WELCOME TO MY WORLD

every dark light is followed by a light morning

Senin, 22 Oktober 2012

Jendela Hati

Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat orang lain. Beberapa dari pandangan mereka ada yang salah dan benar. Tapi bagaimana dapat kita menentukan kebenaran dan kesalahan itu? Bukankah dalam dunia semuanya itu abstrak? Keabstrakan itulah yang terkadang membuat manusia bimbang dan lebih memilih mengikuti arus dunia.

Di tempat yang tidak begitu ramai, seorang perempuan duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela. Dia terlihat agak risih, tetapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Dia berusaha mengalihkan kerisihannya dengan melihat sekeliling dan matanya berhenti pada satu titik. Di meja kantin sebrang, ada gerombolan mahasiswa perempuan tertawa terbahak-bahak sambil menggebrak-gebrak meja. Entah sadar atau tidak bahwa hal itu membuat hampir seluruh penghuni kantin melototi mereka. Mereka adalah Nadia, Stevy, Beira, Inri, Komal, dan Vifin. Perempuan itu melihat mereka dengan pandangan yang tidak dapat dimengerti siapa pun. Hal itu hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Baiklah, mari kita berbelok sedikit untuk mengorek kisah keenam mahasiswa perempuan itu. Mengapa? Karena perempuan yang duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela ini sedang memikirkan perihal mereka. Nadia adalah ketua dalam perkumpulan itu. Ia perempuan yang cukup terkenal. Pacarnya adalah seorang ketua tim basket di kampus. Sebelum mereka berdua berpacaran, laki-laki yang bernama Daren itu telah menjalin hubungan dengan Stevy. Sebelumnya lagi, Daren pernah mendekati Vifin namun ditolak. Sedangkan Komal berpacaran dengan Andre yang kabarnya pernah berhubungan seks dengan Beira. Diantara mereka hanya Inri yang tidak terlalu banyak beritanya, tapi pernah suatu waktu ada berita kalau dia dicampakan oleh Surya. Rupanya, Surya mendekati Inri agar bisa dekat dengan Nadia. Tapi kemudian berita itu hilang sejurus. “Cinta mereka itu giliran!” gumam perempuan itu tersenyum sinis mengejek.
“Clara…” panggil perempuan berkaus oblong putih dengan celana jeans biru ketat kepada perempuan yang duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela.
Perempuan yang bernama Clara itu menoleh ke arah suara tersebut. Ia merenggut dengan kesal seraya berkata, “Kurang lama, Dara!”
“Maaf, ya. Tadi Bondan kena macet jadi gue nunggu di sana sebentar sambil ngobrol dengan senior,” bela Dara.
Clara tersenyum kecut. Bondan adalah mantan kekasih Dara. Mereka sudah berpisah satu tahun yang lalu. Sama halnya dengan kisah percintaan orang lain, mereka berpacaran dalam pertemuan yang singkat dan menjalani hubungan yang singkat juga.
Dara hanya nyengir kuda. “Sorry, deh, buat loe nunggu lama di sini. Sekarang kita ke perpus, yuk!”
Mereka berdua beranjak meninggalkan meja kantin dekat jendela itu. Dalam perjalanan menuju perpustakaan, pikiran Clara dipenuhi berbagai intuisi. Ia melirik ke kanan dan ke kiri memulai penilaian dari perspektifnya.
Sebelumnya, mari saya perkenalkan dahulu akan tokoh utama dalam kisah ini. Clara namanya. Seorang perempuan yang memiliki intuisi spesial, tapi kurang berani untuk mengutarakannya kepada semua orang walaupun itu perlu. Clara mempunyai sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang. Setiap pikirannya dapat menjadi buah bagi orang yang mempergunakannya dengan baik. Namun, sepertinya ia tidak akan menjadi bagian itu. Kali ini ia melirik pada dua orang yang sedang berpegangan tangan melewati parkiran motor. Dua orang itu laki-laki dan perempuan. Mereka sudah berpacaran sekitar tiga bulan yang lalu dan mereka berdua adalah teman sekelas Clara. Nama laki-laki itu Roy dan pacarnya adalah Cindy. Kisah mereka berdua sudah tidak asing lagi bagi teman-teman seangkatan. Pertemuan yang singkat telah memulai kisah cinta mereka. Hal ini berawal dari pembicaraan mengenai peminjaman stabilo sampai permintaan nomor handphone. Hanya dengan pertemuan singkat itu tiga hari kemudian mereka jadian. Berbeda halnya dengan Tuti dan Angga yang gaya pacarannya lebih disetujui Clara. Walaupun mereka “pe-de-ka-te” (pendekatan) selama satu tahun, tapi kisah cinta mereka masih awet sampai sekarang yang sudah lima tahun dan akan segera melangsungkan pertunangan. Proses itu memang terlihat lebih sulit dibandingkan hasil. Namun, Clara siap dengan proses hidupnya yang berbelit itu untuk mendapatkan hasil yang berbeda dari teman-temannya. “Untuk apa pacaran lekas-lekas kalau nanti berpisah juga? Untuk bersenang-senang menikmati masa muda? Supaya tidak bosan? Alasan apalagi yang kalian temukan untuk pertanyaan ini? Bukakankah kalian bersanding dengan laki-laki untuk masa depan? Perilaku kita saat ini dapat menetukan kehidupan kita mendatang. Bagaimana nasib masa depanmu jika kehidupan percintaanmu saja seperti pakaian yang diganti-ganti jika bosan? Bisa dengan mudah bercerai nanti,” pikirnya.
Dia juga sempat bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana bisa seseorang dengan mudah membukakan pintu untuk orang lain tanpa melihat dan menyeleksi siapa orang itu? Jendelanya seakan tidak berguna. Orang itu jelas lebih suka langsung membuka pintu hatinya daripada menunggu di jendela untuk menyeleksi lebih lanjut. Mengapa?”
Tidak perlu kaget apabila Clara hingga umur yang ke-19 ini dinyatakan sebagai jomblo sejati. Tentu saja hal itu terjadi karena kriteria laki-laki idamannya entah tahu akan ditemukan di mana. Dia itu jomblo sejati bukan karena tidak laku. Oh, NO! Justru terkadang miris melihat laki-laki dengan personal dan kepribadian biasa ingin menjadi calon buat Clara. Pada ujungnya hanya penolakan yang akan mereka terima. Clara bukan menginginkan laki-laki yang sempurna.
Nobody is perfect, right?
Tapi memang belum ada saja laki-laki yang seturut kehendaknya. Di dalam otaknya terdapat berjuta persepsi mengenai laki-laki idamannya. Bukan, bukan idaman. Tepatnya adalah laki-laki yang pantas untuknya.
Banyak perempuan yang langsung menerima ajakan berpacaran setelah termakan rayuan gombal laki-laki. Ketika beberapa lama pacaran sudah tahulah mereka bahwa setiap dari mereka merasa bosan. Dan tahulah juga pada akhirnya perpisahan itu terjadi. Hal yang membuat kaget ialah dengan mudahnya salah satu atau keduanya mendapatkan pasangan baru lagi setelah belum lama berpisah. Cinta macam apa itu? Cinta? Cintakah mereka satu dengan yang lain sebagai pasangan? Sebenarnya, cinta seperti apa yang mereka inginkan? Mengapa dengan mudah menerima seseorang seperti memakan langsung buah apel tanpa mengupas kulitnya? Begitu malas mereka mengupas sehingga baru menyesallah mereka karena perih perutnya.
Mungkin cinta yang Clara inginkan terlalu besar sehingga belum ada yang mampu memasuki kehidupan pribadinya. Namun, tidak ada salahnya berharap setinggi mungkin. Lagipula cinta yang Clara inginkan tidak muluk-muluk. Ia menginginkan seorang pangeran untuk menjemput dan membebaskannya dari kegelapan yang melingkupinya. Ia hanya ingin pangeran itu membangunkan dirinya dari tidur yang panjang, menggandeng tangannya dengan penuh kasih sayang, menyadarkan dirinya untuk kembali berpetualang, melindunginya dari hidup yang jahat, dan tidak pernah berpaling darinya selamanya. Tertawa? Tentu tertawa. Bagaimana hal itu tidak dapat dikatakan tidak muluk-muluk? Tentu saja itu muluk-muluk. Pangeran? Pangeran dari mana? Namun yang dimaksudkan bukan pangeran seperti layaknya dalam dongeng. Pangeran itu hanya kiasan semata yang Clara tunjukan apabila ia putrinya. Clara menganggap cinta laki-laki seperti pangeran dalam dongeng itulah cinta sejati.
Kodrat perempuan adalah menunggu bak sang putri. Walaupun emansipasi telah memuncak bukan berarti perempuan melupakan kewajiwannya dalam dunia. Tugas perempuan itu menghormati laki-laki dan tugas laki-laki itu menghargai perempuan. Itulah yang dinamakan keseimbangan. Emansipasi juga memiliki porsi ketika harus berhenti atau berlanjut.
Clara merupakan perempuan yang termasuk memiliki emansipasi tinggi. Ia adalah seorang perempuan ingin melakukan pekerjaan laki-laki. Tubuhnya kuat, staminanya lebih besar di antara perempuan lain, ia juga tidak mudah jijik seperti perempuan kebanyakan, pikirannya luas, prinsipnya tegas, dan ia memandang segala sesuatu lebih pada logika daripada perasaan. Clara hanya tidak menyukai emansipasi yang berlebihan, misalanya dalam menyatakan cinta si perempuan yang justru lebih dahulu mengutarakannya kepada laki-laki. Bagi dunia mungkin biasa, tapi bagi Clara hal itu menentang akal logisnya. Bagaimana dapat laki-laki itu hanya diam dan tidak berani mengutarakan perasaannya apabila dia benar cinta? Jika cinta laki-laki itu besar terhadap perempuan itu, pasti ucapan seberat apa pun akan dia lewati demi mendapatkan perempuannya.
Pendapatnya pada bagian kali ini membawa pikirannya terbang jauh pada masa tiga tahun silam. Ia kembali mengingat kehidupan pada masa SMA. Bagi Clara, cinta tanpa ucapan adalah mati. Sedangkan ucapan tanpa cinta lebih parah. Hal itu sudah pasti tidak dimasukkannya dalam daftar pengeran idaman.
Cara penyampaian cinta memang beragam sesuai kebutuhan dan mental seseorang. Clara sempat benci dengan laki-laki yang tidak berani mengutarakan perasaannya kepada seseorang yang dicintai. Benci? Iya, bahkan sampai sekarang ia sangat anti pada hal itu. Namun setelah kejadian malam ia membaca buku psikologi yang membahas mengenai cinta dan kehidupan, gagasannya sedikit berbelok. Ia menyadari segala yang ditulis dalam buku itu mengena padanya.
Beberapa poin dalam buku itu membahas mengenai cinta sejati. Cinta sejati tidak dapat diukur dari kacamata dunia. Cinta yang seperti itu dapat berakhir dengan berbagai versi. Maksdunya dengan berbagai versi adalah kisah cinta itu tidak selalu berakhir bahagia. Bisa saja, jodoh seseorang belum tentu pasangan sejatinya. Awalnya, Clara sulit untuk memasukkan berbagai prinsip baru ke dalam prinsipnya. Namun, ia mencoba untuk tidak langsung membuka penilaiannya tanpa memahaminya dahulu. Dan setelah dipahami lebih dalam memang nyata kualitas prinsip dari buku itu.
Setiap orang yang sedang mencintai orang lain akan melakukan segala sesuatu dengan caranya masing-masing. Dan tidak selalu laki-laki yang tidak mengucapkan perasaannya adalah pengecut atau penakut. Memang ada yang seperti itu, tapi ada juga yang tidak mengucapkan karena hal lain. Dalam buku yang Clara baca itu tertulis sifat laki-laki yang tulus mencintai perempuan tanpa mengutarakannya. Laki-laki yang seperti itu bisa terhalang karena berbagai aspek. Mungkin saja karena ia belum mampu menghidupi perempuan yang ia cintai atau tidak direstui orang tuanya.
Clara adalah satu-satunya perempuan dari semua teman dekatnya yang belum pernah menikmati masa pacaran. Setiap laki-laki yang mendekatinya selalu diseleksi ketat bak pemilihan Mrs. World. Dan sampai sekarang belum ada laki-laki yang benar-benar memikat Clara.
Clara benci melihat pemikiran laki-laki dalam memilih pasangan ketika siapapun yang didapat saat itu dijadikannya pacar. Cinta bak pancingan. Perempuan adalah ikannya. Dan laki-laki itu pemancingnya. Ikan yang lengah akan tertangkap kail pemancing. Sama dengan perempuan yang mudah tergoda akan mudah pula menjadi milik laki-laki itu. Cinta seperti itu juga bagai barang dagangan. Barangsiapa yang duluan membeli, maka orang itulah yang menjadi pemiliknya. Cinta seperti apa itu? Sama halnya dengan kisah Nadia dan teman-temannya yang tanpa sadar mengalami perdagangan cinta. Dari perempuan yang satu dengan yang lain, Daren mengutarakan cintanya. Daren tidak perlu memperjuangkan cintanya lagi ketika Vifin menolaknya karena siapa yang menerima itulah pasangannya. Dan hal ini dapat ditemukan dari banyak pasangan di dunia ini. Sungguh tragis yang demikian bagi Clara. Tidak banyak orang yang dapat bersabar dalam hal berhubungan dengan lawan jenis. Cinta memang dibutuhkan untuk menyemangati diri. Namun, hal itu cinta atau hawa nafsu? Manusia terkadang tidak dapat membedakannya. Oleh karena itu, manusia perlu bersabar sambil menyeleksi agar dapat membedakannya.
Bersabar berarti menunggu. Menunggu memang hal yang menjenuhkan apabila terlalu lama. Bagi Clara, menunggu pangerannya datang adalah sebuah tantangan. Tapi semakin lama gusar jugalah ia akan kedatangan pujaan hatinya itu. Banyak persepsi temannya yang ingin membuat jera, tapi Clara berusaha tetap mempertahankan prinsipnya.
Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat orang lain. Begitu juga dengan Clara yang memiliki pandangan tersendiri akan cinta. Memang, beberapa pandangan manusia ada yang salah dan benar. Kita juga tidak dapat menetukan kebenaran dan kesalahan itu karena semuanya itu abstrak. Dan keabstrakan itulah yang terkadang membuat manusia bimbang dan lebih memilih mengikuti arus dunia. Tapi Clara tidak. Ia lebih memilih untuk tetap memegang prinsipnya walaupun sakit. Dan itulah resiko yang harus dia tanggung.
Sesampainya di tempat tujuan, yaitu perpustakaan, Dara masuk ke ruangan untuk mengembalikan buku. Clara yang malas masuk ke perpustakaan segera duduk di bangku depan perpustakaan dan berkata, “Gue nunggu di sini.”
“Oke!” balas Dara sambil mengacungkan jempol tangan kirinya.
Di suatu tempat jauh dari bangku perpustakaan terdapat seorang laki-laki memandang lurus ke arah perempuan yang duduk di bangku depan perpustakaan itu. Tatapannya tajam bagai elang yang sedang mencari mangsa tapi hangat bagai mentari yang baru terbit. Laki-laki itu terbilang keren dengan wajah tampan, tubuh yang atletis, pakaian bermode, dan gayanya yang pasti membuat lawan jenis terkapar tidak berdaya.
Laki-laki itulah yang akan membuat perubahan dalam hidup Clara. Dan laki-laki itu adalah jawaban atas segala penantian Clara selama ini. Bagaimana kelanjutanya atau bagaimana kisah pertemuan mereka tidak akan diceritakan di sini. Pada akhirnya, begitulah hidup. Setiap pilihan mengundang resikonya masing-masing. Kita hanya dituntut untuk berani memilih dan merasakan resikonya. Ketika pilihan itu ditentukan berdasarkan kesabaran dan keyakinan, maka balasan yang diterima pasti akan lebih indah dari yang pernah dibayangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar