“Callista!!!” teriak sahabatku, Sidney berlari
menghampiriku.
Pesta yang diadakan di kampusku ini adalah acara
besar-besaran. Acara sudah dimulai pukul 19.00 WIB. Panitia menyewa lantai
teratas hingga atap gedung Merpati. Gedung Merpati letaknya tidak jauh dari
kampus, hanya berkisar antara dua sampai tiga blok. Panitia memilih lantai
teratas hingga atap gedung karena ingin mengadakan acara di alam terbuka dan
kebetulan tempatnya juga luas. Bahkan tidak hanya mahasiswa kampus saja yang
hadir, tapi mahasiswa yang bukan dari kampusku juga banyak yang datang.
Pesta malam ini penuh sesak, ramai, dan berisik
sekali. Sebenarnya aku tidak suka keadaan seperti ini. Namun, Sidney yang satu
tempat kos denganku memaksaku untuk datang dengan alasan meramaikan acara
kampus. Lagipula kosan kami dekat dari gedung ini. Apalagi ia menyogokku dengan
bir, semakin tidak ada alasan untuk menolak. Di acara ini memang tersedia banyak
bir dengan berbagai macam merek. Dan aku sangat menyukai bir bermerek. Apalagi
kalau bermerek “itu”. Oh, iya, di sini dilarang menyebutkan merek bir. Itu
karena aku tidak dibayar untuk promosi.
”Loe masih minum??” tuduh Sidney ketika sampai tepat
di hadapanku.
”Sudah nggak,” elakku, “cuma sedikit tadi.”
Kening Sidney mengernyit melihat tubuhku yang
sedikit gemetar. Ia memasang tampang mengejek. “Sedikit sampai loe mabok begini!
Dasar! Eh, Aldrich sudah mau tampil! Gue nggak boleh ketinggalan. Mau ikut ke
depan nggak?” Aldrich adalah penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.
Sidney sangat mengaguminya. Ia bersemangat menghadiri pesta kampus karena salah
satu bintang tamu yang diundang adalah artis pujaannya.
“Nggak perlu.” Seperti yang aku bilang tadi. Aku
paling tidak senang keramaian apalagi berdesak-desakan di depan panggung.
“Ya sudah. Gue ke sana sendiri saja,” Sidney segera
meninggalkan aku dan menyelinap ke depan panggung.
Aku melihat Aldrich cukup jelas dari sini. Penyanyi tampan
yang sedang naik daun itu melambaikan tangan kepada fans-nya. Tidak perlu mendekat ke depan kalau dari sini juga
kelihatan walaupun sedikit… buram. Buram? Entah mengapa, kepalaku mendadak
pusing dan pandanganku berubah buram. Apa ini karena terlalu banyak minum bir?
Tapi aku hanya minum dua botol! Biasanya kalau hanya segitu aku belum mabuk.
Tubuhku mulai terhuyung ke belakang. Aku tahu di
belakangku adalah ujung atap gedung ini. Aku bisa saja jatuh karena tidak ada
pembatas apa pun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol arah langkah kakiku. Dia
seakan bergerak semaunya. Gedung Merpati memiliki ketinggian hampir 100 meter.
Apa yang akan terjadi pada diriku bila jatuh! TIDAK!!!
BRRUUUUUKKK!!!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku jatuh?
Aku teriak?
Ternyata tidak. Buktinya aku masih sehat pagi ini. Walaupun
begitu, aku merasa bahwa ada ingatanku yang hilang. Tapi, aku sama sekali tidak
mengingat apa pun dari kejadian saat itu. Sidney mengatakan padaku bahwa dia mendapatiku
sedang dalam keadaan pingsan tepat di pinggir gedung malam itu. Hampir jatuh.
Ya, hampir . . .
***
Lima hari setelah malam itu.
Aku bersiap berangkat kuliah. Di tengah perjalanan,
aku melihat gadis itu lagi di jalan kecil yang selalu aku lewati. Aku memang biasa melewati jalan kecil di
belakang Gedung Merpati, tempat kampusku mengadakan pesta lima hari yang lalu.
Jalan sempit itu memudahkanku tiba di kampus lebih cepat.
“Cewek itu lagi!” keluhku kesal. Semenjak pertemuan
pertama di jalan kecil itu, perjalananku sedikit terganggu.
Seperti biasa
aku berjalan memasuki jalan kecil. Di tengah jalanan kecil itu, langkahku terhenti
karena terhalangi. Aku melihat seorang perempuan cantik berambut ikal sebahu berwarna
coklat keemasan, duduk berselonjor tanpa melihatku. Padahal aku berdiri di
dekatnya. Entah dia sengaja atau tidak, tapi aku jadi tidak nyaman melewatinya.
Hampir aku beranjak untuk melangkahinya begitu saja, tapi tidak sopan setelah
kupikir lagi.
“Maaf, mbak.
Permisi,” kataku akhirnya.
Perempuan ini
tidak merespon.
Ku tinggikan
suaraku. “Permisi!”
Dia menoleh ke
arahku. “Kamu melihat saya?” tanyanya tiba-tiba seraya berdiri.
Aku melotot
marah. “Mbak kira saya buta? Saya cuma mau lewat. Mana bisa saya lewat kalau
ada mbak di situ. PERMISI!”
Perempuan itu segera menghindar mempersilakan
aku lewat sambil berkata, “Ma… maaf…”
Dan setelah kejadian itu, setiap aku melewati jalan
itu, ia selalu ada dan membuatku repot. Ia sangat aneh. Dia terus menerus minta
pertolonganku untuk mengatakan sesuatu kepada Aldrich. Aldrich? Iya, Aldrich.
Punya pesona seperti apa dia sampai banyak perempuan menggilainya. Baiklah, sekarang
aku sudah di sini. Tepat di depan jalan kecil itu. Apabila mengambil jalur lain
akan memperlama perjalanan. Lagipula aku juga berjalan. Pasti lelah. Ya, sudah.
Tidak apa-apa. Aku mulai berjalan menuju jalan kecil itu. Dan sesuai dugaanku. Perempuan
itu melihatku dan langsung menghampiriku dengan cepat.
“Permisi, saya…” ujar gadis itu memulai.
“Maaf, Mbak. Sudah berulang kali saya katakan pada mbak
kalau saya nggak bisa mengabulkan permintaan mbak. Sorry dan permisi,” potongku cepat.
“Mbak, please.
Sekali ini saja.” Perempuan itu mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya.
“Saya ingin mbak kasih cincin ini ke Aldrich. Saya nggak bisa minta tolong
orang lain...” Gadis itu menggigit bibirnya.
‘Ini orang kalau jadi fans-nya Aldrich nggak perlu lebay begini, donk! Sampai gue yang terkena
gilanya! Huuuh! Sidney saja yang nge-fans
gila-gilaan sama Aldrich nggak sampai seperti dia. Kalau dia hampir nangis begini,
gue jadi tambah bingung!’ umpatku keki.
Air mata gadis itu perlahan mulai tumpah. “Please, saya nggak akan mohon-mohon sama
mbak lagi seterusnya. Karena itu, saya mohon sekali ini saja. Bilang sama dia
kalau saya terima cincin ini dan saya sayang banget sama dia,” pinta gadis itu tidak
putus asa. Ia juga berusaha menahan air matanya.
Aduh, nggak ngerti! Orang ini aneh banget.
“NGGAK BISA!” bentakku keras. Tangis gadis itu pun
pecah. Secepat kilat aku berlalu dari sana. Sudah dari tiga hari yang lalu,
gadis ini terus memintaku seperti ini. Dan tentu saja aku selalu menolak. Tapi,
dia juga tidak putus asa. Aku agak sedikit kasihan… Tapi, mengapa harus aku
yang disuruh, bukan orang lain, atau dia saja yang menemui Aldrich langsung. Orang
lain yang melewati jalan itu dibiarkan lewat olehnya. Kenapa hanya aku yang
dicegah? Hal ini membuat aku susah.
***
Siang hari, setelah pulang dari kampus. Sahabatku, Sidney
yang satu kos denganku sedang duduk santai sambil membaca majalah.
Raut wajah Sidney terlihat prihatin ketika membaca
sebuah topik. Dan ketika mengetahui kedatanganku, segera ia berseru, “Cal!!!”
Wajah Sidney kelihatan berduka. “Gue punya berita tragis banget. Sini, deh.
Buruan!”
Aku yang baru sampai dari kampus mengerutkan dahi
sambil memandang aneh sahabatku. ‘Tragis buat gue apa buat loe?’ pikirku tidak
yakin.
Sidney terburu-buru menarikku untuk duduk di sebelahnya.
“Lihat deh…” Sidney menyodorkan majalah ke pangkuanku. “Ini berita tragisnya
Aldrich. Kasihan deh!” Sidney membuka penjelasannya dengan wajah sendu.
“Tragis?” sahutku sok peduli.
Sidney membuka-buka majalahnya kemudian terhenti di
sebuah topik. “Aldrich nembak cewek dan sedang menunggu balasan dari cewek itu.
Dia ngasih cewek itu cincin. Dan kalau cewek itu nerima dia, cewek itu harus
memakai cincin itu dan datang ke konsernya.” Sidney menjelaskan panjang lebar. “Dan
loe tahu nggak konsernya di mana?” lanjutnya lagi.
“Nggak,” jawabku malas. Sejujurnya aku memang agak
penasaran dengan berita yang membuat sahabatku ini muram.
“Di Gedung Merpati, pesta kita waktu itu. Ingat
nggak waktu pesta besar-besaran kampus kita lima hari yang lalu. Di konser itu
maksudnya. Kok gue bisa nggak nyadar, ya?” cerocosnya berbicara sendiri sampai
wajah sendunya sepintas berubah bingung. “Dan ini foto cewek itu…”
Sidney memakasaku untuk melihat foto gadis itu. Aku
melihat majalah itu dengan malas.
Sedetik kemudian.
Mataku terbelalak. Foto gadis yang ada di majalah itu
sama persis seperti gadis yang beberapa hari ini aku temui di jalan kecil. Yang
selalu meminta tolong padaku untuk memberikan sebuah cincin kepada Aldrich.
“Cewek itu namanya Via. Dan malangnya, dia meninggal
dan ditemukan di jalan kecil belakang Gedung Merpati. Dan itu sebelum Via
menjawab penembakannya Aldrich. Kasihan banget, ya? Kayak kisah cinta tidak
sampai,” seru Sidney iba sambil membayangkan kisah percintaan Siti Nurbaya yang
berakhir tragis.
“Meninggal???” Darahku naik ke atas kepala. Aku
terpaku sesaat.
“Yup,” jawabnya singkat.
Tidak mungkin! Aku baru saja melihatnya. Akhir-akhir
ini aku sering melihatnya bahkan berbicara padanya. “Lima hari yang lalu?”
Dadaku sesak sekarang.
“Iya. Ini baca aja!” Sidney menunjuk artikel yang
sedang dibicarakan dengan kesal. Ia merasa bahwa aku tidak mendengarkannya. Namun,
ia akhirnya melanjutkan topiknya lagi.
Aku tidak perduli dengan artikel itu. Bukan itu yang
aku pikirkan sekarang. “Di trotoar belakang gedung kita pesta waktu itu?”
tanyaku dengan napas tersedat.
Sidney mengangguk-anggukan kepalanya bingung melihat
reaksiku. “Emang ada apa, sih?” tanya Sidney akhirnya.
Aku memindahkan majalah yang ada dipangkuanku dan
segera berlari pergi.
“Caaaal, Callista!” panggil Sidney.
Bahkan aku tidak peduli dengan teriakan Sidney yang
memanggilku. Aku terus berjalan keluar. Aku kembali ke jalan kecil dan mencari
gadis itu. Sesampainya di sana, gadis itu sudah tidak ada. Aku berlari dan
terus berlari tidak peduli dengan keringat yang mengucur dan napas yang sesak.
Gadis itu harus kutemukan! Aku terus mencarinya di sepanjang jalan.
Tapi... Tetap tidak kutemukan!
Seketika tubuhku terkulai lemas. Aku berlutut
kelelahan. Kepalaku menunduk sambil memejamkan mata.
Malam itu. Pesta. Gedung. Minuman keras. Jalan kecil.
Mabuk.
Hampir jatuh. Iya, hampir jatuh! Tapi...
Bukan hampir jatuh, tapi memang sudah jatuh!
Dan semua ini bukanlah mimpi. Teriakan itu juga…
Tubuhku mulai
terhuyung ke belakang. Aku tahu di belakangku adalah ujung atap gedung ini. Dia
seakan bergerak semaunya.
Sementara itu,
ada seorang gadis yang sedang mencari celah untuk melihat ke arah panggung. “Hah,
Aldrich sudah ada di panggung. Sebentar lagi dia mulai bernyanyi. Via harus melihat
dia.” Gadis yang bernama Via itu celingak-celinguk mencari celah agar bisa melihat
Aldrich. “Tapi bagaimana Via melihat dengan kerumunan orang sebanyak ini?”
Aku bisa saja
jatuh karena tidak ada pembatas apapun di sana. Tapi, aku tidak bisa mengontrol
arah langkah kakiku.
Via melihat
cincin yang terpasang di jari manisnya. Dia tersenyum sambil berbisik, “Kamu
harus tunggu aku, Aldrich. Via akan ke belakang panggung setelah melihat kamu bernyanyi.”
Gedung Merpati
memiliki ketinggian hampir 100 meter. Apa yang akan terjadi pada diriku bila
jatuh! Kemudian Via melihat suatu tempat yang sepertinya dapat jelas melihat ke
arah panggung. Dengan cepat, Via berlari ke tempat yang ia maksud. Ia memilih
melewati jalan sepi di pinggir gedung tinggi daripada bersesak-sesakan dengan
orang banyak. Dia harus melewati meja-meja penuh makanan dan minuman keras yang
diletakan di pinggir gedung. Sebenarnya, meja-meja itu adalah batasan abstrak
untuk mencegah seseorang jatuh karena gedung ini tidak memiliki batasan. Tapi,
Via nekat melewatinya. Via tidak takut melewatinya karena memang tidak
berbahaya bila tidak disengaja. Tapi, TIDAK!!!
Suasana di atas
gedung itu sangat ramai dan berisik. Karena itu, pasti tidak akan ada yang tahu
apabila ada orang yang jatuh dari tempat itu.
Aku sama sekali
tidak tahu bila ada seseorang yang berlari mendekat ke arahku. Dan sesampainya Via
tepat di belakangku, ia terdorong olehku. Aku selamat, tapi . . .
BRRUUUUUKKK!!!
Aku jatuh?
Iya, itu aku
yang jatuh lemas di sebelah meja bir dan meja bir masih ada di atas gedung.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
Aku teriak?
Bukan! Kali ini
bukan aku yang teriak!!!
Aku sudah ingat semuanya. Kejadian pesta malam itu
yang menyebabkan hal-hal aneh terjadi padaku di jalan kecil itu. Aku pembunuh!
Aku membunuh dia. Aku yang membunuhnya! Oh, Tuhan kenapa harus begini! Apa ini
balasan karena hobiku yang suka minum minuman keras? Atau karena apa?
Itu mungkin juga salah satu alasan mengapa Via hanya
dapat memintaku untuk memberikan penjelasan kepada Aldrich. Mungkinkah hanya
aku yang dapat melihatnya karena aku yang membunuhnya!?! Ketika membuka mata,
air mataku tumpah. Aku benar-benar sudah tidak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Menyesal pun tidak ada gunanya.
Tapi, ternyata Tuhan memberikan aku satu kesempatan.
Tidak aku sangka, aku melihat cincin itu ada di depanku. Kemudian harapan baru
muncul di benakku. Aku harus memberikan cincin ini kepada Aldrich bagaimana pun
caranya. Lalu aku mengambilnya dan segera berlalu dari tempat itu.
***
“Tapi, saya harus bicara sama Aldrich!”
“Maaf, Mbak. Kalau mau bertemu harus ada janji dulu.
Saya nggak bisa membiarkan mbak masuk seenaknya,” jelas satpam yang menjaga
rumah Aldrich.
“Ada apa, Pak?” Setelah cukup lama aku bercengkrama
dengan pak satpam di depan halaman rumah Aldrich tanpa hasil, akhirnya Aldrich
keluar juga.
“Ini, Den! Mbak ini memaksa masuk. Katanya ingin
bertemu Den Aldrich. Padahal saya sudah bilang kalau belum ada janji tidak
boleh masuk. Tapi, tetep saja mbak ini memaksa.” Baru pertama kali aku
berhadapan langsung dengan artis kesukaan Sidney dengan jelas. Apalagi sekarang
dia memandangku. Ternyata dia lebih tampan bila dilihat dari dekat. Lesung
pipinya yang muncul ketika ia berbicara lebih terlihat jelas dari dekat. OMG!
Tapi ini semua tidak penting karena yang lebih penting adalah menyampaikan
pesan Via kepada laki-laki ini.
“Aldrich, gue harus bicara sama loe. Ini penting banget!”
tancapku cepat.
Aldrich mengerutkan kening menatapku. “Loe kan yang
waktu itu...” Aldrich berusaha mengingat sesuatu. “Oh, kalau cuma mau minta
tanda tangan…”
Aku melotot. ‘Tanda tangan? What!!!’ pikirku. Aku segera menggelengkan kepala dan berkata, “Bukan…
bukan itu yang gue mau.”
“Apa lagi sih mbak. Mendingan mbak pergi, deh!
Daripada saya yang seret mbak dengan kasar!” paksa pak satpam tidak sabar.
Kemudian Aldrich segera kembali ke dalam rumahnya tidak peduli.
“Ini tentang Via!” teriakku kemudian.
Langkah Aldrich terhenti. Dia berbalik ke belakang. Dia
memandangku sesaat dengan tatapan yang tidak kumengerti. Tapi aku sempat
menerka bahwa itu tatapan benci. “Tolong, Pak. Bawa dia keluar.”
Apa! Aku kaget. Sudah lelah aku datang sampai ke
depan rumahnya. Dia malah mengusirku. Ternyata seperti dugaanku. Menemui artis
memang mustahil. Ya, iyalah… Apalagi artis sombong seperti dia! Lalu setelah
ini aku harus bagaimana?
Aku berjalan menjauhi rumah Aldrich.
Hhh . . .
Padahal aku harus memberikan cincin . . .
Cincin?
Aku meronggoh kantong celanaku. Tidak ada.
“Ya ampun, cincinnya jatuh di sana! Gawat! Nggak
mungkin gue ke sana lagi. Satpamnya masih nungguin gue biar benar-benar pergi.”
Aku menghela napas putus asa. Menangis dalam bayang-bayang kesalahan yang tak
dapat diubah. Ingin pergi dari semuanya, tapi tidak dapat. Dan dalam bayangan
kesalahanku sendiri, harapanku hilang sudah.
Maafkan aku, Via… Maaf!
***
“Cal, loe cerita donk sama gue. Muka loe kenapa bisa
kusut gitu, sih?” tanya Sidney perhatian. Kemarin aku sudah mencoba berbuat
banyak untuk menebus kesalahanku, tetapi tidak ada hasilnya. Karena itu, pagi
ini aku hanya berdiam. Aku sama sekali tidak bisa tidur.
“Gue bunuh orang, Ney…” celetukku tiba-tiba. Kenapa bisa
aku begitu bodoh bicara suatu hal yang belum aku ceritakan jelasnya bagaimana. Nanti
kalau Sidney berpikiran macam-macam, bagaimana? Tapi, aku memang membunuhnya.
Tapi, aku tetap takut kalau Sidney akan membenciku.
Sidney mengangkat alisnya. “Hah, siapa emang yang
loe bunuh? Anak kosan depan, bukan? Yang mulutnya comel banget itu. Bunuh aja
nggak apa-apa! Biar hilang satu orang yang bermulut cerewet. Hahahaa…”
candanya. Wajahku berubah menjadi tidak takut ketika melihat reaksinya.
“Gue nggak becanda, Ney! Gue serius!” Aku menatap
tajam Sidney. Mataku mulai berkaca-kaca. Sidney berhenti tertawa.
“Sebenarnya ada apa, Cal?” tanyanya lembut.
“Gue kan udah bilang tadi kalau gue itu bun…”
Tok tok tok
Ketukkan dari pintu itu memotong kalimatku.
“Siapa sih pagi-pagi begini? Gue buka dulu.” Sidney
bergegas membukakan pintu kosan.
Lima detik kemudian.
“ALDRICH!!!”
***
Lima menit setelah kekagetan kami semua mereda.
“Gue dapat alamat ini dari kampus loe. Lagipula loe
nggak susah dicari. Loe juga yang pingsan waktu itu, kan? Waktu pesta lima hari
yang lalu di gedung kampus loe. Asal tahu saja, semua orang di sana tahu kalau
loe pingsan.”
‘Apa?!? Berita gue pingsan waktu itu, semua orang pada
tahu. Lebay banget! Tapi kenapa Sidney nggak cerita. Dasar!’ batinku.
“Gue nyari loe dari kemarin. Gue ke sini mau minta
penjelasan loe tentang ini…” Aldrich mengeluarkan cincin dari kantong
celananya. Itu cincin Via yang jatuh di depan rumah Aldrich. “Gue memang belum
tahu benar, tapi gue sudah menyelidiki lumayan banyak tentang jatuhnya Via yang
segaris dengan pingsannya loe di pinggir gedung,”
HAH! Apa maksudnya? Apa Aldrich sudah tahu kejadian
sebenarnya dan dia kemari untuk menangkapku!?!
“Gue cuma bingung kenapa cincin Via bisa ada di tangan
loe,” lanjut Aldrich lagi berterus terang.
“Loe mau tangkap gue?” tebakku sedikit gusar.
“Tangkap?”
“Loe mau buat gue jadi saksi atau tersangka atau…”
“Emang loe lihat gue bawa polisi ke sini? Gue justru
mau minta maaf karena waktu itu gue ngusir loe. Awalnya gue nggak yakin cincin
yang loe tunjukin itu cincin Via karena gue pikir lagi banyak orang yang gencar
mengambil keuntungan dalam keadaan gue saat itu. Tapi waktu itu nyokap sempat menemukan
cincin loe itu di halaman rumah gue. Bukannya dibuang, dia justru pergi ke toko
perhiasan tempat dibuatnya cincin Via. Dia baru ingat kalau cincin yang gue
kasih untuk Via itu khusus dan nggak ada yang nyamain. Jadi dia pergi ke toko
perhiasan untuk memastikan cincin itu adalah cincin Via atau bukan. Dan
ternyata benar. Setelah itu nyokap langsung kasih tahu gue. Jadi gue rasa loe
jujur.”
Hah! Apa aku tidak salah dengar. “Jadi, mau loe apa?”
“Penjelasan,” ucapnya mantap. Mendadak ingatanku
hilang. Aku heran kenapa semua ini dapat terjadi padaku.
Tiba-tiba, mataku mendapati bayangan Via yang sudah
berada di serong belakang Aldrich. Aku terkejut karena melihat Via juga hadir
di sini. ‘Via!’
Via mengangkat jari telunjuknya dan menempelkannya
di bibirnya sambil menggelengkan kepalanya. Aku tahu maksudnya.
“Hei, jangan diam saja. Via bilang apa aja sama loe?”
tanya Aldrich penasaran.
“Hmm…” Via yang hadir di sini membuat aku ingat apa
yang harus aku katakan. “Via bilang…”
Aldrich masih menunggu dengan tenang. Tapi, tidak
begitu dengan wajahnya yang kelihatan penasaran.
“Dia terima loe. Dia sayang banget sama loe. Makanya
waktu itu dia datang ke pesta kampus gue. Dan sesuai keinginan loe, dia pake
cincin itu.”
Awalnya Aldrich terlihat bingung, namun sejurus
kemudian wajahnya berubah berseri. Tampak sekali kebahagiaan di sana.
“Tapi, karena gue...” kalimatku berhenti. Aku
kembali mengingat bagian kehidupan yang tidak pernah ingin aku ingat lagi.
Bayangan gelap itu ulahku. “Masa loe nggak marah sama gue sama sekali?” Aku
memelas dengan menyipitkan sebelah mata.
Raut wajah Aldrich berubah seketika membuatku
tegang. “Marah? Ya, pastilah! Awalnya gue nggak terima. Gue benci dan sedih
banget waktu tahu kalau Via sudah pergi selama-lamanya. Tapi, ini semua
kecelakaan. Gue juga ngerti kok gimana perasaan loe. Pasti syok banget dan gue
rasa Via pasti maafin loe.” Aldrich berbicara seakan telah mengetahui kejadian
yang sebenarnya. Terang saja, pasti dia berani membayar banyak untuk
menyelidiki persoalan kematian Via. “Jadi, kenapa gue nggak. Dan satu lagi,
hati gue bilang kalau ada suatu hal yang perlu gue tahu dari loe. Dan ternyata
benar, Via ngasih tahu loe sesuatu yang nggak gue tahu. Dan sekarang…” Aldrich
menarik tanganku, membawaku dalam dekap pelukkannya.
Aku kaget.
Aku takut melihat Via marah karena ini. Tapi
ternyata Via tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kali ini aku tidak mengerti
maksudnya.
“Semua sudah terjawab.” Aldrich melepaskan pelukkannya.
“Terima kasih, ya… Rasa penasaran gue tentang Via sudah selesai sekarang. Gue
sempat berpikir kalau Via nggak sayang sama gue karena gue nggak menemukan
cincin yang gue kasih ketika dia ditemukan tewas,”
Aku menunduk mendengar kata “tewas” yang disebut
Aldrich pada akhir kalimatnya. “Tapi karena gue, kalian berdua nggak bisa bersatu.”
Aku melirik Via ragu-ragu. Tapi dia justru memberikan senyuman yang paling
manis sehingga wajahnya terlihat sangat cantik. Aku baru menyadari bahwa Via
sangat cantik. Aku belum pernah melihat hantu secantik itu. Atau setidaknya aku
merasa beruntung karena Via tidak datang dengan wajah yang hancur untuk balas
dendam padaku. Baiklah, mari hentikan pembicaraan mengenai hantu (jadi takut
sendiri). Iya… Via itu bayangan yang cantik.
Aldrich tersenyum. Entah senyum tulus atau pasrah,
aku tidak dapat menerkanya. “Gue nggak percaya kebetulan. Gue percaya takdir. Via
pernah bilang sama gue bahwa segala sesuatu yang terjadi mempunyai maksudnya
tersendiri. Rencana Tuhan tidak mungkin buruk, kan?”
Aku lega. Tidak tahu pasti lega karena Via tersenyum
manis padaku atau mendengar perkataan Aldrich barusan. Entahlah… Mungkin lega
dengan semuanya.
“Eits… Tunggu dulu! Dari tadi kalian ngomong apa
sih? Kok gue sama sekali nggak tahu. Via? Itu cewek loe, kan, Drich? Terus
kenapa loe bisa ada di sini? Gimana caranya kalian berdua bisa kenal? Terus kenapa
loe bilang ditangkap, Cal? Emang loe salah apa? Terus . . .” serbu Sidney dengan
pertanyaan beruntut.
Oh iya, aku hampir lupa kalau ada Sidney. Dapat aku
lihat, Via tertawa karena tingkah sahabatku itu. Via adalah bayangan
kesalahanku. Dan kini bayangan Via semakin memudar di mataku. Terakhir yang aku
lihat, Via melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arahku. Kemudian hilang.
Apa artinya semua masalah ini sudah beres?
“Pokoknya kalian berdua harus jelasin semuanya sama
gue!” tagih Sidney cemberut.
Oh, belum. Masih ada satu hal lagi. Aku masih harus
menceritakan semua kejadian dari awal pada sahabatku yang satu ini. Pasti dia sangat
bingung dan kaget karena Aldrich tiba-tiba datang kemari. Dan dia juga pasti sangat
kesal dan iri karena dengan tiba-tiba artis pujaannya itu memelukku.
Hahahahaha…
Eh, apa ini juga tanda bahwa aku tidak boleh minum
bir lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar