Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam
melihat orang lain. Beberapa dari pandangan mereka ada yang salah dan benar.
Tapi bagaimana dapat kita menentukan kebenaran dan kesalahan itu? Bukankah
dalam dunia semuanya itu abstrak? Keabstrakan itulah yang terkadang membuat
manusia bimbang dan lebih memilih mengikuti arus dunia.
Di tempat yang tidak begitu ramai, seorang perempuan
duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela. Dia terlihat agak risih, tetapi
mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Dia berusaha mengalihkan kerisihannya
dengan melihat sekeliling dan matanya berhenti pada satu titik. Di meja kantin
sebrang, ada gerombolan mahasiswa perempuan tertawa terbahak-bahak sambil
menggebrak-gebrak meja. Entah sadar atau tidak bahwa hal itu membuat hampir
seluruh penghuni kantin melototi mereka. Mereka adalah Nadia, Stevy, Beira,
Inri, Komal, dan Vifin. Perempuan itu melihat mereka dengan pandangan yang
tidak dapat dimengerti siapa pun. Hal itu hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Baiklah, mari kita berbelok sedikit untuk mengorek
kisah keenam mahasiswa perempuan itu. Mengapa? Karena perempuan yang duduk
sendiri di ujung kantin dekat jendela ini sedang memikirkan perihal mereka. Nadia
adalah ketua dalam perkumpulan itu. Ia perempuan yang cukup terkenal. Pacarnya
adalah seorang ketua tim basket di kampus. Sebelum mereka berdua berpacaran,
laki-laki yang bernama Daren itu telah menjalin hubungan dengan Stevy.
Sebelumnya lagi, Daren pernah mendekati Vifin namun ditolak. Sedangkan Komal
berpacaran dengan Andre yang kabarnya pernah berhubungan seks dengan Beira. Diantara
mereka hanya Inri yang tidak terlalu banyak beritanya, tapi pernah suatu waktu
ada berita kalau dia dicampakan oleh Surya. Rupanya, Surya mendekati Inri agar bisa
dekat dengan Nadia. Tapi kemudian berita itu hilang sejurus. “Cinta mereka itu
giliran!” gumam perempuan itu tersenyum sinis mengejek.
“Clara…” panggil perempuan berkaus oblong putih dengan
celana jeans biru ketat kepada
perempuan yang duduk sendiri di ujung kantin dekat jendela.
Perempuan yang bernama Clara itu menoleh ke arah
suara tersebut. Ia merenggut dengan kesal seraya berkata, “Kurang lama, Dara!”
“Maaf, ya. Tadi Bondan kena macet jadi gue nunggu di
sana sebentar sambil ngobrol dengan senior,” bela Dara.
Clara tersenyum kecut. Bondan adalah mantan kekasih
Dara. Mereka sudah berpisah satu tahun yang lalu. Sama halnya dengan kisah
percintaan orang lain, mereka berpacaran dalam pertemuan yang singkat dan
menjalani hubungan yang singkat juga.
Dara hanya nyengir kuda. “Sorry, deh, buat loe nunggu lama di sini. Sekarang kita ke perpus,
yuk!”
Mereka berdua beranjak meninggalkan meja kantin
dekat jendela itu. Dalam perjalanan menuju perpustakaan, pikiran Clara dipenuhi
berbagai intuisi. Ia melirik ke kanan dan ke kiri memulai penilaian dari perspektifnya.
Sebelumnya, mari saya perkenalkan dahulu akan tokoh
utama dalam kisah ini. Clara namanya. Seorang perempuan yang memiliki intuisi
spesial, tapi kurang berani untuk mengutarakannya kepada semua orang walaupun
itu perlu. Clara mempunyai sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang. Setiap
pikirannya dapat menjadi buah bagi orang yang mempergunakannya dengan baik.
Namun, sepertinya ia tidak akan menjadi bagian itu. Kali ini ia melirik pada
dua orang yang sedang berpegangan tangan melewati parkiran motor. Dua orang itu
laki-laki dan perempuan. Mereka sudah berpacaran sekitar tiga bulan yang lalu
dan mereka berdua adalah teman sekelas Clara. Nama laki-laki itu Roy dan
pacarnya adalah Cindy. Kisah mereka berdua sudah tidak asing lagi bagi teman-teman
seangkatan. Pertemuan yang singkat telah memulai kisah cinta mereka. Hal ini
berawal dari pembicaraan mengenai peminjaman stabilo sampai permintaan nomor handphone. Hanya dengan pertemuan
singkat itu tiga hari kemudian mereka jadian. Berbeda halnya dengan Tuti dan
Angga yang gaya pacarannya lebih disetujui Clara. Walaupun mereka “pe-de-ka-te”
(pendekatan) selama satu tahun, tapi kisah cinta mereka masih awet sampai
sekarang yang sudah lima tahun dan akan segera melangsungkan pertunangan.
Proses itu memang terlihat lebih sulit dibandingkan hasil. Namun, Clara siap
dengan proses hidupnya yang berbelit itu untuk mendapatkan hasil yang berbeda
dari teman-temannya. “Untuk apa pacaran lekas-lekas kalau nanti berpisah juga?
Untuk bersenang-senang menikmati masa muda? Supaya tidak bosan? Alasan apalagi
yang kalian temukan untuk pertanyaan ini? Bukakankah kalian bersanding dengan
laki-laki untuk masa depan? Perilaku kita saat ini dapat menetukan kehidupan
kita mendatang. Bagaimana nasib masa depanmu jika kehidupan percintaanmu saja
seperti pakaian yang diganti-ganti jika bosan? Bisa dengan mudah bercerai nanti,”
pikirnya.
Dia juga sempat bertanya-tanya dalam hati,
“Bagaimana bisa seseorang dengan mudah membukakan pintu untuk orang lain tanpa
melihat dan menyeleksi siapa orang itu? Jendelanya seakan tidak berguna. Orang
itu jelas lebih suka langsung membuka pintu hatinya daripada menunggu di
jendela untuk menyeleksi lebih lanjut. Mengapa?”
Tidak perlu kaget apabila Clara hingga umur yang
ke-19 ini dinyatakan sebagai jomblo sejati. Tentu saja hal itu terjadi karena
kriteria laki-laki idamannya entah tahu akan ditemukan di mana. Dia itu jomblo
sejati bukan karena tidak laku. Oh, NO!
Justru terkadang miris melihat laki-laki dengan personal dan kepribadian biasa
ingin menjadi calon buat Clara. Pada ujungnya hanya penolakan yang akan mereka
terima. Clara bukan menginginkan laki-laki yang sempurna.
Nobody is
perfect, right?
Tapi memang belum ada saja laki-laki yang seturut
kehendaknya. Di dalam otaknya terdapat berjuta persepsi mengenai laki-laki
idamannya. Bukan, bukan idaman. Tepatnya adalah laki-laki yang pantas untuknya.
Banyak perempuan yang langsung menerima ajakan
berpacaran setelah termakan rayuan gombal laki-laki. Ketika beberapa lama
pacaran sudah tahulah mereka bahwa setiap dari mereka merasa bosan. Dan tahulah
juga pada akhirnya perpisahan itu terjadi. Hal yang membuat kaget ialah dengan
mudahnya salah satu atau keduanya mendapatkan pasangan baru lagi setelah belum
lama berpisah. Cinta macam apa itu? Cinta? Cintakah mereka satu dengan yang
lain sebagai pasangan? Sebenarnya, cinta seperti apa yang mereka inginkan?
Mengapa dengan mudah menerima seseorang seperti memakan langsung buah apel
tanpa mengupas kulitnya? Begitu malas mereka mengupas sehingga baru menyesallah
mereka karena perih perutnya.
Mungkin cinta yang Clara inginkan terlalu besar
sehingga belum ada yang mampu memasuki kehidupan pribadinya. Namun, tidak ada
salahnya berharap setinggi mungkin. Lagipula cinta yang Clara inginkan tidak
muluk-muluk. Ia menginginkan seorang pangeran untuk menjemput dan
membebaskannya dari kegelapan yang melingkupinya. Ia hanya ingin pangeran itu
membangunkan dirinya dari tidur yang panjang, menggandeng tangannya dengan penuh
kasih sayang, menyadarkan dirinya untuk kembali berpetualang, melindunginya
dari hidup yang jahat, dan tidak pernah berpaling darinya selamanya. Tertawa?
Tentu tertawa. Bagaimana hal itu tidak dapat dikatakan tidak muluk-muluk? Tentu
saja itu muluk-muluk. Pangeran? Pangeran dari mana? Namun yang dimaksudkan bukan
pangeran seperti layaknya dalam dongeng. Pangeran itu hanya kiasan semata yang
Clara tunjukan apabila ia putrinya. Clara menganggap cinta laki-laki seperti pangeran
dalam dongeng itulah cinta sejati.
Kodrat perempuan adalah menunggu bak sang putri.
Walaupun emansipasi telah memuncak bukan berarti perempuan melupakan
kewajiwannya dalam dunia. Tugas perempuan itu menghormati laki-laki dan tugas laki-laki
itu menghargai perempuan. Itulah yang dinamakan keseimbangan. Emansipasi juga
memiliki porsi ketika harus berhenti atau berlanjut.
Clara merupakan perempuan yang termasuk memiliki
emansipasi tinggi. Ia adalah seorang perempuan ingin melakukan pekerjaan
laki-laki. Tubuhnya kuat, staminanya lebih besar di antara perempuan lain, ia juga
tidak mudah jijik seperti perempuan kebanyakan, pikirannya luas, prinsipnya
tegas, dan ia memandang segala sesuatu lebih pada logika daripada perasaan. Clara
hanya tidak menyukai emansipasi yang berlebihan, misalanya dalam menyatakan
cinta si perempuan yang justru lebih dahulu mengutarakannya kepada laki-laki. Bagi
dunia mungkin biasa, tapi bagi Clara hal itu menentang akal logisnya. Bagaimana
dapat laki-laki itu hanya diam dan tidak berani mengutarakan perasaannya
apabila dia benar cinta? Jika cinta laki-laki itu besar terhadap perempuan itu,
pasti ucapan seberat apa pun akan dia lewati demi mendapatkan perempuannya.
Pendapatnya pada bagian kali ini membawa pikirannya
terbang jauh pada masa tiga tahun silam. Ia kembali mengingat kehidupan pada masa
SMA. Bagi Clara, cinta tanpa ucapan adalah mati. Sedangkan ucapan tanpa cinta
lebih parah. Hal itu sudah pasti tidak dimasukkannya dalam daftar pengeran
idaman.
Cara penyampaian cinta memang beragam sesuai
kebutuhan dan mental seseorang. Clara sempat benci dengan laki-laki yang tidak
berani mengutarakan perasaannya kepada seseorang yang dicintai. Benci? Iya,
bahkan sampai sekarang ia sangat anti pada hal itu. Namun setelah kejadian
malam ia membaca buku psikologi yang membahas mengenai cinta dan kehidupan, gagasannya
sedikit berbelok. Ia menyadari segala yang ditulis dalam buku itu mengena
padanya.
Beberapa poin dalam buku itu membahas mengenai cinta
sejati. Cinta sejati tidak dapat diukur dari kacamata dunia. Cinta yang seperti
itu dapat berakhir dengan berbagai versi. Maksdunya dengan berbagai versi
adalah kisah cinta itu tidak selalu berakhir bahagia. Bisa saja, jodoh
seseorang belum tentu pasangan sejatinya. Awalnya, Clara sulit untuk memasukkan
berbagai prinsip baru ke dalam prinsipnya. Namun, ia mencoba untuk tidak
langsung membuka penilaiannya tanpa memahaminya dahulu. Dan setelah dipahami
lebih dalam memang nyata kualitas prinsip dari buku itu.
Setiap orang yang sedang mencintai orang lain akan
melakukan segala sesuatu dengan caranya masing-masing. Dan tidak selalu
laki-laki yang tidak mengucapkan perasaannya adalah pengecut atau penakut.
Memang ada yang seperti itu, tapi ada juga yang tidak mengucapkan karena hal
lain. Dalam buku yang Clara baca itu tertulis sifat laki-laki yang tulus
mencintai perempuan tanpa mengutarakannya. Laki-laki yang seperti itu bisa
terhalang karena berbagai aspek. Mungkin saja karena ia belum mampu menghidupi
perempuan yang ia cintai atau tidak direstui orang tuanya.
Clara adalah satu-satunya perempuan dari semua teman
dekatnya yang belum pernah menikmati masa pacaran. Setiap laki-laki yang mendekatinya
selalu diseleksi ketat bak pemilihan Mrs.
World. Dan sampai sekarang belum ada laki-laki yang benar-benar memikat
Clara.
Clara benci melihat pemikiran laki-laki dalam memilih
pasangan ketika siapapun yang didapat saat itu dijadikannya pacar. Cinta bak
pancingan. Perempuan adalah ikannya. Dan laki-laki itu pemancingnya. Ikan yang
lengah akan tertangkap kail pemancing. Sama dengan perempuan yang mudah tergoda
akan mudah pula menjadi milik laki-laki itu. Cinta seperti itu juga bagai barang
dagangan. Barangsiapa yang duluan membeli, maka orang itulah yang menjadi
pemiliknya. Cinta seperti apa itu? Sama halnya dengan kisah Nadia dan teman-temannya
yang tanpa sadar mengalami perdagangan cinta. Dari perempuan yang satu dengan
yang lain, Daren mengutarakan cintanya. Daren tidak perlu memperjuangkan
cintanya lagi ketika Vifin menolaknya karena siapa yang menerima itulah
pasangannya. Dan hal ini dapat ditemukan dari banyak pasangan di dunia ini. Sungguh
tragis yang demikian bagi Clara. Tidak banyak orang yang dapat bersabar dalam
hal berhubungan dengan lawan jenis. Cinta memang dibutuhkan untuk menyemangati
diri. Namun, hal itu cinta atau hawa nafsu? Manusia terkadang tidak dapat
membedakannya. Oleh karena itu, manusia perlu bersabar sambil menyeleksi agar
dapat membedakannya.
Bersabar berarti menunggu. Menunggu memang hal yang
menjenuhkan apabila terlalu lama. Bagi Clara, menunggu pangerannya datang
adalah sebuah tantangan. Tapi semakin lama gusar jugalah ia akan kedatangan
pujaan hatinya itu. Banyak persepsi temannya yang ingin membuat jera, tapi
Clara berusaha tetap mempertahankan prinsipnya.
Setiap orang memiliki cara pandang tersendiri dalam
melihat orang lain. Begitu juga dengan Clara yang memiliki pandangan tersendiri
akan cinta. Memang, beberapa pandangan manusia ada yang salah dan benar. Kita juga
tidak dapat menetukan kebenaran dan kesalahan itu karena semuanya itu abstrak. Dan
keabstrakan itulah yang terkadang membuat manusia bimbang dan lebih memilih
mengikuti arus dunia. Tapi Clara tidak. Ia lebih memilih untuk tetap memegang
prinsipnya walaupun sakit. Dan itulah resiko yang harus dia tanggung.
Sesampainya di tempat tujuan, yaitu perpustakaan,
Dara masuk ke ruangan untuk mengembalikan buku. Clara yang malas masuk ke
perpustakaan segera duduk di bangku depan perpustakaan dan berkata, “Gue nunggu
di sini.”
“Oke!” balas Dara sambil mengacungkan jempol tangan
kirinya.
Di suatu tempat jauh dari bangku perpustakaan
terdapat seorang laki-laki memandang lurus ke arah perempuan yang duduk di
bangku depan perpustakaan itu. Tatapannya tajam bagai elang yang sedang mencari
mangsa tapi hangat bagai mentari yang baru terbit. Laki-laki itu terbilang
keren dengan wajah tampan, tubuh yang atletis, pakaian bermode, dan gayanya
yang pasti membuat lawan jenis terkapar tidak berdaya.
Laki-laki itulah yang akan membuat perubahan dalam
hidup Clara. Dan laki-laki itu adalah jawaban atas segala penantian Clara
selama ini. Bagaimana kelanjutanya atau bagaimana kisah pertemuan mereka tidak
akan diceritakan di sini. Pada akhirnya, begitulah hidup. Setiap pilihan
mengundang resikonya masing-masing. Kita hanya dituntut untuk berani memilih
dan merasakan resikonya. Ketika pilihan itu ditentukan berdasarkan kesabaran
dan keyakinan, maka balasan yang diterima pasti akan lebih indah dari yang
pernah dibayangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar