Berulangkali
aku berkata dalam hati, “Berkuasalah atas mimpi-mimpimu! Jangan biarkan mereka
yang menguasaimu. Berkuasalah atas emosimu! Jangan kau tunduk padanya.
Berkuasalah atas setiap masalahmu! Jangan undang ketakutan itu.”
Pandanganku,
mimpiku adalah segalanya. Pandanganku, seluruh masalah yang ada dapat tertepis
ketika aku hanyut dalam mimpi-mimpi. Dan memang. Aku dibuat hanyut. Dengan mudah,
aku melupakan segala kesesakkan dan mengundang yang menggairahkan. Setidaknya
sementara. Iya… hanya sementara.
Aku tahu
laki-laki itu. Laki-laki yang mampu memekarkan bunga-bunga di tubuhku. Laki-laki
yang selalu membuatku menepis laki-laki lain. Dia di sana, di lantai dua gedung
seni, menatapku. Pandangannya menyapu pelindung yang kubuat bertahun-tahun
untuk setiap lelaki. Bola matanya tajam mengikis daging dan otot yang
membungkus hati terdalam. Ia telah menelanjangiku dengan sempurna.
Terkadang aku
bisa terbang bahkan tanpa sayap sekalipun. Hanya karena mendengar kata-katanya.
Kenangan itu tidak pernah sirna entah… Entah mengapa, ketika tidak ada satu
orang pun yang menyebut namaku saat tes olahraga basket… Atau ketika orang lain
tidak memercayaiku untuk setiap jawaban… Dia memanggilku, menyemangatiku… Dia bertanya
soal yang ia tidak tahu padaku walau sepertinya ia pun tahu aku juga tidak tahu
jawabannya saat itu.
Ah, kenangan
itu!
Ataukah aku
ditakdirkan tidak bisa lagi bermain dengan laki-laki seperti dulu. Tidak ada
yang berani mengajakku. Bukan. Mungkin tidak ada yang mau mengajakku. Terlalu
tinggikah impianku sehingga tidak ada laki-laki seperti itu di dunia ini.
Aku
mati-matian menyakinkan diriku untuk percaya bahwa tidak ada yang mustahil
selama Tuhan ada. Semakin lama mimpi-mimpiku berhasil menggerogoti realita. Aku
berada di antara dua kubu yang berbeda. Dan tergolong kubu manakah aku, aku pun
tidak tahu. Dan tidak mau tahu. Aku hanya ingin mengetahui alasan keberadaanku
di tengah-tengah kedua kubu. Mengapa aku tidak berada pada salah satu kubu?
Mengapa aku masih bergulat dengan diri sendiri untuk menentukan pilihan itu?
Berulangkali
aku berkata dalam hati, “Berkuasalah atas mimpi-mimpimu! Jangan biarkan mereka
yang menguasaimu. Berkuasalah atas emosimu! Jangan kau tunduk padanya.
Berkuasalah atas setiap masalahmu! Jangan undang ketakutan itu.”
Satu hal
bahkan tidak pernah kupastikan. Aku terlalu takut melangkah, lebih ingin
mencari aman. Bukannya aku tidak suka tantangan. Aku ngeri pada keadaan yang
tidak dapat memapahku. Asal tahu saja… Keberanian itu muncul saat ada yang
tertumbal.
Kenangan
lain.
Dia yang
lain itu. Tanpa kata-kata, memaksa jantung ini berdegup kencang. Aku saja
merinding mengingat dia menatapku, mendekatiku. Aku memang merinding karena
malu, tapi ini lebih karena ngeri. Ngeri tidak percaya akan rasa sukanya
padaku. Ngeri… karena ini bak langit dan bumi. Terbang kedua kalinya. Jatuh juga
kedua kalinya. Orang kedua yang tidak akan pernah bisa bersatu denganku. Mimpi itu
menguasaiku lagi.
Kadang hidup lebih mudah dari membalikkan telapak tangan, namun kadang pula lebih sulit dari rumus integral. Kadang…
Itu semua hanya terkadang. Kadang orang perlu sadar bahwa tidak selamanya dia
bahagia atau menderita. Segala ada waktunya. Tinggal bersabar dan persiapkan
diri agar tak terlalu terkejut membuka pintu masa depan.
Berulangkali
aku berkata dalam hati, “Berkuasalah atas mimpi-mimpimu! Jangan biarkan mereka
yang menguasaimu. Berkuasalah atas emosimu! Jangan kau tunduk padanya.
Berkuasalah atas setiap masalahmu! Jangan undang ketakutan itu.”
Dan…
Mimpi itu
masih mengusaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar