depan rumahnya. Dia malah mengusirku. Ternyata seperti dugaanku. Menemui artis memang mustahil. Ya, iyalah… Apalagi artis sombong seperti dia! Lalu setelah ini aku harus bagaimana?
Aku berjalan menjauhi rumah Aldrich.
Hhh . . .
Padahal aku harus memberikan cincin . . .
Cincin?
Aku meronggoh kantong celanaku. Tidak ada.
“Ya ampun, cincinnya jatuh di sana! Gawat! Nggak mungkin gue ke sana lagi. Satpamnya masih nungguin gue biar benar-benar pergi.” Aku menghela napas putus asa. Menangis dalam bayang-bayang kesalahan yang tak dapat diubah. Ingin pergi dari semuanya, tapi tidak dapat. Dan dalam bayangan kesalahanku sendiri, harapanku hilang sudah.
Maafkan aku, Via… Maaf!
***
“Cal, loe cerita donk sama gue. Muka loe kenapa bisa kusut gitu, sih?” tanya Sidney perhatian. Kemarin aku sudah mencoba berbuat banyak untuk menebus kesalahanku, tetapi tidak ada hasilnya. Karena itu, pagi ini aku hanya berdiam. Aku sama sekali tidak bisa tidur.
“Gue bunuh orang, Ney…” celetukku tiba-tiba. Kenapa bisa aku begitu bodoh bicara suatu hal yang belum aku ceritakan jelasnya bagaimana. Nanti kalau Sidney berpikiran macam-macam, bagaimana? Tapi, aku memang membunuhnya. Tapi, aku tetap takut kalau Sidney akan membenciku.
Sidney mengangkat alisnya. “Hah, siapa emang yang loe bunuh? Anak kosan depan, bukan? Yang mulutnya comel banget itu. Bunuh aja nggak apa-apa! Biar hilang satu orang yang bermulut cerewet. Hahahaa…” candanya. Wajahku berubah menjadi tidak takut ketika melihat reaksinya.
“Gue nggak becanda, Ney! Gue serius!” Aku menatap tajam Sidney. Mataku mulai berkaca-kaca. Sidney berhenti tertawa.
“Sebenarnya ada apa, Cal?” tanyanya lembut.
“Gue kan udah bilang tadi kalau gue itu bun…”
Tok tok tok
Ketukkan dari pintu itu memotong kalimatku.
“Siapa sih pagi-pagi begini? Gue buka dulu.” Sidney bergegas membukakan pintu kosan.
Lima detik kemudian.
“ALDRICH!!!”
***
Lima menit setelah kekagetan kami semua mereda.
“Gue dapat alamat ini dari kampus loe. Lagipula loe nggak susah dicari. Loe juga yang pingsan waktu itu, kan? Waktu pesta lima hari yang lalu di gedung kampus loe. Asal tahu saja, semua orang di sana tahu kalau loe pingsan.”
‘Apa?!? Berita gue pingsan waktu itu, semua orang pada tahu. Lebay banget! Tapi kenapa Sidney nggak cerita. Dasar!’ batinku.
“Gue nyari loe dari kemarin. Gue ke sini mau minta penjelasan loe tentang ini…” Aldrich mengeluarkan cincin dari kantong celananya. Itu cincin Via yang jatuh di depan rumah Aldrich. “Gue memang belum tahu benar, tapi gue sudah menyelidiki lumayan banyak tentang jatuhnya Via yang segaris dengan pingsannya loe di pinggir gedung,”
HAH! Apa maksudnya? Apa Aldrich sudah tahu kejadian sebenarnya dan dia kemari untuk menangkapku!?!
“Gue cuma bingung kenapa cincin Via bisa ada di tangan loe,” lanjut Aldrich lagi berterus terang.
“Loe mau tangkap gue?” tebakku sedikit gusar.
“Tangkap?”
“Loe mau buat gue jadi saksi atau tersangka atau…”
“Emang loe lihat gue bawa polisi ke sini? Gue justru mau minta maaf karena waktu itu gue ngusir loe. Awalnya gue nggak yakin cincin yang loe tunjukin itu cincin Via karena gue pikir lagi banyak orang yang gencar mengambil keuntungan dalam keadaan gue saat itu. Tapi waktu itu nyokap sempat menemukan cincin loe itu di halaman rumah gue. Bukannya dibuang, dia justru pergi ke toko perhiasan tempat dibuatnya cincin Via. Dia baru ingat kalau cincin yang gue kasih untuk Via itu khusus dan nggak ada yang nyamain. Jadi dia pergi ke toko perhiasan untuk memastikan cincin itu adalah cincin Via atau bukan. Dan ternyata benar. Setelah itu nyokap langsung kasih tahu gue. Jadi gue rasa loe jujur.”
Hah! Apa aku tidak salah dengar. “Jadi, mau loe apa?”
“Penjelasan,” ucapnya mantap. Mendadak ingatanku hilang. Aku heran kenapa semua ini dapat terjadi padaku.
Tiba-tiba, mataku mendapati bayangan Via yang sudah berada di serong belakang Aldrich. Aku terkejut karena melihat Via juga hadir di sini. ‘Via!’
Via mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya di bibirnya sambil menggelengkan kepalanya. Aku tahu maksudnya.
“Hei, jangan diam saja. Via bilang apa aja sama loe?” tanya Aldrich penasaran.
“Hmm…” Via yang hadir di sini membuat aku ingat apa yang harus aku katakan. “Via bilang…”
Aldrich masih menunggu dengan tenang. Tapi, tidak begitu dengan wajahnya yang kelihatan penasaran.
“Dia terima loe. Dia sayang banget sama loe. Makanya waktu itu dia datang ke pesta kampus gue. Dan sesuai keinginan loe, dia pake cincin itu.”
Awalnya Aldrich terlihat bingung, namun sejurus kemudian wajahnya berubah berseri. Tampak sekali kebahagiaan di sana.
“Tapi, karena gue...” kalimatku berhenti. Aku kembali mengingat bagian kehidupan yang tidak pernah ingin aku ingat lagi. Bayangan gelap itu ulahku. “Masa loe nggak marah sama gue sama sekali?” Aku memelas dengan menyipitkan sebelah mata.
Raut wajah Aldrich berubah seketika membuatku tegang. “Marah? Ya, pastilah! Awalnya gue nggak terima. Gue benci dan sedih banget waktu tahu kalau Via sudah pergi selama-lamanya. Tapi, ini semua kecelakaan. Gue juga ngerti kok gimana perasaan loe. Pasti syok banget dan gue rasa Via pasti maafin loe.” Aldrich berbicara seakan telah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Terang saja, pasti dia berani membayar banyak untuk menyelidiki persoalan kematian Via. “Jadi, kenapa gue nggak. Dan satu lagi, hati gue bilang kalau ada suatu hal yang perlu gue tahu dari loe. Dan ternyata benar, Via ngasih tahu loe sesuatu yang nggak gue tahu. Dan sekarang…” Aldrich menarik tanganku, membawaku dalam dekap pelukkannya.
Aku kaget.
Aku takut melihat Via marah karena ini. Tapi ternyata Via tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kali ini aku tidak mengerti maksudnya.
“Semua sudah terjawab.” Aldrich melepaskan pelukkannya. “Terima kasih, ya… Rasa penasaran gue tentang Via sudah selesai sekarang. Gue sempat berpikir kalau Via nggak sayang sama gue karena gue nggak menemukan cincin yang gue kasih ketika dia ditemukan tewas,”
Aku menunduk mendengar kata “tewas” yang disebut Aldrich pada akhir kalimatnya. “Tapi karena gue, kalian berdua nggak bisa bersatu.” Aku melirik Via ragu-ragu. Tapi dia justru memberikan senyuman yang paling manis sehingga wajahnya terlihat sangat cantik. Aku baru menyadari bahwa Via sangat cantik. Aku belum pernah melihat hantu secantik itu. Atau setidaknya aku merasa beruntung karena Via tidak datang dengan wajah yang hancur untuk balas dendam padaku. Baiklah, mari hentikan pembicaraan mengenai hantu (jadi takut sendiri). Iya… Via itu bayangan yang cantik.
Aldrich tersenyum. Entah senyum tulus atau pasrah, aku tidak dapat menerkanya. “Gue nggak percaya kebetulan. Gue percaya takdir. Via pernah bilang sama gue bahwa segala sesuatu yang terjadi mempunyai maksudnya tersendiri. Rencana Tuhan tidak mungkin buruk, kan?”
Aku lega. Tidak tahu pasti lega karena Via tersenyum manis padaku atau mendengar perkataan Aldrich barusan. Entahlah… Mungkin lega dengan semuanya.
“Eits… Tunggu dulu! Dari tadi kalian ngomong apa sih? Kok gue sama sekali nggak tahu. Via? Itu cewek loe, kan, Drich? Terus kenapa loe bisa ada di sini? Gimana caranya kalian berdua bisa kenal? Terus kenapa loe bilang ditangkap, Cal? Emang loe salah apa? Terus . . .” serbu Sidney dengan pertanyaan beruntut.
Oh iya, aku hampir lupa kalau ada Sidney. Dapat aku lihat, Via tertawa karena tingkah sahabatku itu. Via adalah bayangan kesalahanku. Dan kini bayangan Via semakin memudar di mataku. Terakhir yang aku lihat, Via melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arahku. Kemudian hilang. Apa artinya semua masalah ini sudah beres?
“Pokoknya kalian berdua harus jelasin semuanya sama gue!” tagih Sidney cemberut.
Oh, belum. Masih ada satu hal lagi. Aku masih harus menceritakan semua kejadian dari awal pada sahabatku yang satu ini. Pasti dia sangat bingung dan kaget karena Aldrich tiba-tiba datang kemari. Dan dia juga pasti sangat kesal dan iri karena dengan tiba-tiba artis pujaannya itu memelukku.
Hahahahaha…
Eh, apa ini juga tanda bahwa aku tidak boleh minum bir lagi?